Selasa, 16 Desember 2008
Senin, 08 Desember 2008
tif Rahbar Tentang Kebebasan |
Pertama harus kita ketahui bahwa tidak ada ideologi, budaya, aliran filsafat dan pemikiran sosial yang meyakini kebebasan sebagai perlepasan diri dari segala bentuk keterikatan dan tidak adanya halangan apapun dalam bertindak dan setiap orang dapat melakukan apa saja yang diiginkannya. Tidak ada orang yang mendukung kebebasan tanpa batas atau kebebasan mutlak dan tidak ada seorang pun yang bisa memperoleh kebebasan seperti itu. Jika kita contohkan misalnya dalam sebuah masyarakat, seseorang dapat melakukan apa saja yang ia inginkan dan tidak ada apapun yang menghalanginya, pastilah kebebasan ini membatasi kebebasan orang lain serta merusak kenyamanan, keamanan, dan kebebasan orang lain. Namun jika kita mendefinisikan kebebasan dengan maknanya yang lembut dan agung, yaitu kebebasan jiwa manusia dari kotoran, hawa nafsu, keburukan, dan keterikatan materi, definisi ini hanya dimiliki oleh agama dan tidak ada satu pun ideologi Barat dan Eropa yang memilikinya. Kebebasan yang ada pada masa Revolusi Perancis pada abad ke-18 dan kemudian menyebar di dunia Barat setelah itu, sangat kecil, terbatas, dan tidak bernilai jika dibandingkan dengan kebebasan yang dibawa oleh para nabi dan yang tercantum dalam agama Ilahi. Dalam budaya Barat, undang-undanglah yang menentukan batasan kebebasan dan undang-undang ini hanya menyoroti masalah sosial yang ada. Artinya, undang-undang mengatakan bahwa kebebasan seorang tidak boleh menodai kebebasan orang lain dan membahayakan kepentingan mereka. Dalam Islam, bukan hanya itu batasannya. Yakni [dalam Islam] ketika undang-undang membatasi kebebasan seseorang dan mengatakan bahwa untuk menikmati kebebasan, selain kebebasan itu tidak boleh mengancam kebebasan orang lain dan kepentingan sosial, juga tidak membahayakan dirinya dan kepentingan orang itu sendiri. Dengan alasan kebebasan dan hak untuk berbuat, seseorang tidak berhak dan tidak dapat membahayakan kepentingannya sendiri. Dalam pandangan Liberalisme Barat, kebebasan manusia berarti minus hakikat agama dan ketuhanan. Oleh karena itu, mereka tidak pernah menilai bahwa kebebasan adalah anugerah pemberian dari Allah swt. Tidak ada yang mengatakan bahwa kebebasan adalah anugerah Allah swt kepada umat manusia. [Karena itu], Mereka tengah mencari sumber dan akar filosofisnya. Dalam Islam, kebebasan memiliki akar ketuhanan. Masalah ini merupakan sebuah perbedaan pokok dan akar dari berbagai perbedaan lainnya. Kebebasan dalam pandangan Liberalisme sangat bertentangan dengan taklif (tugas dan kewajiban). Kebebasan berarti bebas dari taklif. Namun dalam Islam, kebebasan adalah sisi lain dari kepingan taklif. Sebab, [dalam kacamata Islam] manusia bebas karena mereka mukallaf. Karena jika mereka tidak memikul taklif, maka apa pentingnya kebebasan. Manusia memiliki kriteria tersendiri yaitu memiliki kecenderungan dan insting yang kontradiktif. Ia memikul tugas untuk menempuh jalan menuju kesempurnaan di sela-sela keberagaman dorongan dan kecenderungan yang dimilikinya itu. Ia memperoleh kebebasan untuk meniti jalan menuju kesempurnaan. Kebebasan seperti inilah yang berarti, karena digunakan untuk menggapai kesempurnaan. Coba Anda perhatikan isu jilbab di Eropa. Meski gencar meneriakkan slogan kebebasan, namun mereka tak tahan dan tidak dapat menerima adanya kecenderungan kecil dan terbatas yang berlawanan dengan mereka. Ketika muncul protes terhadap seorang penulis yang lancang menistakan kesucian agama yang dianut oleh satu milyar umat Islam, mereka lantas mengklaim diri sebagai pendukung kebebasan berpendapat dan berkeyakinan masing-masing orang. Namun ketika muncul masalah yang berkaitan dengan seorang perempuan atau remaja putri muslim yang ingin berbusana sesuai dengan kepercayaannya, mereka lantas lupa akan kebebasan individu dan semuanya kemudian berubah makna. Mereka menyebut tindakan yang menentang susila, anti-kebebasan dan melawan hak individu sebagai gerakan melawan kejumudan. Islam memberikan independensi dan kebebasan kepada semua bangsa; baik dalam lingkungan kehidupan mereka - yakni bebas dari kekuasaan diktator dan despotik, bebas dari khurafat dan kejahilan, bebas dari fanatisme buta dan penyimpangan pemikiran- maupun kebebasan dari jeratan kekuatan ekonomi dan tekanan politik kaum arogan. Kebebasan merupakan anugerah Ilahi dan hadiah dari revolusi. Kebebasan adalah milik masyarakat dan merupakan bagian dari fitrah manusia. Di Timur Tengah dan bahkan di dunia, tida banyak negara yang memiliki kebebasan memilih dan berpendapat seperti yang ada di Republik Islam Iran. Negara dan pemerintahan ini, adalah pemerintahan yang di saat kemenangan revolusi Islam baru berusia dua bulan telah berhasil mendorong rakyat untuk mendatangi kotak-kotak suara [dalam sebuah referendum] untuk memilih bentuk pemerintahan Republik Islam. Kebebasan bukan berarti bahwa seseorang bisa menyalahgunakan kebebasan untuk melakukan apa saja yang dimaukan. Seperti yang terjadi di dunia saat ini, [kekuatan adi daya] melakukan segala macam kejahatan dengan mengatasnamakan kebebasan dan menjerumuskan generasi kini ke dalam demoralisasi dan kebrobrokan moral. Dengan alasan kebebasan pula, kebebasan yang hakiki dirampas dari pikiran masyarakat di dalam lingkungan budaya dan ideologi Barat. "Wahai kebebasan! Dengan menggunakan namamu, tak ada kejahatan yang tidak dilakukan". Dewasa ini, musuh-musuh telah mengaktualisasikan ungkapan tersebut. |
berubah..?????????
الدنيا دول فما كان لك اتاك على ضعفك و ما كان منها عليك لم تدفعه بقوتك و من انقطع رجاؤه مما فات استراح بدنه و من رضي بما قسّمه الله قرّت عينه
تحف العقول صفحه 40
Dalam salah satu petuahnya Rasulullah SAW bersabda;
"Dunia selalu berubah-ubah. Jika sudah menjadi bagianmu ia akan datang kepadamu meski engkau lemah. Dan jika menjadi musibah bagimu, engkau tidak akan mampu menolaknya meski engkau kuat. Barang siapa putus harapannya atas apa yang telah berlalu maka ia telah menenangkan dirinya. Dan barang siapa rela dengan apa yang telah Allah tentukan, maka ia berbahagia."
(Tuhaf al-Uqul halaman 40)
Kata ‘duwal' dalam hadis ini bermakna sesuatu yang bergilir. Fenomena dunia selalu mengalami perubahan. Jangan sampai kita beranggapan bahwa harta, kedudukan, sarana, kesehatan dan kebugaran yang kita miliki saat ini akan selamanya kekal. Bukan demikian. Sebab mungkin saja semua itu akan diambil dari tangan kita. Yang dimaksud dengan kata ‘dunya' dalam sabda beliau ini, adalah dunia yang dicela. Dunia di sini adalah dunia yang membuat manusia dan hawa nafsunya rakus untuk mendapatkan dan menguasainya, bukan dunia yang memberikan kesempatan bagi manusia untuk menghias diri dengan kemuliaan dan kebaikan akhirat, bukan pula hal-hal yang semua orang diperintahkan untuk mencarinya, juga bukan pekerjaan membangun dan memakmurkan kehidupan dunia ini.
Selasa, 02 Desember 2008
Dialektika Tarawih (Ustadz dan Murid)
Perawi: Seperti biasanya, ustadz Muhammad -yang pernah belajar di luar negeri itu, dan kini aktif mengajar murid-murid di pesantren “Cahaya Iman” selama beberapa tahun- memasuki kelas tepat pada waktunya dan murid-murid pun sudah menanti kedatangannya sejak 10 menit yang lalu untuk menerima pelajaran fiqih darinya. Beliau mengajar beberapa materi penting, di antaranya: fiqih, akidah dan tafsir al-Qur’an.
