Kamis, 18 Juni 2009

isra mi'raj

khusyu' mendengar tausyiah al habib wa al ustadz Muhammad Bagir bin syueb al Hasani

al Habib al ustadz Muhammad Bagir bin syueb al Hasani
\

ust. Haji Busairi hurian fahmi



arrisallah ikhwani

arrisallah ukhtina

akhwat

ikhwan

ikhwan
\
ust. Achmad Riyadi wa ikhwan

persatuan

akhina yadi (alm), muhammadnoor fauzi, Hb. Sulaiman Al Idrus, Ust. Toha Al Musawwa, Habib....., haji muhammadnoor suriadi, habib........, ust. agus hadi lesmana, muhammadnoor mahyuni, Hb. Hamid Al Idrus, Hb. Said Ahmad Al Habsyi, jaba.......,akhina Dani, wahyudinoor arifin, S.H, mas Hari sales executive...........

ikhwan di mesjid besar tamban pal 20 an

maulid rasul di mesjid besar Tamban...
akhina suhaimi wa ustadz Abdul quddus..

Rabu, 11 Maret 2009

Selamat tinggal Pejuang Islam




Ohashem dilahirkan dari keluarga petani di daerah Manado. Ia seorang dokter, penulis, dan cendikiawan muslim yang hidup sangat sederhana. Ia megisi hidupnya dengan berkarya tanpa henti walaupun harus memikul beban derita kehidupan.

Setelah tamat dari SMAN Manado, ia melanjutkan ke Surabaya kuliah di Fakultas Kodokteran Universitas Airlangga. Di sana beliau bersama-sama dengan beberapa tokoh masyarakat antara lain, dr. Suherman dari Muhammadiyah, Hadi A Hadi dari PNI dan seorang tokoh dari Al-Irsyad, mendirikan YAPI (Yayasan Penyiaran Islam). Yayasan inilah yang mula-mula menerbitkan karya-karyanya.

Ia seorang dokter yang mengabdi pada bangsa dan negara tanpa kenal lelah. Selama 9 tahun ia bertugas di pedalaman miskin, kota Agung Lampung. 18 tahun bekerja dinas sebagai kepala unit Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek, Lampung, sampai ia pensiun. Tidak lama kemudian ia pindah ke Jakarta atas desakan keluarga dan teman-temannya, mengingat Ohashem mengidap asma serius yang sering memerlukan perawatan yang intensif.

Berteman Meski Berbeda
Sikap toleransinya tanpa batas, dibuktikan dengan pergaulannya yang luas. Dalam keluarga Islam ia bersahabat dengan hampir semua kelompok aliran yang ada.

Menghargai dan menghormati pendapat, keyakinan dan ideologi orang lain melekat pada dirinya. Bahkan ia sempat berteman baik dengan seorang komunis, tokoh Ahmadiyah Saleh Nahdi yang sempat menjadi teman diskusinya.

Etos Menuntut Ilmu
Dalam setiap melakukan penelitian sebagai pedoman tertinggi kebenaran ilmu pengetahuan, ia tidak menyekat dirinya dengan sekat-sekat ideologis, apapun bentuknya, tidak menjadikan dirinya bersikap subjektif. Ia berani merevisi keyakinannya sendiri ketika ada pandangan lain yang lebih rasional, objektif sesuai nalar yang layak diterima.

Baginya, semua ilmu pengetahuan, apapun jenisnya, mesti berani diuji baik menggunakan metode verifikasi maupun falsifikasi. Seorang ilmuan harus berani karena kebenaran, bukan karena sama jenis kelompok dan golongannya. Visi inilah yang selalu ia pegang teguh. Ohashem lebih condong pada model keagamaan tertentu, juga karena alasan ilmu yang didapatkannya. Hasil dari pencarian mendalam yang memiliki landasan ilmiah-objektif sesuai penelitian dan pengalamannya.

