Senin, 27 Oktober 2008

Tentang Niat Mempelajari Ilmu, Kebajikan dan Keburukan, dan Tanda Kesempurnaan Iman

1. “Siapa yang mempelajari ilmu untuk pamer, kebanggaan dan dunia, Allah akan menghilangkan keberkahannya dan menyempitkan hidupnya, dan Allah akan membiarkannya sendiri.” (Nahj al-Balaghah)

2. Nabi saw: “Tiada yang lebih baik dari kebajikan: beriman kepada Allah dan bermanfaat bagi manusia. Tiada yang lebih buruk dari kejahatan: syirik pada Allah dan merugikan manusia. (Al-Bihar 77)

3. “Tiga tanda kesempurnaan iman: kalau marah, marahnya tidak keluar dari kebenaran; kalau senangnya, senangnya tidak membawanya pada kebatilan; ketika mampu membalas, ia memaafkan.” (Tuhaf al-’Uqul)

Peran Hukum dalam Mengatur Kepentingan Manusia



ImagePara ulama meyakini pembentukan negara merupakan suatu kewajiban utama, yang akan mendorong pada koreksi sosial, pengembangan dan kesempurnaan manusiawi. Untuk itulah, selain menurunkan al-Quran dan petunjuk-petunjuk hukum, Allah Swt juga telah menetapkan prinsip-prinsip pendirian negara dan pemerintahan eksekutif. Berdasarkan itu pulalah, dalam rangka menyebarkan dan menafsirkan wahyu, Nabi Muhammad saw membentuk lembaga eksekutif dan dewan pemerintahan negara Islam.

Menurut para ulama, filosofi pemerintahan adalah untuk menyiapkan landasan penegakan hukum oleh pihak eksekutif, dan hal ini tentu saja adalah penalaran yang bisa diterima oleh semua institusi sosial dan peradaban. Hal tersebut perlu dilakukan karena keberadaan hukum semata tidak menjamin terciptanya kesejahteraan umat manusia; dengan begitu, pihak eksekutif yang tanggap harus menyiapkan jalan bagi penerapan aturan undang-undang. Ini adalah fakta yang tidak terbatasi ruang dan waktu. Mereka (para ulama) meyakini berdasarkan keniscayaan yang ditetapkan oleh syariat dan akal, sebagaimana ditekankan pada masa hidup Rasulullah saw berupa pendirian negara dan pelaksanaannya; hal itu juga berlaku pada masa kini.

Berdasarkan konsep yang dijelaskan di atas, perlu dipahami bahwa berkenaan dengan status hukum, kitab hukum paling lengkap, budaya berpegang pada hukum, dan konsekuensi-konsekuensinya, para ulama mengemukakan topik-topik penting berikut ini: 1. Al-Quran sebagai sebuah kitab hukum; 2. Pentingnya kepatuhan hukum; 3. Kebahagiaan kaum Muslim seiring dengan penerapan hukum; 4. Pelanggaran hukum penyebab keterpurukan umat; 5. Perselisihan dan kegagalan adalah akibat pelanggaran hukum dan agitasi; 6. Disiplin dan kepatuhan hukum adalah pangkal persatuan dan kesatuan; 7. Perhatian terhadap hukum amar makruf; 8. Mencapai kesempurnaan dengan pemeliharaan hukum; 9. Pentingnya penerapan hukum skala luas.

Al-Quran Sebagai Sebuah Kitab Hukum

Berdasarkan pendapat para ulama, al-Quran adalah kitab hukum, yang mencakupi semua kebutuhan manusia dan segala hal lainnya. Ini dikarenakan al-Quran adalah kitab yang mengajarkan kemanusiaan. Segala sesuatu telah dijelaskan di dalamnya tanpa ada yang terlewatkan. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam al-Quran, Kami telah menurunkan Kitab (al-Quran) ini kepada kalian sebagai penjelas segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim).

Kalimat ‘penjelas segala sesuatu’ menunjukkan bahwa al-Quran melampaui semua konsepsi manusia, karena ia adalah kitab hukum tertinggi. Al-Quran adalah tibyan, atau penjelas, tentu ia mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk yang sesuai dengan tujuan pewahyuannya sebagai pemberi pelajaran bagi umat manusia. Dari sudut pandang ini, al-Quran secara eksplisit menyatakan semua syarat-syarat yang diperlukan untuk menyiapkan jalan ini (pembentukan negara).

Ahli tafsir kontemporer Allamah Thabathabai menjelaskan lebih jauh penafsiran ayat di atas sebagai berikut:

Tibyan atau penjelas adalah pernyataan penegas, karena al-Quran adalah kitab tuntunan, penjelasannya ditujukan untuk semua hal artinya ia sesuai dengan setiap masalah manusia yang memerlukan tuntunan. Termasuk di dalamnya pengetahuan tentang awal penciptaan, hari kebangkitan, akhlak, aturan Ilahi, cerita, dan khotbah.

Ini sesuai dengan pandangan para ulama mengenai al-Quran sebagai kitab hukum terkaya (terlengkap); hukum yang mempunyai akar Ilahiah, bukan hasil pikiran manusia, karena itu ia terjauhkan dan terjaga dari setiap bentuk perubahan dan pengurangan. Keabsahan dan keotentikan al-Quran terletak pada karakter Ilahiahnya, karena itu ia menjadi sumber utama untuk memberi petunjuk pada umat manusia. Ia adalah kitab yang bermanfaat bagi setiap orang di mana pun mereka berada, baik di barat maupun di timur, masa lalu, sekarang, atau yang akan datang.

Namun demikian, hanya orang-orang yang telah mengambil petunjuk darinya saja yang dapat mencapai jalan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka yang menyia-nyiakan kitab paling berharga ini akan menciptakan masa depan yang suram bagi dirinya sendiri. Karena al-Quran adalah cahaya penuntun, mereka (orang-orang yang meraih kebahagiaan) akan menyesali orang-orang yang tidak memanfaatkan tuntunan cahaya Ilahi ini sehingga mereka harus menghuni alam kegelapan. Ayatullah Musawi mengungkapkannya sebagai berikut, “Wahai al-Quran! Wahai karunia Ilahi dan malakut! Tuhan semesta alam telah menurunkan engkau bagi kami untuk menghidupkan hati dan jiwa kami serta membuka mata kami. Engkau adalah cahaya petunjuk dan penuntun kami menuju kebahagiaan. Engkau bermaksud meningkatkan derajat kami dari tahap hewani menuju puncak tertinggi kesempurnaan manusiawi. Sayangnya, hukummu tidak diterapkan di alam ini untuk merubah alam kegelapan ini menuju alam yang terang benderang karena kedengkian para tiran yang menganggap dirinya pemuka peradaban. Dengan begitu, setiap orang bisa meraih kebahagiaan di dunia ini.”

Pentingnya Kepatuhan Hukum

Meskipun para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum tertinggi dan termulia, mereka juga menerima bahwa hukum pemerintah juga mempunyai nilai tersendiri, karena itu patut untuk ditaati jika diturunkan dari al-Quran. Menurut mereka, undang-undang dan semua hukum yang diturunkan dari syariat Islam adalah sah dan berharga. Dengan begitu, semua Muslim harus menjalankan dan melaksanakannya. Mereka menganggap kepatuhan terhadap hukum Islam sangat diperlukan dan menjadi suatu kewajiban agama. Sebagai contoh, mereka memperhatikan hukum-hukum itu dan meyakini bahwa dalam negara Islam setiap orang harus menghormati dan memelihara hukum-hukum Islam.

Para ulama berkeyakinan bahwa alasan untuk secara saksama menjaga hukum dalam negara Islam didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum Islam berasal dari wahyu, al-Quran, dan hadis, yang diturunkan oleh Pencipta manusia; karenanya, Dia dan kalimat-Nya adalah (hukum) tertinggi dan berada pada peringkat (hukum) tertinggi. Dasar pemikiran ini diambil dari firman Allah dalam al-Quran, Kalimat Allah itu adalah kalimat yang tertinggi. Kalimat Allah adalah kalimat tertinggi dan terunggul. Ahli tafsir besar Thabarsi menginterpretasikan ayat, ‘Kalimat Allah’ dengan makna tauhid (monoteisme). Dalam ayat al-Quran mengenai kalimat tauhid—sebagai sumber dan dasar semua aturan-aturan Islam—terdapat penentangan terhadap kekufuran dan kemusyrikan.

Kebahagiaan Kaum Muslim Seiring dengan Penerapan Hukum

Setiap Muslim yang terpelajar menganggap ketidakberdayaan dan rendahnya semangat di masa sekarang ini, utamanya dalam menghadapi negara adidaya, dilatarbelakangi oleh kenyataan tidak diterapkannya dan tidak dipraktikkannya aturan Islam di negara-negara Islam. Begitu pun, mereka meyakini bahwa jika semua Muslim di seluruh dunia bertindak dan menjalankan kehidupan berdasarkan aturan-aturan Islam, kebahagiaan mereka akan terwujud. Dengan sikap seperti itu, Muslim dan kaum Muslim akan diperlakukan tidak selayaknya, karenanya mereka tidak berdaya, hal ini terjadi karena mereka tidak menaruh perhatian pada aturan-aturan Islam dan tidak peduli pada penerapan aturan-aturan itu. Padahal, al-Quran telah menganjurkan kaum Muslim untuk mengikuti jalan tersebut, Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu (QS. 8:46).

Saat ini Islam terasa asing. Aturan-aturan Islam telah dikesampingkan. Padahal semestinya, al-Quran selalu hadir dalam setiap perjalanan hidup kita. Al-Quran menegaskan, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (QS. 3:103) …dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu (QS. 8:46). Ini adalah aturan politik yang sangat progresif, sekiranya dilaksanakan, niscaya kebahagiaan di atas bumi akan menjadi milik kalian. Kaum Muslim telah tenggelam dalam keadaan yang gelap gulita dan ketakberdayaan karena keadaan kaum Muslim telah jauh dari al-Quran. Keadaan ini menyebabkan nasib kaum Muslim dan negara-negara Islam terpuruk dalam genggaman para politikus yang kompromistis.

Pelanggaran Hukum Penyebab Keterpurukan Umat

Berkenaan dengan penyebab pelanggaran hukum, para ulama berkeyakinan bahwa jika umat secara moral tidak dididik dalam sebuah negara (lingkungan) Islam, mereka merasa tidak terikat untuk mematuhi hukum, dan korupsi serta pelanggaran hukum akan terjadi dalam masyarakat. Setiap orang akan menganggap dirinya bebas melakukan perbuatannya, dan karena itu dia bebas bertindak menurut keinginan dan kecenderungannya sendiri.

Dengan sikap seperti itu, mereka akan melanggar hukum dan akan terjatuh dalam sikap membangkang yang akan menimbulkan kehancuran bagi diri mereka sendiri. Sebaliknya, pribadi yang terdidik secara moral akan menyadari dirinya harus mematuhi hukum dan tidak akan pernah membiarkan dirinya membangkang, melanggar, atau melakukan tindakan penentangan terhadap hukum; bahkan dia akan senantiasa menghormati hukum meskipun ketaatan itu akan membatasi kesenangan dirinya.