Melihat ustadz Muhammad memasuki kelas, murid-murid pun segera berdiri tegak untuk menghormatinya. Dengan kompak dan rapih, mereka menjawab salam ustadz yang hangat. Setelah membacakan absen satu persatu, seperti kebiasaannya, beliau memulai pengajarannya dengan hamdalah, puja dan syukur kepada Allah Swt serta shalawat kepada baginda Rasulullah Saw dan seluruh keluarganya yang mulia dan disucikan oleh Allah Swt dari segala kenistaan. Kemudian ustadz Muhammad berkata: Anak-anakku sekalian, sebentar lagi kita dan seluruh kaum muslimin -yang bermadzhab apapun- akan memasuki bulan suci Ramadhan. Suatu bulan yang sangat mulia dan penuh berkah, karena pada bulan itu kaum muslimin diwajibkan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Bahkan amalan-amalan ibadah sunat, seperti shalat Tarawih atau shalat nafilatullail, membaca al-Qur’an, bersedekah, dan lain-lain, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw, di dalam “khutbah Sya’baniyah” nya yang terkenal, menilai bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan ampunan dan keberkahan. Bulan itu adalah bulan rahmat, karena seluruh amal perbuatan rutinitas manusia, seperti tidur dan bernafas mendapat ganjaran pahala ibadah, terlebih lagi amal ibadah itu sendiri.
Bulan itu adalah bulan ampunan dan pemberian maaf dari Allah Swt. Karena pada bulan itu, lautan kasih sayang Ilahi dan pemberian maaf-Nya melimpah ruah. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, sementra setan-setan dibelenggu dengan rantai. Setiap malam, sebagaimana tersebut di dalam riwayat, Allah mengampuni tujuh puluh ribu orang. Dan pada malam Qadar, Dia mengampuni sejumlah orang-orang yang diampuni selama satu bulan, kecuali orang-orang yang menyimpan kemarahan dan mengadakan permusuhan terhadap saudara-saudaranya seagama Islam (orang muslim). Dosa-dosa mereka itu tidak akan diampuni sebelum mereka berdamai.
Anak-anakku sekalian!
Bulan itu, adalah bulan penuh keberkahan. Karena pada bulan itu, berbagai macam kenikmatan, karunia, baik yang berupa maknawiyah maupun Ilahiyah diturunkan. Pada bulan itu, rahmat Ilahi turun dengan deras kepada hamba-Nya. Nikmat yang paling besar adalah turunnya al-Qur’an al-Karim yang merupakan hidangan langit yang paling besar. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat meneguk air jernih pengetahuan darinya, sempat merenung dan bertadabbur atasnya, mengambil permata-permata dari lautan ajarannya, kebun indah hikmahnya dan nasihat-nasihatnya yang semerbak.
Mari kita berdoa kepada Allah Swt; semoga pada bulan suci Ramadhan yang sudah di ambang pintu itu, kita semua diberikan taufiq oleh Allah Swt, sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar pada siang harinya, dan mengisi atau meramaikan malam-malamnya dengan tadarrus al-Qur’an, nafilatullail atau shalat Tarawih, berdiskusi atau menelaah ilmu-ilmu agama, dan lain sebagainya.
Zuhair (Ia tidak sabar dan memotong ucapan ustadz dengan mengacungkan tangannya. Setelah diizinkan ia angkat bicara):
Ustadz ! yang menjadi masalah dan merupakan problem yang hingga kini masih saja menjadi bahan perbincangan dan perdebatan antara sesama kaum muslimin itu sendiri adalah masalah shalat Tarawih. Sepengetahuan saya, bahwa shalat Tarawih itu hukumnya sunat, sebagaimana sunat-sunat lainnya, seperti shalat malam, shalat rawatib, dan lainnya, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu hukumnya wajib. Yang ingin saya tanyakan adalah: Apakah shalat Tarawih -yang hukumnya sunat itu- harus dilakukan secara berjama’ah? Artinya tidak sah jika dilakukan secara munfarid (sendirian)? Ataukah boleh saya melakukannya sendirian di rumah? Dan bagaimana dengan shalat-shalat sunat lainnya, seperti shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adh-ha, shalat-shalat rawatib (Qabliyah dan Ba’diyah), dll? Tolong Pak ustadz berikan jawaban dengan bahasa yang semudah mungkin, agar kami dapat memahaminya dengan baik dan benar. Karena saya ingin mengamalkan ajaran Islam dengan berdasar pengetahuan, tidak sekedar ikut-ikutan saja!
Ustadz : Pertanyaan yang bagus dan insya Allah bermanfaat. Zuhair dan anak-anakku semua! Perhatikanlah jawaban yang akan saya berikan ini dengan baik dan serius !
Sehubungan dengan amalan-amalan sunat pada bulan Ramadhan, apabila kamu sempat membuka kitab-kitab hadits, misalnya kitab hadits shahih al-Bukhari, shahih al-Muslim,[1] dll, maka di sana akan kamu temukan sebuah hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk melakukan amalan-amalan sunat pada bulan suci Ramadhan. Dengan kata lain terdapat hadits dimana Rasulullah Saw menganjurkan umatnya agar menghidupkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan sunat. Hadits itu berbunyi begini:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) atau barang siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ikhlas karena Allah, maka seluruh dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni”.
Ungkapan : من قام رمضان mungkin dapat diartikan dengan “Barangsiapa yang mengerjakan shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan Ramadhan”, dan bisa juga diartikan dengan “Barangsiapa yang menghidupkan dan mensyiarkan bulan suci Ramadhan”.
Menurut makna yang kedua, maka yang dapat dipahami dari riwayat atau hadits ini adalah, bahwa Rasulullah Saw memberikan perintah yang bersifat umum kepada seluruh umatnya. Perintah umum itu apa? Yaitu agar umatnya menghidupkan dan meramaikan atau mensyiarkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan ibadah yang dianjurkan oleh Allah Swt. Di dalam hadits ini beliau tidak menentukan atau membatasinya dengan amalan ibadah tertentu. Dengan demikian -berdasarkan hadits ini dengan makna yang kedua- kita boleh saja menghidupkan dan meramaikannya dengan shalat-shalat sunat, dengan membaca al-Qur’an, diskusi ilmiah, membaca kitab tafsir, fiqih, dan lain sebagainya. Asal bukan maksiat dan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Jadi, di dalam hadits di atas, sama sekali Rasulullah Saw tidak membatasinya dengan mengatakan : “Ramaikanlah bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih”. Tidak, tidak demikian.
Mengenai, apakah shalat Tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya itu harus dilakukan secara berjamaah, dan jika dilakukan tanpa berjamaah tidak sah? Jawabannya adalah: Yang masyhur menurut madzhab Ahli Sunah adalah, bahwa seluruh shalat-shalat sunat -tanpa kecuali dan termasuk shalat Tarawih- dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah. Tetapi ada sebagian shalat sunat yang lebih utama jika dilakukan secara munfarid atau infirad yaitu sendirian dan tanpa mengikuti imam jamaah.
Perlu kamu ketahui bahwa madzhab Ahli Sunnah itu mempunyai beberapa orang ulama fiqih. Di antaranya adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Mereka semua adalah para Imam fiqih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni). Walaupun demikian, di antara mereka terdapat ikhtilaf dan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fiqih. Dan hal ini merupakan soal yang biasa dalam masalah fiqih. Tetapi hendaknya kamu harus mengetahui dan memahaminya dengan baik, agar sesama Ahli Sunnah tidak berkelahi hanya gara-gara masalah fiqih yang tidak dipahaminya dengan benar. Dan dengan begitu musuh-musuh Islam akan merasa senang, bergembira dan bertepuk tangan. Untuk mengetahui ikhtilaf dan perbedaan pendapat atau pandangan di antara para Imam Sunni itu, tentang shalat-shalat sunat, perlu saya jelaskan agak rinci, perhatikanlah baik-baik!
Al-Malikiyah atau Imam Malik (gurunya Imam Syafi’i) mengatakan bahwa, shalat Tarawih itu mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat-shalat nawafil atau sunat yang lain, ada yang makruh hukumnya jika dilakukan secara berjamaah. Misalnya, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah di dalam masjid, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah jika jamaahnya banyak sekali. Makruh juga hukumnya melakukan shalat sunat di suatu tempat dimana banyak orang-orang yang berlalu lalang di tempat tersebut. Ada juga shalat-shalat sunat yang hukumnya ja’iz atau boleh dilakukan secara berjamaah. Yang ja’iz ini misalnya seperti: Jika jamaahnya sedikit, atau dilakukan di dalam rumah, atau di tempat yang bukan tempat berlalu lalangnya orang-orang. Ini pendapat Al-Malikiyah atau Imam Maliki.
Al-Hanafiyah atau Imam Hanafi mengatakan bahwa shalat Tarawih dan shalat jenazah itu hukumnya sunat kifayah jika dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat-shalat nawafil hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah. Shalat Witir juga hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah pada selain bulan suci Ramadhan. Kemakruhan tersebut apabila makmumnya lebih dari tiga orang. Artinya jika makmumnya hanya dua atau tiga orang saja, maka tidak dimakruhkan. Adapun pada bulan suci Ramadhan, tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir secara berjamaah. Artinya hukumnya ja’iz (boleh-boleh saja). Ada juga yang mengatakan bahwa menurut al-Hanafiyah, hukumnya sunat melakukan shalat Witir secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.
Lain lagi pendapat as-Syafi’iyah (Imam Syafi’I; muridnya Imam Maliki), beliau mengatakan bahwa, hukumnya sunat melakukan shalat ‘Idhul Fitri, ‘Idhul Adh-ha, Istisqa’, Kusuf (gerhana matahari), Tarawih dan Witir Ramadhan secara berjamaah. Tetapi ada juga yang menukil bahwa Imam Syafi’i pernah berkata bahwa: “shalat munfarid (sendirian) itu lebih aku sukai”.