Karya Monumental
Di kalangan cendikiawan Ohashem dikenal sebagai pemikir dan penulis. Karya-karyanya bersifat merespon subjek aktual sesuai keadaan dan waktunya, antara lain:
1. Rohani Jasmani dan Kesehatan (1957)
2. Keesaan Tuhan (1962)
3. Marxisme dan Agama (1963)
4. Menaklukkan Dunia Islam (1965)
5. Jawaban Lengkap kepada Pendeta Prof. Dr. J. Verkuyl (1968)
6. Saqifah (1987)
7. Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari (2000)
8. Haji Mengikuti Jalur Para Nabi as (2000)
9. Darah dan Air Mata (2001)
10. Muhammad saw Sang Nabi (2005)
11. Sumbangan Islam terhadap peradaban dan Nahjul Balaghah
12. Benarkah ‘Aisyah Menikah di Usia Dini? (karya terakhir segera terbit)

Wafat
Ohashem wafat 24 Januari 2009 setelah dirawat selama 10 hari di rumah sakit MMC, Kuningan Jakarta.

Mari kita bacakan untuk beliau surat Al-Fatihah dan Doa:

Allâhumma jâfil ardha ‘an junûbihi, wa shâ’id ilayka rûhahu, wa laqqihi minka ridhwânâ, wa askin ilayhi mir rahmatika mâ tashilu bihi wahdatahu, wa tûnisu bihi wahsyatahu, innaka ‘alâ kulli syay-in qadîr.

Ya Allah, luaskan kuburnya, muliakan ruhnya, sampaikan ia pada ridha-Mu, tenteramkan ia dengan rahmat-Mu, rahmat yang menyambungkan kesendiriannya, yang menghibur kesepiannya. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Allâhumarham ghurbatahu, wa shil wahdatahu, wa anis wahsyatahu, wa amin raw‘atahu, wa askin ilayhi min rahmatika yastaghnî bihâ ‘an rahmatin min siwâka, wa alhiqhu biman kâma yatawallâhu.

Ya Allah, kasihi keterasingannya, sambungkan kesendiriannya, hiburlah kesepiannya, tenteramkan kekhawatirannya, tenangkan ia dengan rahmat-Mu yang dengannya tidak membutuhkan kasih sayang dari selain-Mu, dan susulkan ia kepada orang yang ia cintai.

Kamis, 01 Januari 2009

MENGENAL IMAM-IMAM AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH



by: Sayyid Alwi Yahya

Imam-imam ahlu sunnah terbagi dua, yaitu: Imam-imam dalam masalah fiqh dan Imam-imam masalah aqidah. Dalam masalah fiqh mereka mengikuti empat orang imam terkenal pemilik mazhab yang empat yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.READ MORE

Imam-imam yang empat itu bukanlah merupakan genertasi sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in, sehingga Rasul SAW tidak mengenal mereka , dan merekapun tidak mengenal Rasul SAW.Dari keempat imam tersebut, Abu Hanifah merupakan imam yang paling tua dimana usianya terpaut lebih dari dua ratus tahun dengan Rasul SAW. Adapun dalam masalah aqidah, ahlu sunnah mengikuti Al Asy’ari yang lahir tahun 270 H.Imam-imam inilah yang merupakan imam yang di ikuti dikalangan ahlu Sunnah dalam masalah aqidah dan Syari’at.

Nah…coba anda perhatikan, adakah dari imam-imam ini yang merupakan imam Ahlu Bait atau sahabat Nabi? Tentu tidak . Lantas mengapa mereka yang mengaku memegang teguh sunnah Nabi mengakhirkan atau mengunci mazhab yang empat ini hingga masa tersebut? Dimana Ahlu Sunnah sebelum munculnya para imam mazhab-mazhab itu ? dan bagaimana mereka beribadah, serta kepada siapa mereka berhukum sebelum itu? Dan bagaimana mereka bisa percaya kepada orang-orang yang tidak semasa dengan Nabi SAW dan Nabi pun tidak mengenal mereka, sementara ketika mereka muncul , fitnah dan peperangan sesama sahabat Nabi SAW dan diantara pengikut mazhab mereka terlah terjadi dimana-mana?