Untuk menegaskan pandangan di atas, para ulama merujuk pada al-Quran yang secara tegas menyatakan bahwa, Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup (QS. 96:6-7). Dalam menjelaskan ayat tersebut, almarhum Allamah Thabathabai menjelaskan, “Ayat itu menunjuk pada adanya ketidakpedulian manusia pada aturan-aturan Ilahi dan syariat yang telah ditetapkan bagi mereka, karena mereka menginginkan aturan yang lain dan melanggar batas-batas yang telah ditetapkan bagi mereka; setiap orang yang menganggap dirinya merasa cukup dari Allah, mereka akan cenderung pada tindakan pelanggaran.”[10]

Sejalan dengan itu, Ayatullah Musawi berpendapat bahwa jiwa yang cenderung pada perselisihan akan mendorong manusia untuk melakukan pelanggaran, juga akan mendorongnya untuk berpaling dari aturan-aturan Ilahi dan melakukan perbuatan buruk; ini adalah hasil dari karakter manusia yang tidak terdidik secara moral. Lebih jauh, beliau menjelaskan, “Perbedaan di antara manusia timbul dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa mereka tidak terdidik secara moral. Tujuan tertinggi Ilahi dalam pengutusan para nabi adalah untuk mendidik moral manusia. Karena hanya dengan cara itulah, manusia dapat menemukan kebijaksanaan yang sesuai dengan al-Quran. Pelanggaran hukum tidak akan terjadi jika manusia terdidik secara moral. Perselisihan (pelanggaran) di antara manusia berasal dari pembangkangan yang mengotori jiwa mereka.”

Perselisihan dan Kegagalan adalah Akibat Pelanggaran Hukum dan Agitasi

Para ulama berpendapat bahwa titik tolok setiap masyarakat adalah disiplin, hukum, dan budaya yang memelihara hukum. Hukum berfungsi sebagai poros kerjasama dan persatuan. Kejayaan sebuah bangsa dapat dicapai melalui ketaatan mereka dalam menjalankan hukum. Sebaliknya, bangsa apa pun, yang tidak patuh pada hukum, akan terjebak dalam perselisihan dan ini akan membawa mereka pada kegagalan dan kekalahan. Sesuai dengan kenyataan masa lalu kaum Muslim, bangsa Muslim mana pun yang pernah mengalami kekalahan, pasti didahului dengan bayang-bayang kelam ketidakpatuhan pada hukum dan kurangnya disiplin.

Di masa-masa awal Islam, kaum Muslim mendapat kemenangan gemilang di berbagai medan pertempuran manakala mereka mematuhi perintah Rasulullah saw sebagai sebuah hukum yang dijamin oleh Allah Swt. Dan manakala, misalnya dalam perang Uhud, terjadi ketidakpatuhan dan pengabaian terhadap aturan-aturan hukum, mereka akhirnya menderita kekalahan. Para ulama menjadikan al-Quran sebagai rujukan mengenai hal ini, yang mana di dalamnya disebutkan, Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu (QS. 8:46). Ayat ini menekankan pada pentingnya menaati perintah Allah dan rasul-Nya, jika tidak maka kejayaan akan hilang. Ini berarti bahwa menaati Allah dan rasul-Nya adalah salah satu hukum Islam terpenting yang jika dilanggar akan membuka jalan bagi keterpurukan dan kegagalan.

Sebab diturunkannya ayat tersebut di atas berkenaan dengan perang Uhud. Kalimat “la tanaza’u” (janganlah berselisih) menunjukkan larangan pada sikap berpecah-belah agar tidak menjadi lemah dan menjadi gentar dalam menghadapi musuh. Konsekuensi dari ketidakpedulian terhadap perintah Rasul Allah saw adalah kekalahan. Kalimat “tadzahaba rihukum” berarti adalah kejayaan dan kemenangan kalian akan hilang. Kata rih (angin) secara jelas menunjukkan bahwa jika kalian menjadi gentar akibat saling konflik, kalian akan menjadi tidak berarti sehingga suatu hembusan angin akan dapat menerbangkan kalian. Konotasi ayat ini adalah kekuatan kalian akan hilang. Ayatullah Musawi berpendapat bahwa aturan yang telah dijelaskan di atas tidak terbatas pada saat peperangan saja, tetapi aturan itu berlaku sepanjang masa. Beliau menjelaskan lebih jauh, “Perpecahan dan pertengkaran akan menyebabkan kalian gagal. Wahai sahabatku, jika kalian menginginkan Islam dan bangsa… maka taatilah perintah Allah.”

Disiplin dan Kepatuhan Hukum adalah Pangkal Persatuan dan Kesatuan

Salah satu hasil yang berharga dan membahagiakan dari kepatuhan pada hukum adalah terciptanya persatuan dan kesatuan. Kaum Muslim dalam beberapa kasus telah banyak mengalami kekalahan sepanjang sejarahnya. Para ulama meyakini bahwa disiplin dan budaya kepatuhan pada hukum akan membuka jalan pada kesatuan dan persatuan kaum Muslim. Tanpa disiplin, masyarakat (umat) tidak akan bisa memegang teguh ajaran tauhid dan tidak akan pernah bisa meraih tujuan-tujuannya. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa disiplin, umat akan kehilangan karakter monoteistiknya. Sebuah masyarakat yang monoteistik (bertauhid) adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang memperhatikan kewajiban-kewajibannya masing-masing, mematuhi hukum, dengan satu batasan dan satu tujuan. Mereka menyadari bahwa ketaatan pada hukum adalah landasan bagi penerapan sikap egaliter, persatuan, dan kesatuan, sebuah pandangan yang Allah perintahkan pada semua kaum Muslim untuk dilaksanakan. Ayat al-Quran berikut menyatakan hal itu, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara (QS. 3:103).

Dalam pandangan para ulama, aturan hukum negara Islam adalah suatu pendorong bagi terciptanya kesatuan dan persatuan, berdasarkan aturan itu setiap orang akan memperoleh hak-haknya, tanpa merampas hak-hak orang lain. Tatkala timbul perbedaan, hukum harus menjadi poros, begitu pun ketika terjadi konflik kepentingan dan keinginan, hukum bisa menjadi penyelamat. Menyadari bahwa sistem Republik Islam hendaknya tetap dipertahankan oleh rakyat dan para pejabat di bawah naungan cahaya hukum, Ayatullah Musawi menjelaskan, “Hukum harus dijaga dan diterapkan karena hukum Islam secara tegas telah menyatakan hal itu dan bangsa ini telah mendukungnya. Tidak boleh terjadi suatu suku atau kabilah mendirikan negaranya sendiri, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum. Al-Quran telah mempersaudarakan kalian; ia telah mengikat pakta persatuan di antara kalian.”

Perhatian Terhadap Hukum Amar Makruf

Salah satu kelebihan dari masyarakat Islam adalah perintah saling mengingatkan dalam mengamalkan hukum (amar makruf). Al-Quran menegaskan hal ini sebagai syarat utama bagi sebuah masyarakat Islam. Para ulama menganggap kehidupan dan kelanggengan masyarakat Islam tergantung dari perhatiannya terhadap amar makruf nahi mungkar. Karena itu, memberi peringatan kepada para pelanggar hukum (nahi mungkar) diturunkan dari pentingnya menerapkan amar makruf seperti yang telah disebutkan di atas. Al-Quran menjelaskan hal itu dalam ayat Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung (QS. 3:104). Dengan begitu, perbuatan menyeru pada kebaikan dan pentingnya menyampaikan kebajikan adalah perbuatan yang sesuai dengan akal, bahkan dalam beberapa kasus menjadi suatu kewajiban agama.

Mencapai Kesempurnaan dengan Pemeliharaan Hukum

Tidak diragukan lagi, akibat terpenting dari penerapan hukum dalam negara Islam adalah masyarakat akan bergerak menuju kesempurnaan dan mencapai tingkat peradaban tertinggi dalam pengawasan hukum. Penerapan hukum Islam menjadi landasan yang tepat untuk mendidik sikap dan kelebihan masyarakat untuk mencapai kesempurnaan manusiawi tertinggi. Berdasarkan hal itu, pembangunan masyarakat mana pun akan tergantung pada disiplin dan pemeliharaan hukum. Pembangunan dan keadilan mempunyai hubungan yang sangat erat.; keduanya harus diterapkan di bawah tuntunan cahaya hukum Islam dan pemeliharaan hukum.

Para ulama senantiasa mengingatkan setiap orang dalam negara beragama untuk memperhatikan kewajiban-kewajibannya secara saksama hingga dengan begitu negara Islam mencapai tingkat pembangunan yang diinginkan. Dengan cara ini, kekacauan sosial, agitasi, dan benturan kepentingan antara tugas dan kezaliman dapat ditekan.

Dalam masalah ini, Ayatullah Musawi menegaskan bahwa, “Jika setiap anggota masyarakat berusaha untuk memikul tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, negara ini akan menuju kesempurnaan negara Ilahi. Namun jika seseorang—mencari keuntungan sendiri—berusaha mencampuri pekerjaan atau jabatan orang lain, misalnya saat dia menjadi seorang hakim dia juga ingin bertindak selaku pejabat pemerintahan, maka hal ini akan menimbulkan agitasi dan kekacauan.”

Pentingnya Penerapan Hukum Skala Luas

Para ulama senantiasa menekankan pentingnya berpegang pada hukum dan ketinggian statusnya, karena itu mereka menganggap pelanggaran terhadap hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Mereka juga menegaskan bahwa dalam negara Islam semua hukum harus dihormati, dan setiap orang hendaknya menjaga agar tidak sampai melanggarnya, sekalipun berupa hukum lalu lintas, karena itu juga adalah hukum dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu hukum dengan hukum lainnya. Bahkan, mereka menegaskan bahwa Islam telah memerintahkan setiap individu, dan semua lapisan masyarakat harus berusaha untuk berpegang teguh pada tali Allah. Berpaling dari perintah ini adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama.

Para ulama percaya bahwa mempertahankan negara Islam adalah terkait dengan penerapan hukum; karena itu mereka menganggap ketidakpatuhan pada hukum Islam sebagai sebuah perbuatan yang tidak bisa diterima dan tidak terpuji. Mereka bersandar pada ayat al-Quran, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan... (QS. 4:135).

Almarhum Allamah Thabarsi memberi tafsiran ayat tersebut sebagai berikut, “Allah menginginkan kaum mukmin untuk menegakkan keadilan dan menjadikan sikap ini sebagai bagian dari karakter mereka baik dalam perkataan maupun perbuatan.” Selanjutnya, Ayatullah Musawi menekankan pentingnya mempertahankan Republik Islam dan menyatakan, “Mempertahankan negara Islam adalah salah satu kewajiban agama.” Tidak hanya itu, di kesempatan lain beliau menegaskan, “Tentu saja, segala sesuatu harus didasari dengan aturan dan disiplin… Menjaga disiplin adalah salah satu tugas kewajiban agama. Kedisiplinan ini harus diterapkan di kantor-kantor pengadilan negara; jangan sampai terjadi seorang hakim bekerja satu hari dan bolos kerja di hari lain… dalam suatu negara, segala sesuatunya harus dilandasi dengan disiplin.”