Apabila kamu mengkaji fatwa-fatwa dan pandangan Imam Syafi’i, memang terdapat dan terjadi perubahan antara qaul qadim (pandangan lama) dengan qaul jadid (pandangan baru). Bahkan terkadang para ulama yang mengikuti dan membela pandangan beliau saling berbeda pendapat dalam menafsirkan fatwa-fatwa beliau.
Adapun pendapat al-Hanabilah (Imam Hambali; muridnya Imam Syafi’i), beliau mengatakan bahwa, Shalat-shalat sunat ada dua bagian; sebagiannya sunat dilakukan secara berjamaah, seperti shalat Istisqa’, Tarawih, ‘Idhul Fitri dan ‘Idhul Adh-ha. Dan sebagian lainnya mubah dilakukan secara berjamaah, seperti shalat Tahajjud dan shalat-shalat Rawatib fardhu.
Adalagi ulama Sunni lainnya yang bernama al-Maqdisi (Ibnu Quddamah al-Maqdisi), beliau menulis di dalam kitabnya as-Syarhil Kabir begini: Shalat-shalat sunat itu boleh dilakukan secara berjamaah dan boleh juga secara munfarid (sendirian). Karena Rasulullah Saw pernah melakukan kedua-duanya. Tetapi kebanyakan shalat-shalat sunat tersebut, beliau lakukan secara munfarid. Oleh karena itu mereka (para ulama) bersepakat bahwa shalat-shalat sunat itu lebih utama dilakukan di dalam rumah. Karena Rasulullah Saw telah bersabda:
“Hendaknya kalian melakukan shalat di dalam rumah kalian. Dan sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik itu, jika dilakukan di rumahnya, kecuali shalat Maktubah (shalat-shalat fardhu)”.
Di dalam hadits lainya Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat di masjidnya, maka hendaknya ia menyisakan sebagian shalatnya untuk dilakukan di rumahnya. Karena sesungguhnya Allah Swt menjadikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya tersebut.”[2]
Dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Shalat seseorang di dalam rumahnya itu lebih utama daripada shalatnya di dalam masjidku ini, kecuali shalat maktubah”.[3]
Alasan lainnya adalah karena shalat di dalam rumah itu lebih mendekati kepada keikhlasan dan lebih jauh dari sifat riya’, karena hal itu termasuk amal ibadah secara tersembunyi. Amal secara tersembunyi itu lebih baik daripada terang-terangan.[4]
Demikianlah pendapat, pandangan, dan hasil ijtihad para tokoh dan ulama fiqih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni).
Anak-anakku, untuk melengkapi pembahasan di atas, dengarkanlah baik-baik pandangan dan pendapat ulama Ahlulbait As atau ulama madzhab Syi’ah Imamiyah.
Sebagaimana madzhab Ahli Sunnah mempunyai beberapa atau banyak ulama fiqih dan juga ulama akidah, demikian juga halnya dengan madzhab Ahlulbait As (Syi’ah Imamiyah). Hanya saja dalam hal ini, dan banyak lagi dalam hal-hal lainnya, tidak terdapat perbedaan pandangan dan pendapat di antara mereka. Dengan kata lain bahwa para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait As bersepakat kata dalam memberikan keputusan hukum atas persoalan di atas. Jadi, bagaimanakah pandangan mereka itu? Mereka (para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait As) mengatakan bahwa sesungguhnya shalat-shalat fardhu yang lima itu dianjurkan dan disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah. Yakni hukumnya sunat muakakad (sangat ditekankan). Adapun shalat-shalat sunat, tidak disyariatkan dilakukan secara berjamaah. Artinya harus dilakukan secara munfarid (sendirian), kecuali shalat Istisqa’, ‘Idhul Fitri dan ‘Idhul Adh-ha. Jelasnya bahwa ketiga macam shalat sunat ini mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah ketika syarat-syaratnya masih kurang. Tetapi jika syarat-syaratnya sudah terpenuhi (di antaranya kehadiran Imam Zaman), maka ketiga macam shalat itu, hukumnya wajib dilakukan secara berjamaah. Jadi bukan lagi sunat atau mustahab.
Adapun menurut empat orang Imam madzhab Sunni (al-Madzahibul Arba’ah), berjamaah itu disyariatkan secara mutlak, baik dalam shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunat.[5]
Karim: Ustadz! Yang dapat saya pahami dari uraian di atas, sehubungan dengan shalat Tarawih adalah: Umat Islam boleh melakukannya secara munfarid atau sendirian di rumahnya masing-masing. Artinya hal itu dianggap sah. Bukankah begitu pak ustadz? Saya kira cukup jelas jawaban yang diberikan oleh Pak Ustadz. Tetapi ada hal yang menarik yang tadi Bapak singgung, yaitu pandangan madzhab Ahlul bait mengenai tidak disyariatkannya shalat Tarawih jika dilakukan secara berjamaah, dan para ulama mereka bersepakat kata dalam hal ini. Yang ingin saya tanyakan adalah, mengapa pandangan Imam dan ulama madzhab Ahlul bait ini berbeda sendiri dalam masalah ini? Apa sebenarnya yang melandasi pemikiran dan pandangan mereka itu?
Tetapi, kalau bisa, sebelum Pak ustadz memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, saya pikir, alangkah baiknya, jika pak ustadz menerangkan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebenarnya. Sebab, sudah bukan merupakan rahasia lagi, bahwa kaum muslimin berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat shalat Tarawih ini. Misalnya di sebagian tempat atau masjid, shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat. Sementara di masjid atau tempat lainnya hanya 8 rakaat. Padahal kan mereka itu semua adalah bermadzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni)?
Bahkan seringkali melalui mimbar-mimbar ceramah, masing-masing penceramah saling menjatuhkan dan meremehkan pandangan lainnya. Sehingga hal semacam ini malah menambah renggang hubungan antara kaum muslimin. Yah, sangat disayangkan, hal ini seakan-akan sudah melekat di masyarakat muslim kita. Hampir tidak pernah saya dengar pembahasan ilmiah sebagaimana yang pak ustadz uraikan di atas tadi. Di samping itu, saya juga ingin tahu, apakah madzhab Ahlul bait memiliki jumlah rakaat tersendiri dalam shalat Tarawih ini? Dan juga ustadz, bagaimana mereka melakukan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan?
Ustadz : Baiklah, memenuhi permintaan Karim, saya akan jelaskan pandangan fuqaha’ Ahli Sunnah dan juga fuqaha Syi’ah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih ini.
Ya, memang betul, sebagaimana yang kamu singgung bahwa para ulama Sunni berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah rakaat shalat Tarawih. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki dalil yang sharih dan jelas dari Rasulullah Saw, baik melalui dalil ucapan, perbuatan, ataupun taqrir beliau Saw.
Jelas, bahwa terdapatnya ikhitilap di antara para ulama Sunni yang tidak mungkin bisa disatukan itu menunjukkan tidak adanya dalil yang sharih (jelas dan terang) dari Rasulullah Saw.
Misalnya di dalam salah satu kitab fiqih Sunni yang bernama al-Mughni, di situ seorang ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi mengatakan bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat. Hal ini sama dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.[6]
Jelas, bahwa pandangan mereka itu tidak mewakili pandangan Rasulullah Saw dan tidak juga bersumber dari beliau. Tetapi yang jelas adalah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat, itu bersandar atau bersumber dari perbuatan dan ketetapan Umar bin Khattab. Sementara pendapat yang mengatakan 36 rakaat, bersumber dan bersandar kepada perbuatan Umar bin Abdul Aziz. Jika kamu ingin mengetahuinya lebih detail lagi, maka kamu dapat merujuk sebuah kitab fiqih Ahli Sunnah yang bernama “Al-Fiqihu ‘Alal Madzahibil Arba’ah” yang ditulis oleh Abdul Rahman al-Jazairi. Di antara tulisan al-Jazairi di dalam kitabnya tersebut yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini dan dengan bahasa yang mudah, begini: “Syaikhân, dua orang Syaikh yaitu al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Lalu beliau Saw shalat di dalam masjid. Dan orang-orang pun ikut melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah-rumah mereka…” Kemudian al-Jazairi menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih secara berjamaah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (setelah wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Dan setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana disinggung di dalam riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi Saw. Ya, betul memang, jumlah rakaat tersebut ditambah lagi pada masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz sehingga jumlahnya menjadi 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut adalah untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Dengan itu, beliau (Umar bin Abdul Aziz) memandang perlu menambahkannya dalam setiap thawaf sebanyak 4 rakaat”. Itulah apa yang ditulis oleh al-Jazairi di dalam kitabnya al-Fiqihu ‘Alal Madzahibil Arba’ah.[7]
Sekarang, mari kita coba berhitung ! Dikatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz menambah jumlah rakaat tersebut menjadi 36 rakaat, yakni tadinya 20 rakaat, kemudian ditambah 16 rakaat menjadi 36 rakaat. Kenapa ditambah? Karena orang-orang Makkah setiap mendapatkan 4 rakaat, melakukan thawaf satu kali. Lho kalau memang setiap selesai 4 rakaat mereka melakukan thawaf satu kali, jadi jumlah rakaatnya bukan 36 rakaat dong, melainkan yang betul adalah menjadi 40 rakaat. Karena jika mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat dan setiap 4 rakaat satu kali thawaf, kan jumlah thawafnya menjadi 5 kali, betul ngga? Jika setiap satu kali thawaf diganti 4 rakaat, kan menjadi 20 rakaat. Dengan demikian 20 rakaat ditambah 20 rakaat lagi sebagai ganti thawaf, maka menjadi 40 rakaat, bukan 36 rakaat.