Pembaca yang saya hormati, cobalah anda berpikir secara jernih! Dapatkah sesorang yang berpikir sehat menerima para imam tersebut saat ketika fitnah dan kekacauan merajalela? Hanya karna dukungan politik dari penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah keempat mazhab tersebut dapat berkembang ditengah masyarakat(Silahkan lihat dikitab Ahlu Sunnah, Al Intifa’Ibnu Abdul Bar, Dhahral Al Islam Ahmad Amin dan manakib Abu Hanifah Al Muwafiq}

Bagaimana sesorang yang mengaku Ahlu Sunnah Nabi meninggalkan Sayyidina Ali, gerbang ilmu pengetahuan (lihat di shahih Muslim, bagian Keutamaan-keutamaan Sayyidina Ali, jilid 4 hal 1871).Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein penghulu pemuda di surga, serta Imam suci dari keluarga Nabi SAW yang telah mewarisi ilmu yang sebenarnya! Apakah pantas mereka mengaku sebagai pembela Sunah Nabi sementara pada saat yang sama mereka malah meninggalkan wasiat Nabi untuk mengikuti para Imam yang Suci? Cobalah anda perhatikan , kepentingan politik telah merubah segalnya, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kaum syi’ah yang memegang teguh wasiat Nabi dibilang pembangkang dan ahli bad’ah, sementara mereka yang tidak memegang teguh wasiat Nabi malah disebut pengikut sunnah Nabi. Dan saya yakin bahwa otak dari semua ini adalah orang Quraisy, karna mereka terkenal dengan pribadi-pribadi yang fanatik dan licik. Diantara para pembesar - pembesar ini adalah , Abu Sufyan, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidillah bin Jarrah. Mereka bermusyawarah dan bermufakat untuk menyebarkan berita-berita palsu ditengah-tengah masyarakat, tanpa diketahui oleh orang lain rahasia yang sebenarnya.

Diantara politik yang mereka lakukan adalah, menjadikan Nabi SAW tidak ma’sum dan tidak luput dari kesalahan seperti manusia biasa lainya, juga tuduhan-tuduhan dan caci maki mereka teradap Sayyidina Ali yang mereka hina dengan panggilan Abu Turab. Demi kian pula cacian dan kutukan terhadap Ammar bin Yassir yang mereka sebut sebagai Abdullah bin Saba atau Ibnu Sauda, karna Ammar menyerukan mengangkatan Sayyidina Ali sebagai khalifah(silahkan anda lihat buku Musthafa Kamil Al Syaibani yang memaparkan sejumlah bukti dusta rekaya yang menggelikan bahwa Abdullah bin Saba tidak lain adalah Ammar bin Yassir.)Demi kian pula rekayasa mereka yang menyebut diri mereka sebagai Ahlu Sunnah, supaya orang Islam menyangka bahwa merekalah yang memegang teguh Sunnah Nabi. Pada hakekatnya “sunnah “ yang mreka maksudkan tidak lain adalah bid’ah yang mereka ciptakan untuk mengutuk Sayyidina Ali dan keluarga Nabi SAW di seluruh polosok negri. “Bid’ah tersebut berlangsung lebih dari 80 tahun, hingga saat itu jika seorang khatif selesai dari khutbahnya dipastikan sebelum turun dari mimbabar akan berteriak “ saya meningalkan sunnah, saya meninggalkan sunnah! Dan tatkala Umar bin Abdul Aziz brusaha menggatikan sunnah itu dengan firman Allah ,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menegakkan keadilan dan kebaikan”(An Nahl;90) dan mereka bersekongkol membunuhnya dengan racun pada usia 32 tahun disaat itu baru menjabad khalifah kurang lebih dua tahun , karena usahanya untuk menghapus sunnah nenek moyang mereka sebelumnya dari Bani Umayyah dan setelah jatuhnya Bani Umayyah. Upaya menindasan dan menghinaan terhadap Sayyidina Ali dan pengikutnya terus dilakukan oleh penguasa-penguasa baru Bani Abbasiah yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Ja’far Al Muthasim Al Muttawakkil yang berusaha membongkar habis kuburan cucu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Husein di Karbala dan melarang para peziarah untuk mengunjunginya (Karna demi kian beratnya hinaan, cacian dan siksaan yang harus ditanggung oleh pengikut Sayyidina Ali dari para penguasa saat itu , sampai-sampai mereka lebih baik mengaku Yahudi dari pada mengaku Syi’ah.)