Para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum terbaik, yang jika diterapkan akan menciptakan keunggulan kaum Muslim. Dan sebaliknya, perpecahan dan kekalahan disebabkan oleh kurangnya disiplin dan ketidakpatuhan pada hukum; seperti itu pula, pelanggaran hukum berasal dari kurangnya pendidikan moral masyarakat. Untuk itulah, penerapan hukum harus dipertahankan dan seharusnya dijadikan contoh seruan pada kebajikan (amar makruf). Untuk membuktikan pandangan yang telah dikemukakan di atas, sejumlah rujukan al-Quran yang berkaitan dengan ajaran tersebut, sejauh ini, telah disebutkan.[]

Catatan:
  1. QS. 16:89
  2. Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, 12/324
  3. R. Musawi, Sahife_ye Nur, 21/169
  4. QS. 9:40
  5. Fadhl bin Husain Thabarsi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, 5/48
  6. QS. 8:46
  7. QS. 3:103
  8. QS. 8:46
  9. QS. 96:6-7
  10. Thabarsi, op. cit, 10/782
  11. Musawi, op. cit, 9/188
  12. QS. 8:46
  13. Thabarsi, op. cit, 4/842
  14. Musawi, op. cit, 9/188
  15. QS. 3:103
  16. Musawi, op. cit, 13/27
  17. QS. 3:104
  18. Thabathabai, op. cit., 3/372
  19. Musawi, op. cit., 13/17
  20. QS. 4:150-151
  21. Musawi, op. cit., 13/17
  22. Muhammad Jawad Mughniyyah, At-Tafsir al-Mubin, 128
  23. QS. 41:35
  24. Thabathabai, op. cit., 3/189
  25. Musawi, Sahife_ye Nur, 11/150
  26. Ibid, 13/15
Bibliografi

Al-Quran al-Karim

Mughniyyah, M.J., At-Tafsir al-Mubin,

Musawi, Ruhullah, Sahife_ye Nur: Majmu’e_ye rahnemuzha_ye Imam Khomeini, Tehran, Markaz_e Madarek_e Enqelab_e Eslami, 1364 H.S

---,Wilayat al-Faqih, Tehran:Sayyid Jamal

---,Tebyan, jilid 13, Institute for Editing and Dissemination of Imam Khomeini’s Works, 1372 H.S

Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1368 H

Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Muassasah al-A`lami, 1393 H

Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan



ImageSebelum berbicara tentang hikmah muta’aliyah (selanjutnya kita sebut sebagai filsafat hikmah), saya perlu mengemukakan sejumlah pendahuluan berikut. Pertama, manusia adalah makhluk yang secara intrinsik (fitriah) mencari kesempurnaan. Fitrah ini mendorong manusia untuk terus-menerus berevolusi dan menyempurna. Kedua, dalam mencari kesempurnaan ini manusia akan mengandalkan pelbagai daya yang telah dimilikinya. Ketiga, pengetahuan dalam pengertian luas adalah kriteria untuk mengukur tingkat evolusi dan kesempurnaan manusia. Keempat, setidaknya ada enam kategori pengetahuan manusia:

  1. Pengetahuan hudhuri/badihi (fitrah);
  2. Pengetahuan rasional (akal);
  3. Pengetahuan indrawi (panca indra);
  4. Pengetahuan mistis/emosional (hati);
  5. Pengetahuan imajiner (imajinasi);
  6. Pengetahuan keagamaan (wahyu/teks suci).

Kelima, pengetahuan hudhuri merupakan pijakan dasar bagi seluruh tindak pengetahuan manusia. Untuk jenis pengetahuan ini, manusia hanya perlu untuk menyadarinya secara langsung dan introspektif. Dalam pengetahuan ini tidak ada jarak antara subjek dan objek, ranah ontologis dan epistemologis melebur jadi satu.

Keenam, pengetahuan rasional berpusat pada akal, dengan sifat yang universal dan abstrak. Ketujuh, pengetahuan indrawi diperoleh lewat panca indra. Pengetahuan ini bersifat spasio-temporer, partikular dan berubah-ubah, sesuai dengan hukum-hukum yang mengatur alam fisik.

Kedelapan, pengetahuan mistis/hati (ma’rifah qalbiyah) adalah pengetahuan yang bersumber dari lintasan-lintasan hati. Pengetahuan ini memiliki sejumlah kendala yang berasal dari watak-watak yang merusak (al-malakat al-fasidah). Sifat pengetahuan ini adalah partikular abstrak.

Kesembilan, pengetahuan imajiner bersumber pada daya imajinasi dan angan-angan manusia. Imajinasi berperan menghidupkan dan mengembangkan kognisi manusia tentang objek-objek partikular. Kesepuluh, pengetahuan keagamaan bersumber pada teks-teks suci. Al-Quran dan hadis adalah dua sumber utama pengetahuan keagamaan dalam konteks Islam. Pemahaman atas al-Quran mestilah berangkat dari al-Quran itu sendiri atau dari hadis-hadis yang mendampinginya.

Filsafat Hikmah

Bertolak dari sepuluh pendahuluan di atas, kita bisa memahami proyek filsafat hikmah secara utuh dan ringkas. Untuk menjelaskan proyek filsafat hikmah, makalah ini akan berpijak pada rumusan-rumusan Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba’i. Ada beberapa langkah menarik yang diambil oleh Mulla Shadra, untuk merumuskan kompleksitas proyek filsafat hikmah dengan segenap implikasinya.

Pertama, meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri/badihi, sambil menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti tidak memerlukan pembuktian (burhanah) atau pengukuhan (itsbat), melainkan hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan.

Kedua, menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.

Ketiga, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber pada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduni.

Keempat, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah.

Kelima, mengajukan metodologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoritis dan praktis.

Dalam karya utamanya yang berjudul Hikmah Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah (Hikmah yang Mengemuncak dalam Empat Perjalanan Manusia), Mulla Shadra secara panjang-lebar memaparkan lima langkah yang telah diambilnya untuk menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran utuh, yang tidak sekedar bersifat rasional-filosofis, mistis-emosional, tekstual-keagamaan, tetapi juga kebenaran dalam pengertian realisasi langsung (tahaqquq).

Dalam pengantar al-Asfar, Mulla Shadra menyatakan:

“Teori-teori diskursif hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan. Kelompok yang datang belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya).’” (QS. al-A’raf [7]: 38)1

Persis dalam pengantar ini, dia mulai melancarkan pukulan bertubi-tubi pada kalangan Paripatetik yang bersikukuh memegang akal dan prinsip-prinsip rasional sebagai satu-satunya alat penyingkap kebenaran. Menurut Mulla Shadra, akal punya keterbatasan, sebagaimana alat-alat pengetahuan manusia lainnya. Karena itu, diperlukan suatu metodologi yang mensinergikan semua potensi yang ada, sehingga masing-masing potensi itu dapat mengambil perannya dalam mengantarkan manusia kepada kebenaran seutuhnya dan puncak kesempurnaannya.

Selanjutnya, dalam Mafatih al-Ghayb, Mulla Shadra menuturkan:

“Banyak orang yang bergelut dalam ilmu pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah) yang dicapai oleh para ahli suluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih kukuh dibanding semua kategori ilmu lain) dengan mengatakan, ‘Apakah ada ilmu tanpa proses belajar, berpikir dan bernalar?’”2

Kemudian dia memaparkan bukti-bukti filosofis untuk menepis keragu-raguan semacam itu. Seperti biasa, dia membingkai bukti-bukti filosofisnya dengan dalil-dalil tekstual yang melimpah ruah.

Dalam sistem filsafat hikmah, metode rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi.

Mulla Shadra menyatakan, “Kaum sufi biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan pada bukti-bukti demonstratif (burhan).”3

Kemudian Mulla Shadra meneruskan, “Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah wahai sahabatku, atas kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita dan mereka walau hanya sekejap mata.”4

Di tempat lain, dia menyimpulkan, “Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah kembali kepada metode kami dalam memperoleh makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam.”5

Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode rasional-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya berangkat dari keyakinannya pada keunggulan Islam. Baginya, keunggulan Islam yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bisa dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang.

Dalam al-Mabda wa al-Ma’ad, Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara ekstensif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan ajaran-ajaran Islam. Ia menandaskan, “Adalah mustahil hukum-hukum syariat yang hak, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Quran dan sunah.”6

Dasar-dasar

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prinsip-prinsip utama filsafat hikmah semuanya bersifat hudhuri (swabukti atau self-evident), sehingga pengukuhan filsafat ini dapat dilakukan secara introspektif. Berikut adalah sebagian dari prinsip-prinsip utama filsafat hikmah:

Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa perantara konsep lain (badihah mafhum al-wujud).7

Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal (mafhum al-wujud musytarakun ma’nawi).8

Ketiga, prinsip yang disebut dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya.9 Di luar itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah rekaan manusia (i’tibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan konseptual atau ilustrasi dari wujud.10

Keempat, untuk menjelaskan keberagaman wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykik al-wujud. Intinya, wujud yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat.11 Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah cahaya sebagai realitas yang bergradasi.

Kelima, setiap titik dalam wujud yang bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah) diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fi’li). Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah.

Keenam, gerakan substansial dalam konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya (ilm). Jadi, pertumbuhan ruh manusia ditentukan oleh objek-objek pengetahuan yang dicerapnya, persis sebagaimana pertumbuhan tubuh ditentukan oleh gizi yang dimakannya. Makin tinggi nilai objek-objek pengetahuannya, makin subur dan “sehat” ruh itu. Sebaliknya, makin rendah nilai objek-objek pengetahuannya, makin lemah, “sakit,” dan surut ruh itu. Inilah prinsip yang dalam filsafat hikmah disebut dengan ittihad al-aqil bi al-ma’qul.

Beberapa Implikasi

Filsafat hikmah merupakan pengembangan atas pesan-pesan al-Quran dan sunah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang jurubicara ulung sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang sepenuhnya berpijak di atas dasar teks-teks al-Quran dan sunah. Seperti telah kita kutip di atas, Mulla Shadra mengecam spekulasi filosofis liar yang tidak berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua spekulasi filosofis yang tidak bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang membingungkan dan menyesatkan. Penegasan tersebut merupakan langkah besar dalam sejarah panjang filsafat Islam, mengingat hal itu berarti berita tentang lahirnya filsafat Islam yang sebenarnya.

Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah atau al-hikmah al-Ilahiyyah. Hikmah merupakan istilah yang secara khas dipakai oleh al-Quran dan sunah dalam bermacam makna. Al-Quran menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran al-Quran dan hikmah (QS. 2: 129, 3; 48, 3: 164, dan sebagainya). Lantas, Allah meminta Nabi Muhammad saw untuk menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16: 125). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, al-Quran menyebut al-hikmah sebagai anugerah kebaikan yang besar.

Filsafat hikmah tidak mengajak orang untuk sekadar berwacana, tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan, kepastian). Dalam wujud yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia sebagai entitas unik yang dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya terus meninggi (atau menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi manusia ini dengan mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.

Dalam pelbagai karya mereka, para pendukung filsafat hikmah selalu menggambarkan bahwa manusia adalah suatu kemenjadian yang secara konstan mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan entitas yang mandeg, melainkan terus bergerak menaiki atau menuruni deretan tak-terbatas dari tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini sebenarnya menjelaskan ajaran pokok semua agama mengenai manusia sebagai makhluk unik yang bergerak dalam suatu gerakan yang tak-terelakkan melewati “kematian” menuju “surga” ataupun “neraka.”

Berdasarkan prinsip-prinsip filsafat hikmah, kita dapat menghayati teks-teks suci, khususnya yang berbicara tentang hal-hal gaib, dalam bentuk yang lebih filosofis. Umpamanya, dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sering mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw atau pun para imam Syiah mengenai hubungan satu amalan kecil dengan pahala besar yang dihasilkannya. Hubungan-hubungan antara alam gaib dan alam fisik ini dijelaskan sebagai hubungan antara satu tingkat dengan tingkat lain dalam piramida wujud yang tunggal.

Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa semua kerja manusia punya nilainya yang tersendiri, betapa pun tidak berartinya nilai itu dalam perskeptif suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang bergerak secara konstan ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses evolusi manusia selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan dipengerahui oleh citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat batu itu secara total.

Oleh sebab itu, para pendukung filsafat hikmah sangat menekankan pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai satu-satunya rujukan pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib. Setiap tindakan fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib kita yang pada gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan hal-hal lain yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan begitulah seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini dijelaskan dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang diperkuat oleh teks-teks suci dan penyingkapan mistis.