Di dalam madzhab Ahli Sunnah, kitab al-Bukhari adalah kitab hadits yang paling shahih dan kedudukannya nomor dua setelah al-Qur’an. Kitab ini banyak yang mensyarahinya. Apabila kamu membuka-buka kitab-kitab syarahnya dan berusaha mengetahui jumlah rakaat shalat Tarawih menurut para ulama pensyarah tersebut, maka akan kamu dapati bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, ada yang bilang 20 rakaat, ada yang berpendapat 24 rakaat, ada yang mengatakan 28 rakaat, ada lagi yang berpendapat 36 rakaat, ada juga yang mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan begitulah seterusnya [8].
Nah itulah, pandangan ulama Ahli Sunnah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih. Anehnya lagi bahwa Umar bin Abdul Aziz ikut campur dalam menentukan urusan syariat ini. Untuk menyamakan keutamaan dan pahala penduduk Madinah dengan penduduk Makkah, dia memasukkan apa yang bukan bagian darinya dengan pendapatnya sendiri. Jika hal semacam ini dibiarkan, maka nantinya syariat Islam akan menjadi permainan para penguasa dengan menambah, mengurangi atau merubah syariat sesuai dengan pendapat mereka sendiri.
Kemudian, mengenai shalat Tarawih (qiyamullail fi Ramadhan) di dalam madzhab Ahlulbait As, memang berbeda dengan madzhab Sunni, baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya.
Yang jelas, para Imam dan ulama mereka tidak berikhtilaf dan tidak berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut, tidak seperti para Imam dan ulama Sunni. Apabila kamu mencoba merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau kitab-kitab tuntunan ibadah bulan suci Ramadhan, maka akan kamu temukan bahwa para Imam maksum As dan para ulama Ahlulbait As melakukan shalat atau qiyamullail pada bulan suci Ramadhan sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh.
Mulai malam pertama sampai pada malam kedua puluh, mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat. Jadi selama 20 malam itu berjumlah 400 rakaat. Kemudian pada sisa-sisa malam selanjutnya, yaitu mulai malam 21 sampai malam terakhir, mereka melakukannya 30 rakaat. Jadi selama 10 malam berjumlah 300 rakaat. Sedang pada tiga malam ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahnya 100 rakaat. Jadi tambahannya pada tiga malam itu sebanyak 300 rakaat. Dengan demikian 400 + 300 + 300 = 1000 rakaat. Tentu saja hal ini bagi yang mampu melakukannya dan tidak mengganggu pekerjaan lainnya yang lebih utama dan lebih penting. Pekerjaan yang jauh lebih utama dan lebih penting adalah mudzakarah atau diskusi tentang ilmu-ilmu agama, seperti akidah, tafsir, fiqih, dan lain sebagainya. Ketika seorang ulama ditanya mengenai amalan atau pekerjaan apakah yang paling utama untuk dilakukan pada malam-malam Qadar? Dia menjawab: “Mudzakarah ilmu”. Jawaban ulama ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Syaikh Abbas al-Qummi di dalam kitabnya “Mafâtihul Jinan”.[9]
Kitaf tafsir “Al-Mizan” yang ditulis oleh ‘Allamah Muhammad Husain At-Thabathaba’i, merupakan kitab tafsir yang terbaik pada masa sekarang ini. Jika kamu membuka jilid terakhir, yaitu jilid ke 20, kamu baca bahwa beliau merampungkan tulisannya itu bertepatan pada malam Qadar.[10] Artinya, malam-malam Ramadhan itu beliau isi dengan menulis kitab tafsir tersbut.
Sehubungan dengan shalat 1000 rakaat, di dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin As biasa melakukan shalat malam sebanyak 1000 rakaat, dan ini pada selain bulan suci Ramadhan. Beliau As mengikuti jejak kakeknya, yaitu Imam Ali As dan Rasulullah Saw.
Mengenai berjamaah dalam shalat Tarawih atau qiyamullail di dalam madzhab Ahlulbait As, saya ulangi lagi bahwa sebenarnya para Imam maksum As dan para ulama Ahlulbait As bersepakat mengatakan bahwa ajaran Ahlulbait As tidak men-syariatkan dan tidak membenarkan jika shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan suci Ramadhan itu dilakukan secara berjamaah. Dengan kata lain yang lebih jelas, bahwa menurut mereka, hukumnya bid’ah melakukan shalat-shalat sunat secara berjamaah pada malam-malam Ramadhan. Landasan mereka adalah perbuatan dan tuntunan Rasulullah Saw dan tauladan para Imam maksum As. Mereka berpandangan bahwa Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah melakukan shalat Tarawih atau qiyamullail secara berjamaah. Dan shalat Tarawih berjamaah itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab, atas perintahnya dan dengan pendapatnya sendiri. Padahal, pada masa-masa khalifah sebelumnya pun, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, kaum muslimin tidak ada yang melakukan shalat Tarawih ini secara berjamaah.
Jadi, kesimpulannya menurut madzhab Ahlulbait As, hukumnya tidak boleh dan bid’ah melakukan shalat-shalat nawafil atau shalat sunat secara berjamaah, termasuk di dalamnya shalat Tarawih, kecuali beberapa shalat sunat yang memiliki dalil khusus dan pada kondisi tertentu, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Imam Muhammad al-Baqir As, yaitu Imam maksum yang kelima dalam madzhab Jakfari pernah berkata:
“Tidak boleh melakukan shalat Tathawwu’ (shalat-shalat sunat) secara berjamaah (karena itu bid’ah). Dan setiap bid’ah itu dhalalah. Dan setiap dhalalah itu di neraka”.[11]
Imam Ali al-Ridha As, yaitu Imam maksum yang kedelapan pernah berkata dalam suratnya yang ia tujukan kepada Makmun: “Dan tidak boleh shalat Tathawwu’ itu dilakukan secara berjamaah, karena hal itu adalah bid’ah”.[12]
Kedua riwayat tersebut berbicara mengenai shalat-shalat sunat secara umum yang tidak boleh dilakukan secara berjamaah. Dan termasuk di dalamnya adalah shalat Tarawih. Adapun mengenai larangan melakukan shalat Tarawih dengan berjamaah secara khusus, terdapat di dalam riwayat-riwayat lainnya yang disampaikan oleh para Imam maksum madzhab Ahlulbait As.
Irfan: Saya kira sudah cukup jelas apa yang ustadz sampaikan. Tetapi ustadz, saya pernah mendengar bahwa Sayyidina Ali -Karramallahu Wajhahu- secara terang-terangan menyuruh puteranya al-Hasan agar menyuruh kaum muslimin pada masa khilafahnya untuk melakukan shalat Tarawih secara berjamaah. Nah, ini bagaimana ustadz? Apakah riwayat itu bisa dibenarkan? Apa maksud beliau menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah?
Di sini, nampaknya ada kontradiksi antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. Kontradiksi lainnya adalah: dari satu sisi Sayyidina Ali itu melakukan shalat-shalat sunat dan qiyamullail pada malam-malam bulan Ramadhan secara sendirian, artinya tidak berjamaah. Tetapi dari sisi lain, beliau menyuruh kaum muslimin untuk melakukannya secara berjamaah di masjid? Tolong ustadz jelaskan segamblang mungkin agar kami dapat memahaminya !
Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus dan memang cukup menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik dan benar. Bahkan ini penting untuk diketahui, baik oleh para pengikut madzhab Ahlulbait As, maupun kaum muslimin secara umum. Baiklah ! Sebenarnya riwayat yang berisikan perintah Imam Ali As yang kamu sebutkan itu, memang terdapat di dalam salah satu kitab ulama Ahlulbait As.[13] Riwayat itu disampaikan oleh Imam Ja’far as-Shadiq As, yaitu Imam maksum yang keenam. Beliau adalah gurunya Imam Hanafi dan Imam Maliki serta 4000 ulama lainnya. Imam Hanafi dan Maliki sangat menghormati dan banyak memuji beliau As. Riwayat itu, jika saya sampaikan dengan gaya bahasa saya, begini isinya -agar lebih mudah dipahami-: Imam Ja’far as-Shadiq As pernah berkata:
“Ketika Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib As datang di kota Kufah, beliau menyuruh puteranya yang bernama al-Hasan As agar memberitahukan kepada kaum muslimin “Hendaknya mereka tidak melakukan shalat-shalat sunat pada bulan suci Ramadhan secara berjamaah di masjid”. Nah ketika perintah itu disampaikan oleh al-Hasan As kepada kaum muslimin, mereka banyak yang tidak menerima dan memprotes. Mereka menduga bahwa perintah itu sebagai kebijakan yang baru dari Imam Ali As. Karena tradisi shalat Tarawih secara berjamaah yang merupakan sunnah Umar, sudah begitu mendarah daging di kalangan mereka. Karenanya, ketika mendengar larangan itu mereka berteriak: “Waa Umaraah…Waa Umaraah…!!” Artinya: Kasihan sekali si Umar…kasihan sekali si Umar..!! Mendengar teriakan mereka seperti itu al-Hasan As pun kembali ke rumah. Setibanya di rumah, Imam Ali As bertanya kepadanya: “Teriakan apakah itu?”. Al-Hasan As menjawab: “Wahai Amirul mukminin, ketika perintah Antum saya sampaikan, mereka berteriak “Waa Umaraah, waa Umaraah..!!”. Melihat kondisi kaum muslimin masih seperti itu, kemudian Imam Ali As berkata kepada puteranya tersebut: “Qul Lahum: Shallu !”. Artinya: “Katakan kepada mereka: Lakukanlah shalat !”.
Sudah jelas, bahwa perintah Imam Ali As kepada mereka dengan ucapan “Shallu” itu, bukan berarti bahwa beliau merestui dan memerintahkan mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sebagaimana yang selama ini mereka lakukan pada masa khalifah Umar dan Usman. Karena beliau As, baik sebelum itu maupun setelahnya dan selama hayatnya, tidak pernah melakukannya secara berjamaah. Bahkan -sama sekali- tidak ada murid-murid dan para pengikut setia beliau yang melakukannya secara berjamaah. Hal ini berarti bahwa beliau tetap mengingkari shalat Tarawih yang dilakukan secara berjamaah. Lalu mengapa beliau mengeluarkan perintah seperti itu? Sudah jelas, bahwa beliau merasa terpaksa untuk mengeluarkan perintah semacam itu dan dengan perasaan kesal dan tidak rela. Mengapa beliau terpaksa mengeluarkan perintah seperti itu? Apabila kamu memahami kondisi kaum muslimin pada saat beliau menduduki kursi khilafah, maka kamu akan dengan mudah dapat memahami mengapa beliau mengeluarkan ucapan dan perintah seperti itu. Dan sebenarnya saja, beliau -dengan ucapannya itu- tidak mengingkari keaslian dianjurkannya melakukan shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan suci Ramadhan. Yang beliau ingkari adalah dilakukannya secara berjamaah, baik di masjid atau di tempat-tempat lainnya.
Ada sebuah khutbah yang pernah disampaikan oleh Imam Ali As yang diriwayatkan oleh Sulaim bin Qais. Dengan membaca dan memahami kandungan khutbah[14] ini, kita dapat mengetahui kondisi umat Islam pada saat itu dengan lebih jelas lagi. Dan melalui khutbah ini pula, kita dapat memahami lebih jelas lagi mengapa Imam Ali As mengeluarkan perintah seperti itu.
Di dalam khutbahnya itu, Imam Ali As menyampaikan puja dan puji kepada Allah Swt, shalawat kepada Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci. Kemudian beliau menjelaskan tentang bahaya mengikuti hawa nafsu dan banyak berangan-angan. Pada bagian lain dari khutbahnya beliau menjelaskan berbagai peristiwa dan ritual-ritual keagamaan yang terjadi setelah wafat Rasulullah Saw yang dibuat-buat. Setelah itu beliau berkata dalam khutbahnya, yang kandungannya begini:
“Apabila aku larang mereka (dalam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah), maka banyak bala tentaraku dan pengikutku yang akan bercerai berai dan meninggalkanku. Demi Allah, aku telah menyuruh mereka agar tidak melakukan jamaah pada bulan suci Ramadhan kecuali dalam shalat-shalat fardhu. Aku juga telah sampaikan kepada mereka bahwa berjamaah dalam shalat-shalat nawafil itu bid’ah. Tetapi sebagian dari bala tentaraku yang ikut berperang bersamaku berteriak: “Wahai kaum muslimin, “Sunnah Umar” telah dirubah. Kita dilarang shalat sunat pada bulan Ramadhan”.
Sebagaimana kamu ketahui bahwa Imam Ali As menduduki kursi khilafah itu, karena permintaan dan desakan kaum muslimin setelah terbunuh Usman dengan cara yang mengenaskan. Ketika itu Imam Ali As menghadapi berbagai fenomena yang terjadi setelah wafat Rasulullah Saw. Ketika berkuasa, beliau ingin mengembalikan kaum muslimin kepada masa Rasulullah Saw dalam berbagai bidang, termasuk dalam tata cara menghidupkan dan meramaikan malam-malam bulan suci Ramadhan. Tetapi beliau mendapatkan rintangan yang sangat berat, sehingga beliau terpaksa membiarkan sebagian dari ritual yang dilakukan tidak sesuai dengan perintah Rasulullah Saw itu. Hal itu karena beliau As memperhatikan hal-hal yang lebih penting, misalnya masalah persatuan umat. Karena musuh-musuh Islam dan kaum muslimin -yang setiap saat mengintai- akan dengan mudah menyerbu dan menghabiskan mereka ketika mereka berselisih di dalam tubuh Islam. Oleh karena itu, beliau As menyuruh puteranya al-Hasan As agar membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu, agar persatuan umat Islam -pada kondisi yang sangat memprihatinkan itu- tetap terjaga.
Perlu saya tambahkan bahwa Abu al-Qasim Ibnu Qaulawaih (wafat th 369 H), salah seorang perawi Syi’ah, meriwayatkan sebuah hadits dari Imam al-Baqir dan Imam as-Shadiq As, bahwa kedua Imam maksum tersebut bersabda:
“Ketika Amirul mukmini Ali As tinggal di kota Kufah, masyarakat mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Angkatlah seorang imam shalat buat kami untuk menjadi imam pada bulan suci Ramadhan!”. Beliau As menjawab: “Tidak”. Dan beliau As melarang mereka untuk melakukan jamaah pada bulan suci tersebut. Lalu mereka memprotes dan berkata: “(Wahai muslimin!), tangisilah Ramadhan..! Waa Ramadhaanaah….! (Betapa malangnya bulan Ramadhan…!)”. Al-Haris al-A’war segera mendatangi beliau bersama orang-orang dan ia berkata: “Wahai Amirul mukminin, kaum muslimin menjadi ribut, mereka memprotes ucapanmu!”. Ketika itu beliau As berkata: “Biarkanlah apa yang mereka inginkan. Biarkan seorang imam yang mereka pilih shalat bersama mereka!”.[15]
Dari riwayat di atas menjadi jelas bagi kita bagaimana sebenarnya sikap para Imam suci Ahlulbait As terhadap shalat-shalat sunat yang dilakukan secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.
Perawi: Rahman yang sejak awal asyik mendengarkan penjelasan pak ustadz, kini tiba-tiba suaranya memecahkan keheningan dan kekhusyuan rekan-rekannya. Sedari tadi, ia merasa bahwa pak ustadz hanya menyuguhkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat Ahlulbait As melulu. Hatinya berontak dan ingin angkat bicara.
Rahman : Maaf pak ustadz, hadits-hadits atau riwayat yang Bapak sampaikan barusan adalah ucapan para Imam Ahlulbait As. Bapak belum menyampaikan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah Saw yang menyinggung ketidak bolehan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah, baik hadits yang keluar dari lisan suci beliau secara langsung, ataupun yang berupa ketetapan atau perbuatan beliau Saw.
Jadi, untuk memperjelas masalah di atas, alangkah baiknya jika Pak ustadz juga menyinggung hadits-hadits Rasulullah Saw mengenai larangan berjamaah dalam shalat-shalat sunat atau Tarawih, baik hadits-hadits itu datangnya dari kitab-kitab Sunni maupun dari kitab-kitab Syi’ah. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya Rasulullah Saw sendiri melakukan shalat Tarawih atau shalat nawafil pada bulan suci Ramadhan, baik menurut madzhab Sunni maupun Syi’ah?
Ustadz: Begini Rahman, hadits-hadits atau riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para Imam Ahlulbait As -sehubungan dengan masalah ini- memang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para perawi Ahli Sunnah. Hadits-hadits yang bersumber dari kitab-kitab Syi’ah memang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa Rasulullah Saw melarang shalat-shalat nawafil itu dilakukan secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan. Jika kamu membaca hadits-hadits mereka tentang masalah itu, kamu dapat menyimpulkan bahwa pada sebagian malam di bulan suci Ramadhan, Rasulullah Saw keluar ke masjid dan melakukan shalat nafilah sendirian. Kemudian kaum muslimin mengikutinya di belakang beliau. Tetapi kemudian beliau melarang mereka. Ketika mereka memaksa beliau terus untuk menjadi imam shalat, akhirnya beliau tidak lagi melakukannya di masjid. Kemudian beliau melakukannya di rumah.