Khalifah Al Mutawakkil juga dikenal sebagai satu-satunya pengusa yang pernah membunuh semua bayi yang namanya Ali, karna ia emembenci mendengar nama itu.

Diceritakan bahwa Ali bin Jahm adalah seorang penyair tenar pada saat itu , tatkala berjumpa dengan Mutawakkil , ia menyatakan ; “Hai Amirul Mu’minin keluargaku telah mendurhakai aku dan Amirul Mu’minin”

“Kenapa?” tanya Al Mutawakkil

“Karna mereka menamakan diriku Ali, padahal aku paling benci nama itu”

Al Mutawakkil lantas terbahak-bahak dan memberikan sejumlah hadiah. Dan Khalifah Al Mutawakkil inilah yang oleh para ahli hadist Sunni disebut- sebagai pembangkit Sunnah.

Untuk memperjelas riwayat di atas, Imam Al Khawarizmi menulis dalam bukunya : “Harun dan Ja’far” Al Mutawakkil adalah mengukut setan, setiap orang yang mencaci maki Sayyidina Ali pasti mendapat kiriman hadiah.(Kitab Al Khawarizmi hal ,135) Dalam buku lain Ibnu Hajar meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal : bahwa Nasir bin Ali bin Sahban berkata di hadapan Al Mutawakkil ;

“Dulu Rasullullah SAW pernah mengangkat tangan Sayyidina Hasan dan Sasyyidina Husain sambil berkata”Siapa yang menyakitiku dan kedua anakku ini, maka ia bersamaku pada hari kiamat di surga”. Mendengar hadist ini Al Mutawakkil mencambuknya 100 kali . Dan saat ia menemui ajalnya , Ja’far bin Abdul Wahid membisikan pada Al Mutawakkil ,”Ya Amiral Mu’minin, ia merupakan pengikut Ahlu Sunnah!(Ibnu Hajar, Tahzib Al Tahzib)

Dari sini jelaslah bahwa kutukan dan cacian terhadap Sayyidina Ali dipandang sebagai dukungan terhadap simbul Ahlu Sunnah . Dan Mereka Menuduh Syi’ah yang mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali sebagai Ahli Bid’ah karna mereka tidak mengikuti pendapat Sahabat dan Khulafa Al Rasyidin yang tidak mengakui kepemimpinan Sayyidina Ali.

Saya rasa bukti-bukti sejarah yang saya ungkap sudah lebih dari cukup dan anda para pembaca yang saya hormati, saya persilahkan untuk meneliti lebih jauh kebenaran yang saya ungkap tersebut”Sesungguhnya orng-orang yang bersusaha keras unrtuk menemukan kebenaran, niscaya kami tunjuki mereka jalan yang lurus, dan sesungguhnya Allah bersana orang-orang yang berbuat kebajikan”(Al Ankabuut: 69)

Ali selalu bersama Al Qur’an dan Al Qur’an selalu bersamanya, keduanya tidak akan pernah berpisah sampai bertemu denganku kelak ditelaga surga

(Al-Mustadrak Al Hakim, juz 3.hal.124)

Selasa, 16 Desember 2008

Keterpesonaan Luthfie pada Israel



Beberapa Catatan dari Israel

Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.

Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.

Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.

Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.

Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.

Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.

Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.

Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.

Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.

Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:

Engkau ciptakan gulita
Aku ciptakan pelita
Engkau ciptakan tanah
Aku ciptakan gerabah

Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.

Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.

Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.

Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.

Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.

Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.

Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”

Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.

Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.

Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.

Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.

Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.

Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.

Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.

Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal.

Jawaban Anggota DPR-RI Komisi I, Abdillah Toha, atas Catatan Luthfie

Bung Luthfie yang baik,

Membaca catatan anda, saya juga terkesima. Bukan dengan Israel, tetapi dengan catatan itu. Betapa seorang yang berpendidikan tinggi seperti anda bisa membuat tulisan dan kesimpulan yang berbau propaganda setelah hanya beberapa hari (?) berkunjung ke Israel, atas undangan dan kebaikan mereka, Sampai-sampai anda meratap di tembok ratapan Yahudi. Seingat saya, saya belum pernah membaca tulisan yang begitu memuja dan memuji Israel seperti tulisan anda ini, termasuk tulisan oarng Israel yang mendukung Zionisme. Kenapa saya sebut propaganda? Karena sebuah tulisan yang memuja dan memuji ditambah mengecam lawannya, seolah-olah tak ada aspek negatif dari subyek yang dipuji dan tak ada aspek positif dari yang dikecam, adalah sebuah propaganda. Propaganda ini cukup berhasil, melihat komentar-komentar di halaman Facebook anda. Namun, menurut saya, proaganda ini kurang cerdas karena orang langsung akan dapat menilai demikian. Seharusnya, anda bisa lebih cerdas dengan “pura-pura” sedikit mengeritik Israel agar lebih kelihatan obyektif.

Pertama saya harus jelaskan lebih dahulu bahwa saya dan kita semua harus membedakan antara orang Yahudi dan negara Israel. Tidak semua Yahudi mendukung Zionisme Israel dan sayapun punya cukup banyak kawan Yahudi yang sangat kritis terhadap Israel. Bahkan belum lama ini saya sempat bertemu dengan beberapa Rabbi Yahudi yang mengatakan bahwa pembentukan negara Israel itu bertentangan dengan buku suci mereka. Kita tidak boleh memusuhi Yahudi atau ras apapun, tetapi sikap mendukung negara Israel berarti mendukung kebiadaban modern dan satu-satunya penjajah yang tersisa di abad ke 21 ini (kecuali bila kita masukkan pendudukan AS atas Iraq dan Afghanistan).. Saya tidak ingin berpanjang-panjang membahas soal ini, tapi bila anda ingin membaca tulisan-tulisan (termasuk oleh beberapa orang Yahudi seperti Dr Finkelstein dsb.) tentang pelanggaran, kebrutalan dan kekejaman Israel, dengan senang hati akan saya kirimkan.

Bung Lutfhi, anda memang tidak akan melihat tank-tank Israel di Tel Aviv atau kota lain karena tank-tank itu dikonsentrasikan di perbatasan untuk membunuh orang-orang Palestina. Anda katakan ” Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah”. Barangkali akan lebih jelas kalau anda lebih spesifik, mereka itu siapa, darah Israel atau darah Palestina. Alangkah naifnya komentar kawan Singapore yang anda kutip: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Orang ini pasti belum pernah ke Saudi, Kuwait, Dubai, Turki dll. Atau anda yang sudah pernah kesana mungkin begitu terkesima oleh Israel sehingga lupa di negara-negara Arab yang merdeka mereka juga tidak kalah bisa membangun negerinya yang berpadang pasir. Bagaimana Palestina mau membangun kalau tiap hari di bom, diserang, digusur, dibatasi geraknya dengan ratusan chek points dan di blokade. Atau mungkin anda tidak diajak oleh pengundang anda ke kawasan-kawasan itu. atau anda tidak berpikir perlu menyempatkan melihat kesengsaraan warga Gaza yang diblokir oleh Israel.