Catatan Akhir

Kebangkitan atau renaisans Islam tidak boleh diukur dari kemajuan dalam bidang-bidang teknis-perindustrian, lantaran manusia menuju puncak kesempurnaannya justru melalui pembebasan dirinya dari kondisi-kondisi alam yang melingkupinya. Makin sempurna manusia, makin bebas ia dari hal-hal material dan makin bertumpu ia pada kekuatan kemanusiaannya.

Dengan kata lain, kesempurnaan manusia ditentukan oleh ciri khasnya sebagai manusia, yaitu kesempurnaan daya-daya intelektual dan spiritualnya. Oleh karena itu, langkah manusia menuju kesempurnaan berbanding lurus dengan langkah pembebasannya dari materi dan pendekatannya ke arah pengetahuan, keruhaniaan dan keimanan.

Maksud ungkapan ‘bebas dari materi’ bukanlah ‘hidup dalam kevakuman yang jauh dari alam materi,’ melainkan penguasaan dan pengendalian manusia atas kondisi-kondisi material dan bukan sebaliknya. Kalau di masa-masa lampau manusia sedemikian bergantung pada kondisi-kondisi material yang mengurungnya, maka di masa-masa mendatang ia pasti akan makin mandiri dari lingkungan materialnya. Manusia masa depan akan makin sanggup mengendalikan dan memanfaatkan semua potensi dan kapasitas material untuk pergerakan substansialnya mendaki puncak-puncak kesempurnaan manusiawinya yang hakiki.

Oleh sebab itu, agama masa depan mestilah merupakan pandangan dunia yang memiliki sendi logis-rasional yang utuh, sendi emosional-spiritual yang kaya, mengandung gagasan-gagasan yang mendalam dan menghunjam, tidak saling beradu dan berbenturan, serta mengandung cita-cita besar yang luhur dan suci.

Agama masa depan mesti mampu menjelaskan semua ajarannya dalam bentuk penuturan logis-filosofis yang lancar dan memuaskan, tidak dalam bentuk yang dipaksakan dan dibuat-buat. Agama yang demikian ini juga harus bisa menghadirkan harapan dan kegairahan spiritual bagi manusia, sedemikian sehingga manusia dapat merasakan adanya makna di balik perjalanan hidupnya yang serba-singkat dan sarat-penderitaan ini.

Salah satu implikasi terbesar dari kehadiran filsafat hikmah di tengah-tengah umat adalah munculnya kesadaran bahwa Islam memiliki semua syarat dan kelayakan untuk menjadi agama masa depan. Tidak berlebihan bila saya katakan bahwa filsafat hikmah yang sepenuhnya bersumber pada al-Quran dan sunah ini menggugah kita untuk kembali menghayati ajaran-ajaran Islam. Bagaimana tidak! Filsafat hikmah telah berhasil menampilkan Islam sebagai puncak dari ribuan tahun tradisi agama semitik, rasionalisme Yunani, dan mistisisme Timur yang telah banyak menyumbang perkembangan peradaban manusia di muka bumi.[]

Catatan Kaki:

1. Mulla Shadra, al-Asfar, Maktabah al-Mushthafawi, 1378 H, Qum, Bagian Pengantar.

2. Mulla Shadra, Mafatihul Ghayb, Muassasah Muthala’at va Tahqiqat Farhanggi, Tehran, tanpa tahun, hal.48.

3. Ibid, hal.55.
4. Ibid, hal.56.
5. Ibid, hal.56.
6. Op.Cit, hal.23.

7. Thabathaba’i, Bidayatul Hikmah, Muassasah an-Nasyr al-Islami, 1422 H., Qum, hal.11.

8. Ibid, hal.12.
9. Ibid, hal.14.
10. Ibid, hal.20.
11. Ibid, hal.24.

Posisi Mistisisme (Irfan) dalam Hirarki Ilmu-ilmu Islam



ImageUntuk menegaskan dan mendefinisikan lokasi yang tepat bagi penelitian mistisisme, kami perlu menjelaskan tiga isu kontekstual. Pertama, apa yang dimaksud dengan istilah “ilmu-ilmu Islam?” Kedua, apa karakteristik yang sama dan apa yang membedakan mistisisme dari jenis sains dan disiplin ilmu Islam yang lain? Ketiga, bagaimana mistisisme berkembang dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain, dan bagaimana mereka ini saling mempengaruhi?

Suatu Definisi Umum tentang Ilmu-ilmu Islam

Ilmu-ilmu Islam (ulum islamiyyah) merupakan konsep yang digunakan dalam dua makna.1 Makna yang pertama dipahami secara luas. Ilmu-ilmu Islam, dalam maknanya yang luas, meliputi suatu konstelasi berbagai disiplin ilmu, yang telah terlibat dalam konteks peradaban Islam, baik yang berkembang dari sumber-sumber dan prinsip-prinsip Islam maupun yang telah ada dalam komunitas dan peradaban lain (ulum al-awa’il), tetapi terintegrasi dan berkembang di dalam peradaban Islam. Ilmu-ilmu Islam dalam makna luas ini merangkul berbagai disiplin ilmu yang lazim diyakini oleh para ilmuwan Islam di berbagai institusi ilmiah dan akademis di dunia Islam di sepanjang sejarah Islam. Konsekuensinya, baik ilmu-ilmu Islam seperti fikih, teologi, ushul fikih, tafsir al-Quran, dan sejarah hidup (sirah) Nabi saw dan para imam maksum as, dan ilmu-ilmu yang lain yang berasal dari peradaban lain seperti astronomi, obat-obatan, dan matematika, semuanya sesuai dengan kategori yang luas ini.

Makna yang kedua lebih sempit. Definisi sempit ini meliputi disiplin-disiplin ilmu yang langsung berasal dari prinsip-prinsip dan sumber-sumber Islam, yaitu al-Quran, hadis (sunah) Nabi saw dan para imam as, dan keketapan-ketetapan yang berasal dari al-Quran. Kategori ilmu-ilmu ini merupakan inovasi umat Islam, dan sebenarnya, merupakan sebuah ilustrasi dan interpretasi dari hadis Nabi saw. Kategori yang sempit dari ilmu-ilmu Islam itu sendiri dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama meliputi ilmu-ilmu yang dikembangkan semata-mata untuk tujuan penafsiran dan penjabaran makna dan tujuan al-Quran dan hadis Nabi saw. Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang dianggap sebagai suatu pengantar pada kelompok yang pertama, misalnya logika, literatur dan tata bahasa Arab, sejarah Islam, rujukan-rujukan yang berkaitan dengan pemahaman al-Quran, dan ilmu pembacaan al-Quran, dan ilmu untuk melakukan verifikasi periwayat hadis Nabi saw dan para imam as (ilm ar-rijal).

Ilmu-ilmu Islam juga dibagi menjadi dua kategori berdasarkan metodologinya. Mereka bisa didasarkan pada penalaran murni, bisa pula memperoleh otoritasnya dari sumber-sumber agama. Kategori yang pertama, yang didasarkan pada investigasi intelektual, meliputi ilmu-ilmu intelektual (ulum al-aqliyyah). Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang didasarkan pada otoritas dan penafsiran terhadap kitab suci (ulum an-naqliyyah). Dalam ilmu-ilmu yang berasal dari kitab suci —skriptural, otoritas sumber-sumber yang suci ini merupakan landasan utama argumentasi-argumentasinya. Namun demikian, derajat penalaran rasional dalam ilmu-ilmu ini bervariasi. Disiplin-disiplin ilmu seperti filsafat (falsafah al-Ilahiyyah), mistisisme teoritis, logika, dan teologi rasional (kalam al-aqli) hanya menggunakan premis-premis rasional dalam argumentasi mereka. Jelas, bahwa mereka masuk ke dalam kategori yang pertama; sedangkan mistisisme praktis teologi skriptural, ushul fikih dan penafsiran al-Quran, dianggap sebagai ilmu-ilmu skriptural.

Kesamaan dan Perbedaan antara Mistisisme dan Cabang-cabang Lain Ilmu-ilmu Islam

Ilmu-ilmu Islam berbeda dalam bahasannya, tujuan atau metodologinya, atau salah satu atau dua dari faktor-faktor ini. Misalnya, teologi berbeda dari fikih dari sisi bahasan dan tujuannya. Bahasan teologi adalah sikap religius seseorang terhadap umat manusia dan dunia, sedangkan bahasan fikih adalah aktivitas manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia lain, dan dunia. Tujuan teologi adalah mencapai kedamaian pikiran dan kepastian dalam sebuah dunia yang tidak pasti, sedangkan fikih berurusan dengan kesesuaian tindakan-tindakan kita dengan perintah-perintah Tuhan. Di sisi lain, tidak seperti fikih, teologi rasional mengikuti suatu metodologi rasional dan kebanyakan hanya mengandalkan “nalar—akal” (aql), sedangkan teologi skriptural memiliki metodologi yang sama dengan fikih, dengan mengombinasikan metodologi argumentasi skriptural dan akal murni.

Filsafat Islam (metafisika) dan teologi juga berbeda dalam hal bahasan dan tujuannya. Bahasan metafisika adalah eksistensi murni (al-wujud bima huwa wujud), sedangkan bahasan teologi adalah eksistensi Tuhan (kesadaran atas eksistensi-Nya adalah wajib). Namun demikian, kedua disiplin ilmu ini menggunakan metodologi yang sama dalam mencapai tujuan mereka, yakni akal murni. Maksud kami di sini adalah memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara mistisisme dan disiplin-disiplin lain dalam ilmu Islam.

Kategorisasi ilmu-ilmu Islam ke dalam ilmu pengantar dan ilmu inti menempatkan mistisisme ke dalam kategori inti dan fundamental. Ia juga masuk ke dalam kategori ilmu rasional, walaupun mistisisme praktis masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu skriptural. Masuknya mistisisme teoritis ke dalam ilmu-ilmu intelektual menunjukkan bahwa mistisisme tipe ini mendorong penemuan intuisi melalui penalaran rasional, walaupun sumber utama intuisi dan pengetahuan diperoleh melalui penyucian hati. Hasil-hasil perjalanan spiritual seperti itu seringkali ditegaskan oleh penalaran induktif. Sebagai hasil dari sebuah metodologi yang diperluas seperti itu, kita bisa mengklasifikasikan tipe pengetahuan ini sebagai bagian dari ilmu-ilmu rasional.

Salah satu prinsip utama dari disiplin ilmu ini, yang disepakati oleh semua ulama irfan, adalah bahwa orang harus mengikuti seorang pembimbing dalam semua tahap perjalanan spiritual. Pemimpin yang jujur dan berpengalaman, yang dipilih sebagai pembimbing dalam perjalanan ini harus juga seorang kekasih Tuhan (wali Allah).2 Guru dan pembimbing yang terbesar dalam perjalanan spiritual kepada Tuhan adalah Nabi Islam, Muhammad saw. Beliau dan keturunannya adalah para guru dan pembimbing terbesar yang harus diikuti oleh manusia dalam pencarian spiritualnya atas kebenaran dan makna kehidupan. Mereka adalah orang-orang terdepan dalam pengetahuan dan para guru cinta, dan tanpa mereka manusia bisa tersesat, karena upaya yang dilakukannya itu bisa berubah menjadi perjalanan yang sangat beresiko tanpa bimbingan para wali Tuhan ini.

Interpretasi ini berdasarkan pemikiran Syiah yang menempatkan akal sebagai bagian utama. Rujukan kepada suatu otoritas, dalam pemikiran Syiah dianggap tidak meyakinkan. Pada analisis akhirnya, otoritas terletak pada akal. Di sisi lain, beberapa mahzab pemikiran, terutama dari kalangan mahzab Islam Suni, menisbatkan otoritas absolut kepada Nabi saw dan menolak peran akal.