Beberapa orang perawi hadits Syi’ah, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim dan Fudhail pernah bertanya kepada Imam Abu Ja’far al-Baqir As dan Imam Abu Abdillah as-Shadiq As mengenai shalat nafilah lail secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan. Kedua Imam maksum itu menjawab: “Sesungguhnya Nabi Saw apabila usai melakukan shalat (di masjid) pada akhir isya’ (menjelang tengah malam), pulang ke rumahnya. Kemudian beliau keluar lagi ke masjid pada akhir malam untuk melakukan shalat sunat. Pada malam pertama bulan suci Ramadhan, beliau Saw pernah keluar (ke masjid) untuk melakukan shalat sunat seperti yang biasa beliau lakukan sebelumnya. Ketika itu kaum muslimin berdiri berbaris di belakang beliau (menjadi makmum). Mengetahui hal itu, beliau keluar meninggalkan mereka dan melanjutkan shalatnya di rumah beliau. Hal semacam itu (menjadi makmum) mereka lakukan selama tiga malam. Pada malam keempat beliau Saw naik ke mimbar. Setelah memuji Allah Swt beliau Saw berkata: “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya shalat sunat pada malam Ramadhan, jika dilakukan secara berjamaah adalah bid’ah, shalat Dhuha juga bid’ah. Janganlah kalian melakukan shalat nafilah secara berjamaah pada malam bulan Ramadhan, jangan pula kalian melakukan shalat Dhuha. Karena hal itu merupakan maksiat. Ketahuilah sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat. Dan setiap kesesatan jalannya ke neraka”.
Kemudian beliau Saw turun dari mimbarnya dan berkata: “Perbuatan yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah, lebih baik dari perbuatan banyak dalam ke-bid’ah-an”.[16]
Hadits-hadits yang senada dengan itu, juga diriwayatkan oleh para perawi Syi’ah lainnya di dalam kitab-kitab Syi’ah. Di dalam hadits-hadits tersebut dengan jelas dan tegas Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk melakukan shalat nafilah Ramadhan atau Tarawih secara berjamaah. Dan larangan itu beliau sampaikan pada malam keempatnya.
Beberapa kitab hadits Sunni pun[17] mencatat berbagai riwayat mengenai shalat nafilah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw pada sebagian malam-malam bulan Ramadhan. Dan silsilah hadits-hadits Sunni tersebut kebanyakan berujung kepada A’isyah ummul mukminin. Informasi yang disampaikan oleh A’isyah di dalam beberapa hadits itu begini, bahwa pada suatu tengah malam Rasulullah Saw keluar untuk melakukan shalat sunat di masjid. Kemudian orang-orang ikut shalat di belakang beliau. Pada pagi harinya mereka bercerita, sehingga pada malam kedua jamaah bertambah banyak. Pada malam ketiga lebih banyak lagi dan pada malam keempat masjid tidak bisa menampung jamaah lagi karena saking banyaknya. Tetapi pada malam keempat ini, beliau Saw tidak lagi datang ke masjid, kecuali untuk melakukan shalat subuh. Setelah shalat subuh beliau berpidato, di antaranya beliau berkata:
“Aku tahu kondisi kalian tadi malam. Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya
“(ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها)
Kemudian sampai Rasulullah Saw wafat, shalat-shalat sunat tersebut tetap tidak dilakukan secara berjamaah.
Apabila hadits-hadits di atas dan yang lainnya kamu perhatikan dengan baik, maka dapat kamu pahami bahwa di antara perbedaan antara hadits-hadits Syi’ah dengan hadits-hadits Sunni adalah, bahwa di dalam hadits-hadits Syi’ah dengan tegas Rasulullah Saw melarang shalat nafilah itu dilakukan secara berjamaah, bahkan beliau menilainya sebagai bid’ah. Tetapi di dalam hadits-hadits Sunni, beliau tidak mau melakukannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan menjadi wajib bagi umatnya yang lemah, dan nantinya mereka tidak mampu untuk melakukannya.
Dan yang cukup menarik adalah jika kamu baca hadits lainnya di dalam kitab Sunni[18], yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit. Di dalam hadits tersebut Zaid bercerita bahwa ketika Rasulullah Saw tidak lagi datang ke masjid, jamaah shalat itu berteriak-teriak dan melempar pintu rumah Rasulullah Saw dengan kerikil. Barangkali maksud mereka ingin membangunkan beliau, karena mereka menduga, barangkali beliau ketiduran atau lupa. Mengetahui mereka berbuat biadab seperti itu, beliau Saw keluar dengan sangat marah dan berkata kepada mereka: “Masih saja kalian ingin melakukan shalat nafilah berjamaah, sehingga aku menduga nantinya akan diwajibkan kepada kalian. Lakukanlah shalat nafilah itu di rumah-rumah kalian. Karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah jika dilakukan di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu”.[19]
Di dalam riwayat ini dengan jelas dan tegas, Rasulullah Saw menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih atau nafilah itu di dalam rumah-rumah mereka, tentunya tanpa berjamaah.
Rahman: Terimakasih banyak Pak ustadz atas penjelasanya. Tetapi Pak ustadz, masih ada satu atau dua hal yang masih belum dapat saya mengerti. Dan saya berharap, Pak ustadz masih bersedia menjelaskannya kepada kami. Yang pertama, tadi Pak ustadz menukil, baik dari hadits-hadits Sunni maupun Syi’ah, bahwa Rasulullah Saw keluar ke masjid beberapa malam untuk melakukan shalat nafilah. Kemudian orang-orang bermakmum di belakang beliau. Pertanyaannya ustadz, mengapa ketika itu Rasulullah Saw tidak langsung melarang mereka dan menyuruh mereka agar shalat sendiri-sendiri saja. Mengapa larangan itu baru beliau keluarkan pada malam yang keempat?
Kemudian yang kedua, tolong Pak ustadz perjelas ucapan beliau :
ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها
(Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya). Apakah ucapan semacam ini memang betul-betul keluar dari lisan suci beliau Saw? Karena nyatanya, kalau hanya shalat Tarawih 20 rakaat saja, jangankan anak-anak muda, bahkan banyak orang-orang tua kita yang sudah lanjut usianya, masih mampu melakukannya? Jadi mengapa beliau beralasan dengan kekhawatiran semacam itu? Kalau begitu, kenapa ibadah-ibadah yang jelas-jelas berat bagi kita, seperti : pergi haji, thawaf 7 kali dengan berdesak-desakan, melontar Jumrah yang betul-betul memayahkan, bahkan sampai ada korban, puasa di musim panas bagi yang mempunyai musim panas, dan lain-lain, tidak dihapus saja? Atau yang tadinya wajib, disunatkan saja?
Ustadz: Pertanyaanmu cukup bagus dan kritis! Perhatikanlah jawabannya baik-baik! Sehubungan dengan shalat nafilah Rasulullah Saw di dalam masjid beliau, yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin ketika itu, yang perlu kamu ketahui adalah: pertama, dengan jelas dan tegas adanya larangan dari beliau Saw dalam melakukan shalat nafilah secara berjamaah. Bahkan para Imam dan ulama Sunni pun mengakui larangan beliau ini. Nyatanya pada masa khilafah Abu Bakar, sama sekali tidak ada shalat Tarawih secara berjamaah. Ini perlu kamu pahami baik-baik!
Yang kedua adalah, bahwa segala apapun yang beliau ucapkan, atau yang beliau lakukan, itu tidak keluar dari apa yang diwahyukan Allah Swt. Artinya beliau tidak mengada-adakannya sendiri. Beliau tidak mengeluarkan pendapatnya sendiri. Dengan kata lain beliau tidak melakukan ijtihad dengan pendapatnya sendiri.
Allah Swt berfirman:
وماينطق عن الهوی. إن هو إلا وحي يوحی.
Artinya: “Dan beliau tidak pernah mengucapkan sesuatu pun berdasarkan keinginan dan pendapatnya sendiri. Apa yang disampaikannya hanyalah merupakan wahyu murni dari Allah kepadanya”.[20]
Bahkan di dalam ayat-ayat yang lain dengan tegas Allah Swt mengancam Rasul-Nya jika beliau ikut campur dengan pendapatnya sendiri.[21]
Dengan demikian apa saja yang beliau ucapkan atau lakukan, baik berupa perintah ataupun larangan, termasuk pada kasus shalat nafilah tersebut, merupakan wahyu dari Allah Swt.
Yang ketiga, yang juga perlu kamu pahami adalah, bahwa taklif dan tugas umat Islam hanyalah mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya, yaitu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhkan segala bentuk larangan-Nya. Dan sama sekali kita tidak dituntut atau diwajibkan untuk menggali dan memahami hikmah atau falsafah perintah atau laranga-Nya tersebut. Apalagi jika kita tidak memiliki alat-alatnya yang lengkap. Tugas utama kita adalah melakukan segala perintah-Nya dan meninggalkan atau menjauhkan segala larangan-Nya. Tentu setelah memahaminya dengan baik dan benar.