Anda katakan “setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel “. Saya kira anda harus lebih banyak membaca, bung Lutfhi. Perang Yom Kipur, terusirnya tentara Israel dua kali dari Lebanon (terakhir Juli 2006) adalah sebagian rentetan fakta kekalahan-kekalahan Israel. Dluar itu, ketidak mampuan Palestina dan Arab mengusir Israel dari tanah yang didudukinya sampai sekarang bukan karena “kecerdasan” orang Israel tetapi nyata-nyata dukungan satu-satunya negara adi daya di dunia yang menjadikan militer Israel sebagai militer nomor tiga terkuat di dunia saat ini. Pejuang Palestina hanya bisa melawan dengan batu dan roket primitif rakitan sendiri.Yang dihadapai bangsa Arab itu sebenarnya Amerika, bukan sekadar Israel.Saatnya akan tiba ketika semua kekuatan zalim ini akan punah. Tanda=tanda itu sudah mulai tampak dengan adanya krisis global saat ini dan gagalnya misi Amerika di Iraq dan Afghanistan.

Bung Luthfi, saya tidak menutup mata terhadap kekurangan dan kebangrutan moral banyak negara Arab yang otoriter dan korup. Inilah salah satu sebab utama “kekalahan” Arab terhadap Israel karena mereka tidak menjalankan kebijakan yang merepresentasikan kehendak rakyatnya. Karenanya, ketika Sayyid Hasan Nasrullah dengan Hizbullahnya berhasil mengusir Israel dari tanah Lebanon untuk yang kedua kalinya, beliau menjadi pahlawan dan manusia terpopuler dikalangan rakyat Arab. Tetapi saya juga tidak akan menggambarkan orang-orang Arab (muslim) Israel yang tinggal di kampung-kampung kumuh dan membandingkannya dengan hunian orang Yahudi dengan mengatakan “Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk” tanpa mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang miskin dan terpinggirkan disana. Bukankah lorong-lorong orang miskin selalu demikian dimana-mana? Dan tahukah kenapa warga negara Arab muslim di Israel ini miskin dan terpinggirkan? Karena mereka adalah warga yang memang dipinggirkan dan di diskriminasi. Orang-orang Arab warga Israel harus membayar pajak lebih tinggi dari warga Yahudi karena mereka tidak (boleh/qualified).menjadi anggota militer dan bentuk diskriminasi lain( http://www.jfjfp.org/factsheets/arabsinisrael.htm). Mereka dilarang membeli atau menempati rumah atau flat di daerah-daerah tertentu yang dihuni warga Yahudi.( http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/12/19/AR2007121902681_pf.html ), karyawan yang menggunakan bahasa Arab bisa dipecat ( http://weekly.ahram.org.eg/2004/680/re104.htm), dalam pendidikan mereka juga di diskriminasi ( http://www.hrw.org/legacy/reports/2001/israel2/ ), warga Arab Israel banyak yang dibunuh dan diperlakukan dengan semena-mena ( http://files.tikkun.org/current/article.php/20081007044518248), dan seterusnya. Anda boleh lihat ratusan laporan berbagai organisasi Human Rights lainnya tentang hal ini. Sebagai negara yang digembar gemborkan demokrasi ditengah-tengah otoriterianisme dunia Arab, mereka telah memperlakukan demokrasi dengan standar ganda.

Saya kira semua yang saya sampaikan ini bukanlah hal baru. Hanya saja, entah kenapa, anda memilih menutup mata dan hati bagi situasi yang demikian. Atau mungkin karena anda mempunyai agenda tertentu dalam rangka me”liberalkan” Islam? Wallahualam.