Perlunya memiliki seorang tutor dalam jalan spiritual telah dikatakan berulang kali oleh para guru besar di bidang ini. Jalaluddin Rumi (w. 1274), guru besar sufi dan pendiri Ordo Maulawi yang beranggotakan para darwis, dalam risalahnya yang sangat menarik, Mathnavi-ye Ma‘navi, mengingatkan kita tentang pentingnya hal tersebut, ketika ia berkata:

Ikutilah sang guru (pir) karena tanpanya,

perjalanan ini sangat penuh bahaya

Karena itu, di jalan yang belum kau lihat sebelumnya

Hendaknya kau tak pergi sendiri, jangan membantah sang pembimbing3

Hafizh(w. 1389), ahli lain dalam bidang ini menyatakan hal yang sama ketika ia berkata:

Janganlah berjalan ke wilayah cinta tanpa alasan yang kuat,

Aku telah melakukan ratusan upaya namun sia-sia

Waspadalah dengan jalan yang penuh bahaya ini tanpa bimbingan Khidir,

ia adalah kegelapan, dan bahaya tersesat pun hadir.

Menurut prinsip irfan yang penting ini, adalah wajib untuk mengikuti seorang kekasih atau wakil Tuhan. Mengikuti Nabi Suci saw dan orang-orang yang paling dekat dengannya sebagai kekasih Tuhan adalah hal yang paling penting. Kedua, mereka yang paling akrab dengan praktik dan ajaran Nabi saw dan para imam as juga ditunjuk untuk membimbing manusia.

Perbedaan antara Problem Filsafat dengan Problem Irfan

Ketentuan untuk mengikuti Nabi saw dan para wali yang lain mengisyaratkan bahwa irfan praktis adalah suatu ilmu yang didasarkan pada otoritas skriptural. Manusia hanya boleh mengikuti mereka melalui suatu pemahaman terhadap tindakan mereka dan terhadap al-Quran. Namun demikian, mistisisme, filsafat, dan teologi teoritis memiliki karakteristik lazim yang sama seperti inkuiri intelektual pada sifat eksistensi. Di sisi lain, irfan praktis ini serupa dengan etika dan fikih, karena ketiganya berurusan dengan masyarakat manusia. Ilmu-ilmu Islam yang lain tidak memiliki landasan yang sama dengan irfan, sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Karakteristik-karakteristik disiplin ilmu mana pun terdiri dari dari empat elemen. Pertama, metodologi menetapkan model-model inkuiri dan metoda verifikasi; kedua, pokok bahasan (mawdhu)mendefinisikan ilmu, karena suatu “ilmu meneliti kelengkapan esensial dari pokok bahasannya”;4 ketiga, apriori dan topik(masa’il, qadhayah) yang terlibat turut menentukan karakteristik disiplin ilmu tersebut; keempat, tujuan dan telos(ghayah) dari suatu ilmu mendefinisikan tujuan penelitian.5

Irfan teoritis menggunakan sebuah metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh filsafat dan teologi. Selain suatu metodologi intelektual, ia terutama mengandalkan pada intuisi (isyraq) dan pengalaman langsung (dzawq). Ilmu ini lebih memilih pengetahuan yang diilhami oleh suatu pemahaman melalui hati, daripada yang melalui penalaran logis. Karena melalui intuisi, suatu penyatuan antara subjek pengetahuan, pengetahuan itu sendiri, dan yang memiliki pengetahuan terjadi (ittihad al-aql wa al-aqil wa al-ma‘qul). Sebaliknya, hasil-hasil penelitian rasional hanya beberapa refleksi atau image kognitif dari pokok bahasannya, dan realitas dari pokok bahasannya sendiri tidak hadir pada orang yang memiliki pengetahuan tersebut.

Mistisisme teoritis dan teologi adalah sama, karena keduanya menetapkan hasil-hasilnya sebelum penalaran apa pun, dan kemudian mencoba untuk memperkuatnya melalui penalaran. Namun demikian, keduanya berbeda karena dasar suatu pengetahuan priori dalam teologi memiliki otoritas religius, dan dalam irfan teoritis, pengetahuan diperoleh melalui intuisi.

Berkaitan dengan pokok bahasannya, filsafat berbeda dengan irfan teoritis. Bahasan filsafat adalah eksistensi murni atau eksistensi qua eksistensi. Bahasan irfan teoritis, sebaliknya, adalah Tuhan atau suatu model eksistensi, yang ketiadaannya adalah hal yang secara logis mustahil dibayangkan, yakni Eksisten Wajib (wajib al-wujud). Filsafat berurusan dengan eksistensi dalam bentuk dan sifat-sifatnya yang murni, tanpa memandang tipe eksistensinya. Namun demikian, mistisisme hanya berfokus kepada Tuhan dan eksistensi-Nya, karena bentuk-bentuk eksisten lain itu sebenarnya tidak ada; mereka hanyalah sebuah bayangan eksistensi, yakni eksistensi Tuhan.6 Dia adalah eksistensi dan segala sesuatu yang lain merupakan sebuah bayangan dari eksistensi-Nya. Menurut irfan, eksistensi itu ekuivalen dengan wajibnya eksistensi. Artinya bahwa eksistensi yang sejati adalah yang secara mutlak wajib ada, yaitu Tuhan. Yang lainnya memiliki suatu eksistensi yang bersifat ilusi.

Bahasan teologi menyertakan isu-isu yang berkenaan dengan asal-usul penciptaan, kebangkitan, kenabian, kepemimpinan, dan topik-topik terkait. Eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya merupakan bahasan mistisisme. Namun demikian, mistisisme tidak berurusan dengan pembuktian adanya Tuhan, yang di luar cakupannya. Tidak ada disiplin ilmu yang diperlukan untuk membuktikan eksistensi pokok bahasannya. Eksistensi Tuhan tidak memperoleh perhatian dalam mistisisme, dan tugas onto-teologi atau teologilah untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Sekedar fakta bahwa Tuhan itu ada adalah masalah filosofis, karena sifat wajib ada di antara sifat-sifat eksistensi.

Konsepsi umum dalam mistisisme dan filsafat tidak sama. Dalam filsafat, eksistensi dibagi menjadi kategori-kategori semacam: kejamakan dan ketunggalan, kausalitas, esensi dan sifat-sifat, keabadian dan sifat baru, dan eksistensi wajib (inheren) atau eksistensi yang mungkin. Namun demikian, dalam mistisisme dengan asumsinya tentang monorealisme (wahdat al-wujud), kategori-kategori eksistensi ini sama sekali tidak masuk akal. Berbagai bentuk dan warna berbeda pada eksisten adalah ilusi, karena ada ketunggalan dalam ketunggalan. Yang ada hanya satu realitas.

Dalam filsafat, yang dipertimbangkan adalah konsep-konsep umum. Melalui sebuah proses abstraksi deduktif, pikiran melanjutkan untuk mengonseptualisasikan beberapa konsep umum, yang tidak memiliki posisi dalam eksistensi konkrit. Tahap pertama proses semacam itu terjadi dengan membentuk sebuah konsep umum, yang bisa diterapkan para subjek-subjek yang aktual dan nyata. Misalnya, konsep tentang “kucing” diasumsikan dari seekor atau banyak kucing yang nyata, tetapi konsep umum ini tidak ekuivalen dengan bayangan kita tentang kucing individual mana pun. Ini merupakan sebuah konsep umum, yang meliputi sifat-sifat lazim kucing, dan mengabaikan perbedaannya. Konseptualisasi ini bahkan bisa melangkah lebih jauh dan menghasilkan konsep sekunder, seperti seekor “binatang.” Bahkan ada sebuah konseptualisasi yang lebih canggih ketika kita menyimpulkan kategori-kategori logis seperti “generality-sifat umum,” “necessity-sifat wajib,” “causality-kausalitas dan sebagainya. Mereka bisa berupa konsep sekunder yang logis atau yang filosofis (ma‘qulat tsaniyyah manthiqiyyah aw falsafiyyah).

Shadruddin Muhammad Syirazi (w. 1641) dikenal sebagai Mulla Shadra, seorang filosof zaman kebangkitan Safawi di Iran, mengakhiri kontroversi antara filsafat dan irfan ketika ia memperkenalkan filsafat transendentalnya, dengan menggabungkan elemen-elemen dari kedua belah pihak.7 Nilai orisinal kontribusinya terletak pada teori eksistensialisnya (jangan terkacaukan dengan eksistensialisme Eropa Modern),8 yang menurutnya, batas-batas eksistensi yang membentuk identitas sesuatu dianggap sebagai hal yang sekunder pada eksistensi itu sendiri. Dalam teori piramida eksistensi (hiram-e hasti)-nya, semua makhluk memiliki eksistensi, namun perbedaan mereka berasal dari derajat atau intensitas eksistensi mereka. Eksistensi Tuhan dalam piramida ini tidak memiliki batasan dan keterbatasan. Oleh karena itu, identitasnya identik dengan eksistensi-Nya. Dengan pemahaman seperti ini, perbedaan antara filsafat dengan irfan bisa diselesaikan. Ada kejamakan (derajat eksistensi) dalam ketunggalan (semua wujud memiliki eksistensi).9 Ini merupakan doktrin tasykik al-wujid, atau gradasi dan modulasi eksistensi.10

Sifat Konstan Eksistensi

Apakah eksistensi itu statis atau dinamis? Jika dinamis, bagaimana ia bisa konstan dan berkelanjutan? Jika eksistensi itu konstan, apa pengaruhnya bagi pikiran? Para filosof Islam klasik percaya bahwa jika suatu wujud ciptaan dan penyebab eksistensinya itu ada, maka wujud itu akan terus ada, tak terpengaruh oleh berlalunya waktu. Sebenarnya, mereka berpikir bahwa alih-alih berlalunya waktu, wujud tetap mempertahankan identitasnya (huwiyyah). Mistisisme tidak sepakat dengan pemikiran ini. Dalam irfan, tidak ada keberlangsungan seperti itu, dan eksistensi diperbarui secara konstan. Mereka memiliki identitas baru seiring dengan berjalannya waktu. Imajinasi kitalah yang berusaha untuk mengabaikan transformasi fundamental ini. Karenanya, eksistensi itu adalah sebuah proses untuk menjadi —process of becoming.

Ketidakcocokan antara pendekatan filosofis dan mistis ini diselesaikan oleh Mulla Shadra melalui teori gerak substansial (harakah jawhariyyah). Dia berpendapat bahwa walaupun eksistensi cair menjalani perubahan yang konstan, ada satu faktor yang selalu menyertai eksistensi yang mengalir jauh ini di sepanjang waktu. Ia adalah eksistensi itu sendiri, yang senantiasa hadir pada setiap detik dari segala perubahan. Sekali lagi, aspek statis dan dinamis yang dimiliki eksistensi bisa dipertemukan.[]

Catatan:

1. Tentang hirarki pengetahuan, lihat Seyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, edisi ke-2, Cambridge: Islamic Texts Society 1987, hal.59-64; Osman Bakar, The Classification of the Sciences in Islamic Philosophy, Cambridge: Islamic Texts Society 2000.

2. Tentang tema penting ini, lihat Allamah Thabathaba’i, Risalat al-Wilaya, Tehran: Intisharat-e Hikmat 1374 Syamsi, dan Hasan Zadah Amuli, "Vilayat-e Takvini," dalam Majma‘a-ye Maqalat, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1375 Syamsi, hal.31-82.

3. Rumi, Mathnavi-ye Ma‘navi, ed. R.A. Nicholson, London: Gibb Memorial Trust 1925-40, vol.II, ayat ke-2943.

4. Bandingkan dengan Katibi Qazwini, “al-Risalah al-Syamsiyyah” dalam Biblioteca Indica Appendix I, ed. A. Sprenger, Calcutta: Bengal Military Orphan Press 1854, hal.3.

5. Skema empat lapis ini memiliki para pendahulu terkemuka di zaman Neoplatonis dan penyusunan kurikulum dan pendidikan tradisional. Lihat, I. Hadot, "Les introductions aux commentaires exégètiques," dalam Les règles de l’interpretation, ed. M. Tardieu, Paris: Presses Universitaires de France 1987, hal.99-122.

6. Dawud Qaysari, Syarh-e Muqaddima-ye Qaysari bar Fushush al-Hikam, ed. S.J. ashtiyânî, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1991, hal.100.

7. Dalam beberapa tulisannya, dia lebih mengistimewakan mistisisme daripada filsafat. Misalnya, dalam hirarki ilmunya dalam “Iksir al-‘Arifin” dalam Rasa’il, Tehran lithograph 1885, hal.279-86, dia menempatkan ilmu-ilmu “kondisi” (ahwal) pada puncak pencarian akal. Filsafat lain yang menempatkan mistisisme sebagai kulminasi pencarian adalah Quthbuddin Syirazi (w. 1311), yang melengkapi ensiklopedinya, Durrat al-Taj li-Ghurrat al-Dubaj dengan sebuah khatima tentang mistisisme —lihat, Majlis-e Syura 4720, vol.596-620; bandingkan dengan J. Walbridge, "A Sufi scientist of the thirteenth century: The mystical ideas and practices of Quthbuddin Syirazi," dalam The heritage of Sufism Volume II: The Legacy of Medieval Persian Sufism, ed. L. Lewisohn, laporan, Oxford: Oneworld 1999, hal.326-40.

8. Bandingkan dengan diskusi pembuka Henry Corbin dalam pendahuluannya pada Mulla Shadra Syirazi, Kitab al-Masha‘ir (Le Livre des Pénétrations Métaphysiques, laporan,Tehran 1982, hal.62-75.

9. Lihat Fazlurrahman, The philosophy of Mulla Shadra, Albany: State University of New York Press 1975, hal.27-41.

10. Lihat Sajjad H. Rizvi, Modulation of Being (Tasykik al-Wujud) in the Philosophy of Mulla Shadra Syirazi, desertasi doktoral yang tidak dipublikasikan, Cambridge University 2000.

Sifat, Nama Tahapan, dan Kedudukan Nafs dalam Perjuangan dan Peningkatannya

Sebuah terjemahan dari teks klasik oleh Mahmoud Mostafa, yang membahas sifat, nama tahapan dan kedudukan nafs dalam perjuangan dan peningkatannya. Dalam al-Quran disebutkan secara umum lima tingkatan jiwa manusia. Oleh kaum arif, diperinci menjadi tujuh tahapan, bahwa nafs bisa saja naik sampai pada kedudukan yang paling indah; atau ia bisa turun sampai pada kedudukan yang terendah dari yang rendah.

Sebelumnya telah jelas bagi kita bahwa ada tiga musuh utama dan penyebab kerusakan dan kesesatan manusia. Pertama, hasrat ego (hawa an-nafs). Juga dikenal sebagai nafsu tersembunyi. Ini adalah musuh nomor satu dan yang paling berbahaya, karena jika ia ada, maka kedua musuh yang lainnya akan ada, dan tanpanya, maka musuh dari dalam nafs tak akan ada pula. Musuh ini berada jauh di dalam hakikat umat manusia, yakni di dalam nafs-nya, di sebelah kiri, dan bersifat mendorong kepada pelanggaran (fujur). Ia adalah lawan dari sisi kanan jiwa yang bersifat mendorong kepada kesadaran (taqwa).

Pelanggaran jiwa terjadi di dalam hasratnya dan hasratnya itu berarti nafsunya kepada kebanggaan diri (aku!) dan kebebasan (kekuasaan dan kedengkian tanpa batas). Musuh ini adalah penyebab utama penzaliman diri sendiri pada manusia. Penzaliman ini menuntun kepada penolakan dan politeisme, atau kepada kesesatan, keingkaran, dan dosa-dosa. Tidak ada obat bagi kedua hasrat ini kecuali melalui mengingatkan nafs secara terus-menerus tentang hidupnya yang sementara dan tentang kematian yang pasti datang. “Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada keburukan kecuali bagi mereka yang telah diberi pengampunan oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Kedua, hasrat akan hiasan dunia (syahwat ad-dunya). Ini adalah musuh yang kedua, namun ia ada di luar hakikat umat manusia. Ia adalah senjata Iblis yang dimainkannya di depan mata yang penuh birahi dari hasrat ego. Jadi ia membuatnya seperti cermin yang menarik perhatian nafs dan menggodanya, sehingga ia berbelok dan bergerak menuju kesenangan pribadi dan keterikatan pada hasrat dan kecintaannya pada dunia material, yang mendorongnya hingga terjatuh ke dalam kepalsuan duniawi dan lautan kebinasaan.

Satu-satunya obat bagi hasrat ini adalah bersikap sadar dan tegas terhadap sifat sementara dari dunia ini, dan kesadaran akan perlunya manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan kepadanya. Yaitu dengan mengetahui bahwa dunia hanyalah rumah sementara dan tempat ujian dan cobaan. Yaitu dengan memahami bahwa dunia ini adalah bagian dari sebuah rangkaian keabadian; sebelumnya ia merupakan rumah bagi atom (dar az-zhar) dan sesudahnya, akan muncul tahap lain, yakni alam isthmus (alam al-barzakh). Hasrat kepada dunia ada lima, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, “Kecintaan pada hasrat telah dibuat menjadi indah bagi manusia: yaitu kepada perempuan-perempuan, keturunan, emas dan perak, kuda-kuda yang gagah, ternak, dan pertanian.” (QS. Ali Imran [3]: 14)

Ketiga, setan adalah musuh yang ketiga (syaitan ar-rajim). Dia juga berada di luar hakikat manusia. Perannya adalah untuk menggoda, menyesatkan, dan mempercantik segala yang salah dan terlarang dan keji di dunia ini agar membuat nafs menjadi terikat pada semua itu melalui hasratnya. Ia tak punya maksud selain merayu dan menggoda ego, dan tak punya senjata selain menghidupkan dan menyetir kedua hasrat ego, yaitu “keakuan” dan “kekuasaan” sehingga manusia akan merasa bangga dengan dirinya sendiri, dan pada gilirannya memperjauh kesesatannya. Dengan cara ini, setan menuntun manusia untuk mengarah pada kekafiran dan politeisme, atau keingkaran dan dosa-dosa. Tiada obat atau pun pencegahan untuk hal ini kecuali dengan terus-menerus mengingat dan mencari pertolongan Allah, dan menyandarkan kepercayaan kepada-Nya. “Sesungguhnya setan adalah musuhmu, maka jadikanlah ia musuhmu.” (QS. Fathir [35]: 6)

Naik atau turunnya nafs tergantung pada derajat pengobatan dan perlindungan dari ketiga musuh ini. Jadi, nafs bisa saja naik sampai pada kedudukan “…kedudukan yang paling indah.” Atau ia bisa turun sampai pada kedudukan “…yang terendah dari yang rendah.”

Al-Quran menyebutkan lima tingkatan jiwa manusia. Tahap dasar adalah yang ada bersama kelahiran kita, yang disebut dengan jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah). Jika diabaikan dan dibiarkan dengan dorongan dan hasratnya, maka ia akan naik kepada jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah). Dan jika ia berkembang dan dipelihara melalui usaha dan pertahanan diri melawan hasrat-hasratnya, maka insya Allah, ia akan naik ke tingkatan tertinggi, yakni kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya saw. Tingkat yang lebih tinggi ini ada tiga, yang tepat di atas jiwa yang penuh celaan tadi adalah jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainah), diikuti oleh jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah), dan akhirnya pada jiwa yang diridhai (nafs al-mardhiyyah), dan inilah yang dimaksud dengan jiwa yang meraih tempat dan kedudukan asalnya, yang merupakan “…kedudukan yang paling indah.”

Para arif (arifin) telah merinci dan memaparkan masalah ini dan mempermudah umat Islam untuk memahaminya, dan mempraktikkannya, agar tindakan pencegahan dan pengobatan menjadi mudah. Mereka menjabarkan tujuh tingkat dari lima cakupan yang disebutkan dalam al-Quran:

1. Jiwa yang penuh perintah (nafs al-ammarah)

Zikir yang tepat untuk menanganinya adalah La Ilâha illallah (Tiada tuhan selain Allah). Ia adalah tingkatan jiwa yang paling rendah dan yang paling buruk. Di dalamnya ditemukan hasrat dan nafsu yang ekstrim akan kebanggaan diri dan kekuasaan. Jadi, ia terikat pada karakteristik yang paling buruk, yang oleh Allah dan Nabi-Nya saw, kita diperingatkan untuk mewaspadainya. Misalnya, kekaguman pada diri sendiri, arogansi dan kesombongan, kekerasan hati, kesenangan membeberkan kesalahan orang lain, berbohong, gosip, main belakang, iri, dengki, senang mengkritik, memuji diri dengan pujian tak pantas, tidak ramah, selalu menginginkan apa yang dimiliki orang lain bahkan walau yang dimilikinya lebih baik, selalu kurang puas, kurang bersyukur, buta terhadap karunia yang diterima, berharap maju tanpa usaha, egois berlebihan, ketamakan dan keserakahan yang tak berbatas, senang menguasai, cinta pada diri dan hasrat-hasratnya, kebencian pada yang mengkritik walaupun itu demi kebaikannya sendiri, dan cinta pada yang memuji walaupun mereka itu munafik, menolak nasihat dan bimbingan, dan hanya peduli pada dirinya sendiri.

Jiwa yang penuh perintah ini secara umum dibagi menjadi dua tingkat: Pertama, jiwa binatang (nafs al-hayawaniyyah); ia adalah jiwa yang mengejar hasrat-hasrat sensual dan kepemilikan materi tanpa peduli itu benar atau salah, adil atau zalim, halal atau haram. Ia tenggelam dalam kesenangan kepemilikan, seks, dan perhiasan. Ia penuh dengan nafsu, kejahatan, dan tidak manusiawi. Ia membenci agama, dan mencintai dirinya sendiri dengan penuh keegoisan. Ia tidak tahu apa itu puas, malu, rasa syukur, rasa hormat, dan tak pula punya sikap yang baik.

Kedua, jiwa setan (nafs al-iblisiyyah); ia bahkan lebih rendah dari jiwa binatang, karena kecintaannya pada dirinya sendiri telah mencapai tahap di mana ia menantang Allah untuk bersaing dalam ketuhanan dan kekuasaan-Nya. “Aku adalah tuhan kamu sekalian….” Kata Firaun, dan kata Iblis, “Aku lebih baik dari dia (Adam)…”

Jiwa yang penuh perintah ini ada pada hati yang berpenyakit. Jika hati itu tak disembuhkan, maka nafs ini akan melanjutkan perjalanannya sampai hati yang terbutakan dan akhirnya terkunci. Akar dari jiwa ini adalah, ia yakin bahwa dirinya itu sempurna, dan bahwa yang lainnya rusak, dan bahwa semua orang lain akan mati sedangkan dirinya tetap abadi. Ia dinamakan dengan istilah itu karena begitu banyaknya permintaan dan ajakan yang harus segera dipenuhi untuk memuaskan hasratnya. Jadi, ia menginginkan sesuatu, dan sebelum itu terpenuhi, ia akan meminta sesuatu yang lain, demikian terus-menerus. Manusia pada tahap ini adalah kawan dan dicintai setan, dan musuh Allah Yang Maha Pengasih. “Kecuali pada mereka yang Allah tunjukkan kasih-sayang.”