Abdillah Toha

Senin, 08 Desember 2008

tif Rahbar Tentang Kebebasan Cetak

Pertama harus kita ketahui bahwa tidak ada ideologi, budaya, aliran filsafat dan pemikiran sosial yang meyakini kebebasan sebagai perlepasan diri dari segala bentuk keterikatan dan tidak adanya halangan apapun dalam bertindak dan setiap orang dapat melakukan apa saja yang diiginkannya. Tidak ada orang yang mendukung kebebasan tanpa batas atau kebebasan mutlak dan tidak ada seorang pun yang bisa memperoleh kebebasan seperti itu. Jika kita contohkan misalnya dalam sebuah masyarakat, seseorang dapat melakukan apa saja yang ia inginkan dan tidak ada apapun yang menghalanginya, pastilah kebebasan ini membatasi kebebasan orang lain serta merusak kenyamanan, keamanan, dan kebebasan orang lain.

Namun jika kita mendefinisikan kebebasan dengan maknanya yang lembut dan agung, yaitu kebebasan jiwa manusia dari kotoran, hawa nafsu, keburukan, dan keterikatan materi, definisi ini hanya dimiliki oleh agama dan tidak ada satu pun ideologi Barat dan Eropa yang memilikinya. Kebebasan yang ada pada masa Revolusi Perancis pada abad ke-18 dan kemudian menyebar di dunia Barat setelah itu, sangat kecil, terbatas, dan tidak bernilai jika dibandingkan dengan kebebasan yang dibawa oleh para nabi dan yang tercantum dalam agama Ilahi.

Dalam budaya Barat, undang-undanglah yang menentukan batasan kebebasan dan undang-undang ini hanya menyoroti masalah sosial yang ada. Artinya, undang-undang mengatakan bahwa kebebasan seorang tidak boleh menodai kebebasan orang lain dan membahayakan kepentingan mereka. Dalam Islam, bukan hanya itu batasannya. Yakni [dalam Islam] ketika undang-undang membatasi kebebasan seseorang dan mengatakan bahwa untuk menikmati kebebasan, selain kebebasan itu tidak boleh mengancam kebebasan orang lain dan kepentingan sosial, juga tidak membahayakan dirinya dan kepentingan orang itu sendiri. Dengan alasan kebebasan dan hak untuk berbuat, seseorang tidak berhak dan tidak dapat membahayakan kepentingannya sendiri.

Dalam pandangan Liberalisme Barat, kebebasan manusia berarti minus hakikat agama dan ketuhanan. Oleh karena itu, mereka tidak pernah menilai bahwa kebebasan adalah anugerah pemberian dari Allah swt. Tidak ada yang mengatakan bahwa kebebasan adalah anugerah Allah swt kepada umat manusia. [Karena itu], Mereka tengah mencari sumber dan akar filosofisnya.

Dalam Islam, kebebasan memiliki akar ketuhanan. Masalah ini merupakan sebuah perbedaan pokok dan akar dari berbagai perbedaan lainnya. Kebebasan dalam pandangan Liberalisme sangat bertentangan dengan taklif (tugas dan kewajiban). Kebebasan berarti bebas dari taklif. Namun dalam Islam, kebebasan adalah sisi lain dari kepingan taklif. Sebab, [dalam kacamata Islam] manusia bebas karena mereka mukallaf. Karena jika mereka tidak memikul taklif, maka apa pentingnya kebebasan.

Manusia memiliki kriteria tersendiri yaitu memiliki kecenderungan dan insting yang kontradiktif. Ia memikul tugas untuk menempuh jalan menuju kesempurnaan di sela-sela keberagaman dorongan dan kecenderungan yang dimilikinya itu. Ia memperoleh kebebasan untuk meniti jalan menuju kesempurnaan. Kebebasan seperti inilah yang berarti, karena digunakan untuk menggapai kesempurnaan.

Coba Anda perhatikan isu jilbab di Eropa. Meski gencar meneriakkan slogan kebebasan, namun mereka tak tahan dan tidak dapat menerima adanya kecenderungan kecil dan terbatas yang berlawanan dengan mereka. Ketika muncul protes terhadap seorang penulis yang lancang menistakan kesucian agama yang dianut oleh satu milyar umat Islam, mereka lantas mengklaim diri sebagai pendukung kebebasan berpendapat dan berkeyakinan masing-masing orang. Namun ketika muncul masalah yang berkaitan dengan seorang perempuan atau remaja putri muslim yang ingin berbusana sesuai dengan kepercayaannya, mereka lantas lupa akan kebebasan individu dan semuanya kemudian berubah makna. Mereka menyebut tindakan yang menentang susila, anti-kebebasan dan melawan hak individu sebagai gerakan melawan kejumudan.