2. Jiwa yang penuh celaan (nafs al-lawwamah)

Zikir penyembuhnya adalah Allah (Tuhan). Ia adalah jiwa yang ada bersamaan dengan lahirnya seorang manusia ke dunia, sebagaimana firman Allah, “Demi Dia Yang membawa jiwa kepada keseimbangan, yang mengilhamkan kepadanya dengan penyimpangan dan ketakwaannya.” (QS. Syams [91]: 7-8)

Ini adalah jiwa yang telah disentuh oleh kasih-sayang Allah, sehingga ketika ia melakukan dosa atau terjatuh dalam kemungkaran, maka ia akan mencela dirinya sendiri dan kembali memohon ampunan dan bertobat kepada Penciptanya. Lalu ia akan terus taat sampai ia tergelincir kembali ke dalam dosa, lalu ia kembali mohon ampun dan bertobat, dan seterusnya. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Baginda Nabi saw, “Semua manusia itu cenderung untuk berbuat dosa, dan pendosa yang terbaik adalah yang bertobat.” Ia adalah jiwa yang terus-menerus berada dalam fluktuasi antara ketaatan dan kemungkaran. Di satu waktu ia tak peduli dan terjatuh, di waktu lain ia sadar dan bertahan.

Ini adalah kedudukan awal di mana kita mulai melangkah sejak lahir, dan dari sana kita turun atau naik. Ciri-cirinya adalah terjadinya fluktuasi antara karakteristik antara penghuni dunia ini dan penghuni alam setelah dunia ini. Kondisinya tidak sama jahatnya dengan jiwa yang penuh perintah, tetapi hasratnya akan kebanggaan diri dan kekuasaan masih aktif di dalamnya, walaupun takarannya sudah sangat ditekan atau dilemahkan. Ini adalah tahap pertama untuk mencapai keselamatan bagi jiwa, dan langkah pertama untuk menuju penyucian jiwa dan keberhasilannya.

3. Jiwa yang terilhami (nafs al-mulhamah)

Zikirnya adalah Hu (kata ganti Tuhan, DIA). Ia adalah jiwa yang telah naik melalui perjuangan dan komitmen terhadap jalannya yang sejati, dari tingkat jiwa yang penuh celaan menuju jiwa yang secara terus-menerus memohon pengampunan dan bertobat, baik ia berbuat dosa atau pun tidak. Ini disebabkan oleh keyakinannya bahwa akar dari sifat-sifatnya adalah ketidaksempurnaan, kesalahan, kelemahan, dan ketidaklengkapan.

Pada tingkatan ini, jiwa terilhami dengan kecintaan tahap awal kepada perbuatan baik (amal saleh), dan kepada al-Quran, dan ajaran Nabi saw. Ia juga terilhami oleh kecintaan kepada zikir, dan untuk memohon pengampunan (istigfar), dan untuk meluruskan niatnya (niyyah), dan untuk memperbarui tobatnya (tawbah).

Ini adalah tahap terakhir bahaya bagi jiwa, karena ia masih tak terjaga dari kemungkinan turun kepada tingkatan yang lebih rendah, yaitu nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Pada tingkat ini, hasrat akan kebanggaan diri dan kekuasaan telah tidur, kecuali terlintasnya kedua hasrat itu dalam pikiran.

4. Jiwa yang tenteram (nafs al-muthmainnah)

Zikirnya adalah Haqq (Kebenaran). Ia adalah jiwa yang telah naik kepada tingkatan tahap yang pertama, dan meniti tangga menuju kedekatan, kebahagiaan, dan kecintaan pada Allah. Penyuciannya ini diperoleh melalui meningkatkan komitmen, dan ia memenuhi kewajibannya dengan penuh ketulusan dan kejujuran, dengan berpegang pada jalan yang hakiki dalam semua aspeknya, khususnya dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dalam budi pekertinya, sebelum ibadah-ibadah ritual. Nabi saw bersabda, “Jalan (agama) itu ada pada budi pekerti,” dan “Yang paling baik budi pekertinya di antara kalian adalah yang terbaik keimanannya.”

Jiwa yang tenteram ini telah memasuki jalan, metode, dan sarana perlindungan dan pengobatan melalui menghitung kesalahan diri, bertahan dari godaan, berjuang, dan dengan kesetiaan. Semua upaya ini membuahkan hasil berupa keyakinan atas kebenaran bahwa hanya Allah sajalah Yang berkuasa. Dia adalah Penyebab dan Penggerak segala sesuatu, karena tiada tuhan selain Dia dan tiada penguasa selain Dia. Dan dalam segala tindakan-Nya, Allah adalah Pengasih dan Pemurah. Dia mengetahui yang paling bermanfaat bagi jiwa ini. Keyakinan ini mengarahkan jiwa pada kepercayaan pada Allah. Ia mengarahkannya pada sifat Pengasih dan Pemurah-Nya. Jiwa ini menjadi yakin bahwa yang bersama dengan Allah adalah lebih baik dan lebih bertahan daripada segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang dimiliki oleh orang lain. Dengan begitu, ia mencapai keyakinan yang lengkap kepada Tuhannya; Dia Yang mengetahui apa yang terbaik baginya, dan Dia adalah Rabb Yang Terbaik, dan Penjaga (wakil) Yang Terbaik. Jadi, jiwa akan menjadi tenteram dan berhenti menimbuni dirinya dengan segala sesuatu selain apa yang telah berhasil diyakininya, yaitu Tuhannya, Allah.

Pada posisi ini, jiwa memperluas kapasitasnya di luar upaya dan kesungguhannya dalam bertobat. Ketika ia merasa tenteram bersama Allah, pada dirinya ia memberikan posisi tambahan seperti harapan (raja) dan ketakutan (khawf) dan kepercayaan kepada-Nya (tawakkal). Pada tingkatan ini, jiwa yang tenteram senantiasa berzikir kepada Allah baik di lidah maupun di hatinya. “Bukankah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram?” (QS. Rad [13]: 28)

Ini adalah tahap pertama bagi sempurnanya (kamal) jiwa. Hati mulai bersinar dengan cahaya kesadaran. Kekuatan ego mulai menyusut, sehingga kesucian, keindahan, kejelasan, dan cahaya mendominasi hati, sehingga ia menjadi jiwa yang tenteram. Pada tingkatan ini, hasrat-hasrat kebanggaan diri dan kekuasaan jadi sepenuhnya terhalangi, dan keduanya kembali kepada pemiliknya yang sejati, yakni Allah. Kini jiwa mulai menunjukkan sifat-sifat sejatinya yang sebelumnya tersembunyi, yang berupa sifat-sifat kehambaan (ubudiyyah), tak berdaya (‘ajz), kehinaan (zhull), kemiskinan (faqr), membutuhkan (ihtiyaj), dan kefanaan (fana).

5. Jiwa yang puas (nafs ar-radhiyyah)

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas…” (QS. al-Fajar [89]: 28)

Zikirnya adalah Hayy (Hidup). Ketika jiwa yang tenteram naik kepada Tuhannya, cahaya hatinya semakin terang dan memenuhi keseluruhan tubuh, mengubah hasrat-hasrat sensual ego menjadi hasrat yang telah diajarkan oleh Nabi saw dari dalam al-Quran dan sunah. Kini hasratnya sepenuhnya hanya untuk hal-hal seperti itu dan secara mutlak puas bersama Tuhannya. Kini kesulitan dan kemudahan menjadi sama baginya, sebagaimana kerugian dan keberuntungan, dan memberi atau menerima, karena setelah menjadi tenteram, ia yakin bahwa semua tindakan dan perbuatan itu sebenarnya berasal hanya dari Allah. Dia adalah Tuan, Penguasa, dan Penciptanya. Dia adalah Yang memberinya pengampunan dan kasih-sayang. Dia adalah Yang Lembut dan Pemurah kepadanya. Segala sesuatu yang berasal dari yang dicintainya pasti diterima olehnya, dan ia puas bersamanya. Ia puas dengan apa pun yang diperintahkan Allah untuk dilakukannya.

Pada tahap ini, watak jiwa ini adalah: jika diuji ia bersabar, jika diberi ia bersyukur, jika dijauhkan dari keuntungan ia menerima, jika ada perbuatan salah kepadanya ia memaafkan. Kini ia menjadi jiwa dengan hati yang tenang dan indah. Ia berjalan di semua kedudukannya, antara kepercayaan (tawwakal) dan merasa jauh (tafwid), kepuasan (ridha), dan menyerah (taslim) kepada Allah. Sifat dari jiwa ini adalah selalu ceria, penuh syukur, dan rasa terima-kasih tak peduli apa pun yang terjadi. Ini adalah tingkatan kedua dari jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah), yang merupakan tahap penghambaan. Dengan naik kepada tingkat ini, jiwa yang puas telah memasuki tingkat pertama dari “…kedudukan yang paling indah.” Tingkatan ini terhubung dengan tingkatan di atasnya.

6. Jiwa yang diridai (nafs al-mardiyyah)

“Kembalilah pada Tuhanmu dengan rasa puas dan diridai-Nya” (QS. al-Fajar [89]: 28)

Zikirnya adalah Qayyum (Yang Hidup dengan Sendirinya) pada tahapan ini jiwa bukan hanya puas dengan Tuhannya tapi juga diridai-Nya. “Allah rida dengan mereka dan mereka rida dengan-Nya.” (QS. Bayyinah [98]: 8)

Rasulullah saw ditanya, “Kapankah kami akan mencapai rida Allah?” Dia menjawab, “Ketika kalian rida dengan Tuhan kalian.”

Pada tahap ini, cahaya hati telah disempurnakan. Hati bertolak dari hati yang tenang (qalb salim) menuju hati yang secara total merasa takut (khasyiyah) kepada Allah, secara terus-menerus cenderung (munib) kepada-Nya, dihiasi dengan kesahajaan (haya’) di hadapan-Nya setiap saat.

“Barangsiapa yang takut kepada Allah secara diam-diam dan datang kepada-Nya dengan hati yang bertobat. Masuklah surga dengan damai. Itu adalah hari yang kekal. Di dalamnya mereka akan peroleh apa pun yang mereka kehendaki, dan bersama Kami ada kelebihannya.” (QS. Qaf [50]: 33-35)

Orang-orang pada tahap ini adalah mereka yang menyaksikan manifestasi-manifestasi berbagai tindakan dari nama-nama Allah (musyahadat tajalliyyat afa’al Allah). Manifestasi kekuasaan Allah yang telah mereka saksikan dalam hati telah membuat mereka merasa takut di hadapan Kebesaran dan Kekuasaan Allah dalam segala tindakan-Nya, yang pada hakikatnya adalah manifestasi dari nama-nama-Nya. Orang pada tingkatan ini juga dikaruniai penyingkapan dan mukjizat-mukjizat untuk membuat mereka bisa mengajak manusia menuju cinta Allah. Pada hakikatnya mukjizat ini ditujukan bagi mereka yang menyangkal dan menolak kebenaran, namun pada saat yang sama menyeru kepada Allah. Kepada mereka Allah mengirimkan mukjizat melalui orang pada tingkatan ini, sehingga ego mereka akan tunduk kepada mukjizat-mukjizat tersebut, dan mereka akan kembali ke jalan Allah. Karena ketika Allah mencintai salah seorang hamba-Nya, maka Dia akan mencarinya dan memanggilnya kepada-Nya. Jika dipanggil satu kali hamba itu memberi respon, maka ia akan dibawa mendekati Allah. Allah mencari hamba-Nya itu melalui cobaan-cobaan, atau melalui mukjizat. Karena perintah Allah itu harus menjadi kenyataan dan sepenuhnya wajib terlaksana.

Tingkatan ini adalah tingkatan iman yang terakhir, dan melaluinya jiwa memasuki tingkatan “….kedudukan yang paling indah” (ihsan), yang merupakan tujuan dan hasrat bagi seluruh hamba.

7. Jiwa yang sempurna (nafs al-kamilah)

Juga dikenal dengan istilah jiwa cahaya (nafs al-nuraniyyah), jiwa Muhammadan (nafs al-Muhammadiyyah), dan jiwa yang mencinta (nafs al-muhibbah).

“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya; mereka akan rendah hati kepada orang-orang beriman dan tegas terhadap yang ingkar. Mereka akan berjuang di jalan Allah dan tidak akan takut celaan dari orang-orang yang mencela. Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun di antara hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Maidah [5]: 54)

“Maka ikutilah aku dan Allah, dan Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)

Zikir lahiriahnya adalah Qahhar (Yang Memaksa) dan zikir batiniahnya adalah Wadud (Yang Mencintai). Ini adalah tingkatan kesempurnaan penghambaan terhadap Allah, melalui kesempurnaan mengikuti ajaran-ajaran manusia yang dicintai-Nya, Muhammad saw. Orang yang mencapai tingkatan ini dikaruniai dengan pengetahuan tentang cinta Allah yang sempurna baginya dan bagi Nabi-Nya saw.

Ini adalah tingkatan keindahan (Maqam al-Ihsan) dan ia di atas semua tingkatan iman yang sebelumnya. Pada tahap ini seorang hamba telah sepenuhnya mencapai tingkatan “…kedudukan yang paling indah.” Dan karenanya, ia memasuki cahaya manusia yang dicintai-Nya, yang terpilih, pada jarak "Two bow's lengths or nearer," dari langkah-langkah kekasih-Nya, Muhammad saw. Ini adalah tahap terakhir dalam tingkatan-tingkatan jiwa. Tahap ini tidak memiliki akhir dalam peningkatan dan keindahannya. Orang-orang pada tahapan ini, dalam hati mereka tidak terdapat apa pun selain kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya, dan pada mereka yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada tahap ini, jiwa yang sempurna menjadi cermin bagi hakikat cahaya kerasulan jiwa Muhammadan, sehingga ia mencapai sifat-sifat kecintaan dan penghambaan yang sempurna. Pada tahap ini jiwa menikmati cahaya-cahaya manifestasi sifat-sifat dan hakikat Allah (tajalliyat ash-shifat wa adz-dzat al-Illahiyyah), sehingga ia bergerak dalam cahaya kebahagiaan dalam semua kedudukan dan tahapannya. Ia adalah jiwa malaikat cahaya yang berada dalam tubuh manusia. Ia tak lagi egois; ia tak memiliki pilihan, dan jika ia diberi pilihan, maka ia akan memilih hanya yang dicintai dan disukai Allah. Jika ditanya, apakah ia merasa memperoleh karunia atau dijauhkan darinya, maka ia tidak akan tahu, karena cinta telah menguasainya dan sehingga, ia telah secara total tidak dikuasai oleh sebab-sebab. Ia terhinakan melalui cinta (hubb), kekaguman (walah), dan hasrat (isyq), menuju cahaya keindahan hakikat Tuhan pemilik sebab-sebab, yang merupakan Kecintaannya dan Pelindungnya. Orang-orang pada tahap ini adalah orang-orang yang menjadi Kecintaan dan Hasrat Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jejak sejati Muhammad saw.

Mereka sibuk dengan kecintaan dan ibadah kepada Kebenaran Sejati, dan tidak tertarik kepada makhluk kecuali untuk memenuhi kewajiban mereka. Dan karena mereka telah menjadi cermin bagi cahaya Muhammadan, dengan kokoh mereka selalu dalam Lingkupan Kenabian. Segala gerak, diam, perkataan, dan perbuatan mereka adalah dari Allah, melalui Allah, dan menuju Allah. Seluruh hati mereka mengikuti Manusia Terkasih dan Terpilih, Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, karena mereka telah mengetahui melalui Allah bahwa dia (Nabi) adalah kekasih pertama, cahaya yang pertama yang bersujud, menyembah, dan menghamba kepada-Nya. Barangsiapa dari para pecinta yang mematuhi, mencintai, dan meneladaninya dalam sifat, perbuatan, dan ibadahnya, akan memperoleh kecintaan Allah.

Orang-orang seperti ini adalah hamba-hamba yang telah dibawa mendekat (muqarrabun) dan telah dipilih, dan telah mencapai kepastian bahwa kewajiban mereka yang pertama setelah penghambaan adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ini dilakukan dengan tetap mematuhi hukum dan menjunjung tinggi agamanya. Mereka adalah para pemuka dalam pengetahuan agama dan mereka merupakan cahaya kearifan di dalam Kebenaran. Melalui cahaya di dalam hati mereka, manusia lain yang ada di sekitar mereka menjadi tersinari, dan berkat zikir-zikir merekalah, pengampunan diturunkan. Mereka telah memiliki segala yang mereka inginkan, dan mereka hanya menghendaki kecintaan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mencari dunia ini, tak pula mereka dikuasai oleh dunia yang selanjutnya. Segala perhatian mereka adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allah, untuk mendengar dari-Nya, selalu berdekatan dengan-Nya, karena mereka menganggap bahwa sedetik saja perpisahan dari-Nya adalah siksaan yang lebih pedih daripada neraka. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan itu berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat kebenaran, dalam kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa” (QS. al-Qamar [54]: 55).[]

Kamis, 23 Oktober 2008

Apakah TUHAN itu ada???????????
Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri
paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya dirumah ia
meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang
Guru agama, kiai atau siapapun yang bisa menjawab 3
pertanyaannya. Akhirnya Orang tua pemuda itu
mendapatkan orang tersebut.
Pemuda: Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya?

Ustad: Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya
akan menjawab pertanyaan anda

Pemuda: Anda yakin? sedang Profesor dan banyak
orang pintar saja tidak mampu menjawab
pertanyaan saya.

Ustad: Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya

Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan

1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan
wujud Tuhan kepada saya

2. Apakah yang dinamakan takdir

3. Kalau syetan diciptakan dari api kenapa
dimasukan ke neraka yang dibuat dari
api,tentu tidak menyakitkan buat syetan
Sebab mereka memiliki unsur yang sama.
Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?



Tiba-tiba Kyai tersebut menampar pipi si Pemuda

dengan keras.


Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah

kepada saya?


Ustad: Saya tidak marah...Tamparan itu adalah

jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda

ajukan kepada saya


Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti


Ustad: Bagaimana rasanya tamparan saya?


Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit


Ustad: Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?


Pemuda: Ya


Ustad: Tunjukan pada saya wujud sakit itu !


Pemuda: Saya tidak bisa


Ustad: Itulah jawaban pertanyaan pertama: kita

semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu

melihat wujudnya.


Ustad: Apakah tadi malam anda bermimpi akan

ditampar oleh saya?


Pemuda: Tidak


Ustad: Apakah pernah terpikir oleh anda akan

menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?


Pemuda: Tidak


Ustad: Itulah yang dinamakan Takdir


Ustad: Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan

untuk menampar anda?


Pemuda: kulit


Ustad: Terbuat dari apa pipi anda?


Pemuda: kulit


Ustad: Bagaimana rasanya tamparan saya?


Pemuda: sakit


Ustad: Walaupun Syeitan terbuat dari api dan Neraka

terbuat dari api, Jika Tuhan berkehendak

maka Neraka akan Menjadi tempat menyakitkan

untuk syeitan.

Senin, 20 Oktober 2008

Rahasia Ismul A'zham (Nama Allah Yang Paling Agung)

Sayyid yang mulia Alikhan Az-Zirazi (ra) mengatakan dalam kitabnya "Al-Kalim Ath-Thayyib": Ismul A'zham, nama Allah yang paling agung adalah Asma Allah yang dimulai dengan lafazh "Allah" dan diakhiri dengan kata "Huwa", serta pada huruf-hurufnya tidak ada huruf manqûth (yang bertitik), tidak berubah bacaannya, baik yang bisa dii'rab maupun yang tidak bisa dii'rab. Ismul A'zham terdapat di dalam Al-Qur'an, dalam lima ayat dan lima surat. Yaitu dalam surat Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisa', Thaha, dan At-Taghabun.

Syeikh Al-Maghrabi mengatakan: Barangsiapa yang menjadikan wirid lima ayat tersebut, dan mengulang-ulang setiap hari sebanyak sebelas kali, Allah akan segera memberi kemudahan baginya dalam urusan-urusannya, baik urusan itu kulliyah (universal, akhirat) maupun juz'iyah (parsial, dunia), insya Allah. Lima ayat tersebut adalah:

Pertama: Al-Baqarah 255(Ayat Kursi):

اَللهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ هُوَ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ. لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمٌ. لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلاَرْضِ. مَنْ ذَاالَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ. وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَاشَآءَ. وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ. وَلاَيَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا. وَهُوَ اْلعَلِيُّ الْعَظِيْمُ.

Allâhu lâilâha illâ Huwal Hayyul Qayyûm. Lâ ta’khudzuhu sinatuw wa lâ naum. Lahû mâ fis samâwâti wa mâ fil ardhi. Man dzal ladzî yasyfa‘u ‘indahu illâ biidznih. Ya‘lamu mâ bayna aydîhim. Wa mâ khalfahum wa lâ yuhîthûna bisyay-in(m) min ‘ilmihi illâ bimâsyâ’. Wasi‘a kursiyyuhus samâwâti wal ardhi. Wa lâ yu’duhû hifzhuhumâ. Wa Huwal ‘Aliyyul ‘Azhîm.

Kedua: Surat Ali-Imran: 1, dan dibaca sampai kalimat "wa anzalan Furqân":

اَللهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ هُوَ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ واَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالاِْنْجِيلَ مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَاَنْزَلَ الْفُرْقَانَ.

Allâhu lâilâha illâ Huwal Hayyul Qayyûm, nazzala 'alaykal kitâba bil-haqqi mushaddiqal lima bayna yadayhi, wa anzalat tawrâta wal-injîla min qablu hudal linnâsi wa anzalan furqân.

Allah tiada Tuhan kecuali Dia Yang Hidup dan Maha Mengawasi. Dialah yang menurunkan Al-Qur'an dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya; Dialah yang menurunkan Taurat dan Injil sebelum Al-Qur'an sebagai pentunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Qur'an.

Ketiga: Surat An-Nisa: 87

اَللهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ رَيْبَ فِيهِ وَمَنْ اَصْدَقُ مِنَ اللهِ حَدِيثاً.

Allâhu lâilâha illâ Huwa layajma'annakum ilâ yawmil qiyâmati lâ rayba fîhi wa man ashdaqu minallâhi hadîtsâ.

Allah tiada Tuhan kecuali Dia, sungguh Dia akan mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tiada keraguan di dalamnya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada Allah.

Keempat: Surat Thaha: 8

اَللهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ الاَْسْماءُ الْحُسْنى.

Allâhu lâilâha illâ Huwa lahul asmâul husnâ.

Allah tiada Tuhan kecuali Dia, Dialah yang memiliki nama-nama yang terbaik.

Kelima: Surat At-Taghabun: 13

اَللهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ.

Allâhu lâilâha illâ Huwa wa 'alallâhi falyatawakkalil mu'minûn.

Allah tiada Tuhan kecuali Dia, dan hanya kepada Allah orang-orang mukmin bertawakkal.

(Dikutip dari kitab Mafatiful Jinan, bab 1, hlm 107)

Dianjurkan doa Ismul A'zham ini disertai dengan doa Tawasul kepada 14 manusia suci.