Islam memberikan independensi dan kebebasan kepada semua bangsa; baik dalam lingkungan kehidupan mereka - yakni bebas dari kekuasaan diktator dan despotik, bebas dari khurafat dan kejahilan, bebas dari fanatisme buta dan penyimpangan pemikiran- maupun kebebasan dari jeratan kekuatan ekonomi dan tekanan politik kaum arogan. Kebebasan merupakan anugerah Ilahi dan hadiah dari revolusi. Kebebasan adalah milik masyarakat dan merupakan bagian dari fitrah manusia.

Di Timur Tengah dan bahkan di dunia, tida banyak negara yang memiliki kebebasan memilih dan berpendapat seperti yang ada di Republik Islam Iran. Negara dan pemerintahan ini, adalah pemerintahan yang di saat kemenangan revolusi Islam baru berusia dua bulan telah berhasil mendorong rakyat untuk mendatangi kotak-kotak suara [dalam sebuah referendum] untuk memilih bentuk pemerintahan Republik Islam.

Kebebasan bukan berarti bahwa seseorang bisa menyalahgunakan kebebasan untuk melakukan apa saja yang dimaukan. Seperti yang terjadi di dunia saat ini, [kekuatan adi daya] melakukan segala macam kejahatan dengan mengatasnamakan kebebasan dan menjerumuskan generasi kini ke dalam demoralisasi dan kebrobrokan moral. Dengan alasan kebebasan pula, kebebasan yang hakiki dirampas dari pikiran masyarakat di dalam lingkungan budaya dan ideologi Barat. "Wahai kebebasan! Dengan menggunakan namamu, tak ada kejahatan yang tidak dilakukan". Dewasa ini, musuh-musuh telah mengaktualisasikan ungkapan tersebut.

berubah..?????????

ن مواعظ النبي صلى الله عليه و اله و سلم:

الدنيا دول فما كان لك اتاك على ضعفك و ما كان منها عليك لم تدفعه بقوتك و من انقطع رجاؤه مما فات استراح بدنه و من رضي بما قسّمه الله قرّت عينه
تحف العقول صفحه 40

Dalam salah satu petuahnya Rasulullah SAW bersabda;

"Dunia selalu berubah-ubah. Jika sudah menjadi bagianmu ia akan datang kepadamu meski engkau lemah. Dan jika menjadi musibah bagimu, engkau tidak akan mampu menolaknya meski engkau kuat. Barang siapa putus harapannya atas apa yang telah berlalu maka ia telah menenangkan dirinya. Dan barang siapa rela dengan apa yang telah Allah tentukan, maka ia berbahagia."
(Tuhaf al-Uqul halaman 40)

Kata ‘duwal' dalam hadis ini bermakna sesuatu yang bergilir. Fenomena dunia selalu mengalami perubahan. Jangan sampai kita beranggapan bahwa harta, kedudukan, sarana, kesehatan dan kebugaran yang kita miliki saat ini akan selamanya kekal. Bukan demikian. Sebab mungkin saja semua itu akan diambil dari tangan kita. Yang dimaksud dengan kata ‘dunya' dalam sabda beliau ini, adalah dunia yang dicela. Dunia di sini adalah dunia yang membuat manusia dan hawa nafsunya rakus untuk mendapatkan dan menguasainya, bukan dunia yang memberikan kesempatan bagi manusia untuk menghias diri dengan kemuliaan dan kebaikan akhirat, bukan pula hal-hal yang semua orang diperintahkan untuk mencarinya, juga bukan pekerjaan membangun dan memakmurkan kehidupan dunia ini.