Ketika kamu haus -misalnya- atau ingin mandi atau ingin membersihkan pakaian, kamu tinggal menggunakan air yang ada di sumur atau yang mengalir di sungai dekat rumahmu itu. Kamu tidak dituntut untuk mengetahui bagaimana proses muncul dan timbulnya air tersebut. Dengan kata lain, kamu tidak diwajibkan untuk mengetahui bagaimana munculnya air sumur, bagaimana datangnya air dari gunung, bagaimana gunung itu menyimpan air, bagaimana proses terjadinya hujan, dll? Kamu tidak dituntut untuk memahami itu semua. Kamu hanya dituntut bagaimana caranya mandi, bagaimana caranya mensucikan najis, dll. Apabila kamu merasa haus dan kamu tidak mau minum sebelum memahami proses munculnya air tersebut, maka kamu akan mati kehausan. Dan ketika itu, tidak seorang pun yang akan membelamu. Pasti semua orang akan menyalahkanmu; kenapa tidak langsung minum.
Lain halnya jika kamu punya waktu yang luas dan memiliki seperangkat alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana proses terjadinya air hujan, atau bagaimana munculnya air sumur dan bagaimana mengalirnya air sungai dari gunung. Maka ketika itu, kamu boleh-boleh saja mengkaji dan memahaminya. Dengan ungkapan lain, jika kita memiliki waktu yang banyak dan juga telah memiliki berbagai ilmu alat, seperti ilmu mantiq, maka tidak ada salahnya, atau bahkan malah dianjurkan, kalau kita mengkaji dan memahami hikmah dan falsafah adanya suatu hukum, baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan atau ketetapan Syariat.
Nah, kalau mukaddimah ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka ketahuilah bahwa pertanyaanmu tadi, (yaitu: mengapa ketika itu Rasulullah Saw tidak langsung melarang mereka dan menyuruh mereka agar shalat sendiri-sendiri saja. Mengapa larangan itu baru beliau keluarkan pada malam yang keempat?) berhubungan erat dengan hikmah dan falsafah hukum suatu perintah atau larangan!
Mengenai hikmah atau falsafah hukum-hukum Islam, tidak banyak yang disinggung oleh al-Qur’an atau hadits-hadits. Al-Qur’an dan hadits-hadits, memang terkadang menjelaskan tentang hikmah, falsafah atau rahasia suatu hukum, tetapi tidak banyak. Karenanya, masalah hikmah dan falsafah hukum itu, kebanyakan diserahkan kepada para ulama dan ilmuan yang telah memiliki berbagai sarana dan pengetahuan yang cukup. Dan tentunya, kamu pun boleh mencari-cari dan menggali hikmah atau falsafah suatu hukum, jika telah memiliki berbagai cabang pengetahuan yang memadai.
Jika keterangan singkat ini dapat kamu pahami dengan baik, maka -sehubungan dengan pertanyaanmu itu- kamu pun pasti dapat memahami, bahwa sesungguhnya diamnya Rasulullah Saw pada beberapa malam itu tidak mungkin atas dasar kehendak dan kemauannya sendiri, artinya pasti ada maslahat dan tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh syariat. Yang jelas bahwa hal itu merupakan kehendak Allah Swt. Tetapi apa hikmahnya? Apa falsafah dan rahasia atau alasannya?
Mungkin hikmah atau falsafah atau rahasia yang terkandung di dalamnya itu, ada yang untuk jangka pendek, yakni dapat dipahami langsung pada masa itu dan untuk umat Islam yang hidup pada masa itu. Dan ada yang untuk jangka panjang, yakni agar dapat diketahui dengan meyakinkan oleh uamt Islam di masa mendatang sampai hari kiamat, dan agar mereka betul-betul tahu, siapakah di antara kaum muslimin yang betul-betul mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan siapakah yang bandel dan membangkang. Siapakah di antara mereka yang betul-betul bertakwa, dan siapakah di antara mereka yang berani merubah-rubah hukum syariat.
Hikmah atau falsafah jangka pendeknya barangkali, bahwa dengan menunda-nunda larangan tersebut, dan menunggu sampai kaum muslimin semakin banyak yang melakukan shalat Tarawih berjamaah, larangan itu akan menjadi semakin mantap dan jelas serta dapat didengar dan diketahui oleh kebanyakan mereka. Sehingga nantinya, informasi yang akan mereka sampaikan kepada orang-orang yang belum atau tidak mendengarnya pun akan lebih meyakinkan. Dan juga, tidak mudah dilupakan oleh mereka apalagi diremehkan. Jadi yang meremehkan larangan itu, dapat dikatakan sudah betul-betul keterlaluan dan tidak mengerti peranan beliau sebagai nabi dan Rasul Allah. Sampai di sini insya Allah sudah jelas kan?
Adapun mengenai ucapan beliau Saw :
ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها
(Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya). Apakah ucapan semacam ini memang betul-betul keluar dari lisan suci beliau Saw? Jawaban yang dapat saya berikan mengenai hal itu adalah, menurut kacamata ulama Syi’ah jelas, bahwa beliau sama sekali tidak pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu. Bahkan sebagian ulama Sunni pun meragukan jika ucapan semacam itu keluar dari lisan suci Rasulullah Saw.
Dan jika diasumsikan bahwa ungkapan semacam itu keluar dari lisan suci beliau, mereka pun tidak dapat mengungkap maksud dan penafsirannya dengan jelas, sehingga sampai sekarang ini masih merupakan teka-teki yang tidak dapat dipecahkan yang akibatnya mereka pun meragukan keabsahan hadits tersebut.[22]
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kata-kata semacam itu tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah Saw. Karena jika hadits tersebut dianggap benar dan sahih, maka berarti hukum-hukum dan ketentuan syariat itu takluk dan tunduk kepada kehendak dan selera manusia. Artinya jika mayoritas masyarakat muslim menaruh perhatian dan semangat terhadap suatu ibadah, maka hal itu nantinya akan diwajibkan. Tetapi jika mereka tidak tertarik, malas-malasan dan menolak ibadah tersebut, maka tidak akan diwajibkan oleh Allah. Padahal tolok ukur dan yang menjadi landasan suatu hukum atau ketentuan itu adalah adanya maslahat yang riil di dalamnya, tanpa memandang ada atau tidaknya perhatian manusia terhadapnya. Dan sesungguhnya syariat Allah Swt itu tidak tunduk dan tidak mengikuti kehendak dan selera manusia atau penolakan mereka. Akan tetapi tunduk berdasarkan maslahat-masalahat yang hanya Dia yang mengetahuinya. Manusia -sama sekali- tidak boleh ikut campur dalam masalah syariat, sekalipun nabi Saw.
Kenapa Rasulullah Saw harus takut bahwa shalat Tarawih itu akan diwajibkan oleh Allah Swt? Bukankah banyak amalan-amalan mustahab lainnya yang dilakukan oleh beliau dan kaum muslimin, sementara beliau tidak merasa khawatir hal itu akan diwajibkan oleh Allah Swt? Bahkan ada sebagian masalah yang diwajibkan, sementara banyak kaum muslimin tidak melakukannya, sekalipun pada masa hayat Rasulullah Saw, terlebih lagi pada masa-masa setelah wafat beliau, dan -nyatanya-hukum tersebut tidak berubah dari wajib menjadi mustahab. Misalnya seperti hukum berjihad. Tidak sedikit kaum muslimin yang enggan dan menolak jihad ini. Tetapi Allah Swt tetap tidak menghapus kewajiban jihad ini, sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an.[23] Di samping itu, adanya kekhawatiran beliau tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa faraidh itu hanya ada lima, sebagaimana terdapat dalam hadits Isra’.[24]
Anak-anakku sekalian !
Sekarang jika diasumsikan bahwa para sahabat nabi itu menampakkan perhatiannya yang serius dan sungguh-sungguh terhadap shalat Tarawih, yaitu dengan melakukannya secara berjamaah. Lalu, apakah lantas perhatian serius mereka itu dapat dijadikan tolok ukur diwajibkannya shalat sunat tersebut, sementara jumlah mereka yang hadir ketika itu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan kaum muslim yang tidak hadir? Karena masjid nabi (masjid nabawi) ketika itu paling-paling hanya dapat menampung sekitar 6000 jamaah saja. Karena masjid nabi ketika itu hanya seluas 35 meter X 30 meter. Kemudian Rasulullah Saw memperluasnya menjadi 57 meter X 50 meter.[25]
Mungkinkah perhatian serius sebagian mereka itu dapat mengungkap keseriusan dan kesungguhan seluruh umat Islam di sepanjang masa sampai hari kiamat?
Kemudian, jika kamu perhatikan mengenai jumlah malam dimana Rasulullah Saw melakukan shalat nafilah, ternyata terdapat ikhtilaf di dalam hadits-hadits Sunni itu sendiri. Al-Bukhari menukil hadits di dalam kitab as-Shaum, bahwa nabi Saw melakukan shalat Tarawih bersama orang-orang selama tiga malam. Tetapi pada bab at-Tahridh ‘ala Qiyamillail, ia menukil, bahwa beliau shalat Tarawih bersama mereka dua malam saja. Dan Muslim pun sepakat dengan dua nukilan tersebut. Di dalam hadits-hadits yang lainnya dikatakan bahwa beliau itu keluar ke masjid pada malam-malam yang berbeda-beda, yaitu malam ketiga, kelima, ketujuh dan kedua puluh. Sementara di dalam riwayat Abu Dzar dikatakan bahwa nabi Saw keluar dan melakukan shalat pada malam 23, 25 dan malam 27.[26]
Jadi, dari hadits-hadits Sunni yang bermacam-macam dan berbeda-beda ini dapat dipahami bahwa sebenarnya mereka itu tidak serius dan tidak bersungguh-sungguh dalam menukil dan menceritakan perbuatan Rasulullah Saw yang sebenarnya, sehubungan dengan shalat Tarawih ini. Jika demikian, dari mana kita akan yakin bahwa nabi Saw menganggap dan menilai bahwa mereka betul-betul ingin melakukan shalat Tarawih secara serius dan sungguh-sungguh?
Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa seorang ulama Sunni terkenal yang bernama al-Qasthalani dengan terus terang mengatakan bahwa tambahan-tambahan pada shalat Tarawih itu adalah bid’ah. Dia berkata bahwa:
1. Nabi Saw tidak menganjurkan shalat Tarawih itu dilakukan berjamaah.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar pun tidak berjamaah.
3. Shalat Tarawih itu tidak dilakukan pada awal malam (tetapi pada pertengahan malam).
4. Tidak dilakukan setiap malam.
5. Tidak dilakukan sebanyak seperti yang sekarang.[27]
Perawi: Mayoritas muslimin memang menduga, bahwa shalat Tarawih yang selama ini mereka lakukan adalah mengikuti sunnah Rasulullah Saw semasa beliau hidup. Si Baqir pun -salah seorang murid kelas- menduga seperti itu pula. Selama beberapa tahun ini dan pada setiap Ramadhan ia aktif mengikuti shalat Tarawih berjamaah di masjid dekat rumahnya. Ternyata dugaan atau keyakinannya itu keliru. Menyadari hal itu, ia tidak mau ketinggalan dan segera mengajukan pertanyaan berikut ini:
Baqir: Pak ustadz! Jika memang betul dan telah jelas bahwa sebenarnya Rasulullah Saw itu tidak melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dan juga tidak shalat sebanyak 20 rakaat, sebagaimana terdapat di dalam hadits-hadits Sunni itu sendiri, lalu sebenarnya kaum muslimin mengikuti siapa dalam melaksanakan shalat Tarawih dengan tata cara dan jumlah rakaat yang ada sekarang ini? Saya pikir, tentu ada yang memulai atau ada yang mempeloporinya kan! Karena tidak mungkin muncul begitu saja. Nah, apakah orang yang memulai atau mempeloporinya itu, betul-betul sebagai panutan dan layak untuk diikuti? Karena, jika memang ia patut diikuti perintahnya, dengan senang hati saya tetap akan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sampai akhir hayat saya. Tetapi jika memang ternyata tidak layak diikuti, saya khawatir, nanti shalat saya itu tidak mendapatkan apa-apa selain hanya capek dan kelelahan belaka. Sudah di siang hari lelah berpuasa, di malam hari lelah pula ber-Tarawih. Jadi, ini gimana pak ustadz, tolong Bapak jelaskan sedetail mungkin, karena ini urusan agama yang berujung kepada surga atau neraka. Tidak main-main kan?!
Ustadz: Pertanyaan-pertanyaan yang kalian ajukan semuanya bagus-bagus. Baqir pun tidak mau kalah, ia juga mempunyai pertanyaan yang bagus. Pertanyaan Baqir itu, jika diringkas, akan menjadi dua buah pertanyaan saja, yaitu:
1. Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini?
2. Apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan Rasul-Nya sehingga patut diikuti, ataukah tidak?
Sebenarnya pertanyaan yang kedua, berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah Saw. Masalah imamah ini, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw yang sahih bahkan mutawatir.
Baiklah, saya akan menjawab pertanyaan yang pertama. Tetapi alangkah baiknya jika saya berikan sedikit mukaddimah sebelumnya mengenai ibadah dalam agama kita, Islam.
Anak-anakku sekalian!
Di dalam ibadah, misalnya seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambahi dari yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedikit saja kamu kurangi atau kamu tambah, maka tidak akan diterima oleh Allah Swt. Ibadah apapun yang telah ditambah atau dikurangi tidak akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dan keselamatan atau surga di akhirat kelak. Misalnya saja seperti ibadah shalat, jumlah rakaat shalat dan jumlah sujudnya sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Apabila kamu tambahkan atau kurangi dari jumlah tersebut, pasti shalatmu tidak akan diterima oleh Allah Swt. Demikian pula halnya dengan jumlah thawaf, sa’i, melontar jumrah, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan tata caranya pun telah ditetapkan sedemikian rupa, jika sedikit saja kamu merubah atau menggantinya, maka Allah Swt tidak akan menerimanya. Misalnya berwudhu harus dengan air murni, tidak boleh dengan air buah atau kuah sayur. Shalat harus menghadap ke arah qiblat, tidak boleh ke arah “Gedung Putih” atas menghadap ke arah “Istana Presiden”. Bacaan surat al-Fatihah harus lengkap, tidak boleh dikurangi, ditambah atau diganti dengan surat lainnya. Mengenai waktu-waktu ibadah pun harus sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Misalnya waktu shalat subuh ketika terbit fajar shadiq sampai sebelum terbit matahari, shalat zhuhur harus di muali dari tergelincirnya matahari, puasa harus di bulan suci Ramadhan, haji harus pada bulan haji, dan dilakukan di kota Makkah, bukan di kota Cirebon atau Cicago. Dan begitulah seterusnya.
Jadi sedikit saja kamu rubah atau kurangi atau kamu tambahkan, maka bukan saja tidak akan diterima oleh Allah Swt, bahkan malah diancam akan mendapat siksa yang pedih.
Di dalam sebuah hadits, Imam Ja’far as-Shadiq As bersabda:
“Allah Swt telah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam. Tetapi Iblis memprotes dan berkata: “Ya Rabb, jika Engkau bebaskan aku dari sujud kepada Adam, maka aku akan menyembah dan beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun”. Kemudian Allah Swt memberikan jawaban: “Sesungguhnya Aku ingin agar Aku ini ditaati sebagaimana yang Aku kehendaki”.[28]
Dari riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika kamu berani merubah, menambah atau mengurangi syari’at Allah Swt yang telah Dia tetapkan, maka kamu dengan Iblis tidak jauh berbeda.
Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang lengkap dan sempurna untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Dan tidak seorang pun berhak untuk merubah, menambah atau mengurangi ajaran tersebut. Peran Rasulullah Saw sendiri, hanyalah sebagai penyampai ajaran tersebut kepada seluruh umatnya. Artinya beliau sendiri tidak berhak merubah, menambah atau mengurangi ajaran Islam tersebut, apalagi bagi selain Rasulullah Saw.
Nah, jika mukaddimah singkat ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka perhatikanlah jawaban atas pertanyaan: Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini? Setelah jelas bahwa shalat Tarawih yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini, itu bukan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan bukan pula yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat Tarawih tersebut untuk pertama kalinya ditradisikan oleh khalifah Umar bin Khattab pada tahu 14 H. Hal ini sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarawan di dalam kitab-kitab mereka.[29]
Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakni shalat Tarawih)”.[30]
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: “Dialah (Umar) orang yang pertama yang melarang penjualan ummahat al-awlad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam….”[31]
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa’ tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: “Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut’ah…….”.
Muhammad bin Sa’ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khattab di dalam kitabnya at-Thabaqat berkata: “Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. Dia mengangkat dua qari’ (imam) di Madinah; seorang mengimami shalat Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita….”.
Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan……dst”- berkata: “….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal “shalat Tarawih”).[32] Muslim pun -di dalam kitab shahihnya- mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang seperti itu juga.[33]
Pada pasal “Shalat Tarawih”, al-Bukhari menukil sebuah riwayat bahwa Abdur Rahman bin ‘Abd al-Qari’ (seorang pejabat Umar dalam urusan baitul mal) berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kemudian kami melihat banyak orang yang sedang melakukan shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari yang lainnya. Ketika itu Umar berkata: “Sekiranya mereka itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik. “Kemudian ia menginstruksikan rencananya tersebut dan mengumpulkan mereka dalam satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Pada malam lainnya aku keluar lagi bersama Umar, sementara kami menyaksikan orang-orang sedang shalat di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Alangkah baiknya bid’ah ini!”.
Al-’Allamah al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadits tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak menyunatkannya kepada mereka untuk melakukannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah rakaatnya. (yakni 20 rakaat seperti sekarang).[34]
Anak-anakku sekalian!
Saya kira sudah cukup banyak dan meyakinkan kamu, apa yang telah saya nukil dan sampaikan dari para ulama Sunni di atas. Kalau kamu masih kurang puas juga, silahklanlah buka kitab-kitab Sunni lainnya yang tentunya masih banyak sekali. Pasti nantinya kamu akan sampai pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya orang pertama yang mencetuskan atau menyelenggarakan shalat Tarawih secara berjamaah seperti yang kamu saksikan sekarang ini, tiada lain adalah Khalifah Umar bin Khattab. Bahkan dengan tegas dan terus terang Umar sendiri mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah. Bukan hanya bid’ah bahkan “Ni’mal Bid’ah” (Bid’ah yang paling baik).
Anehnya, sebagian orang yang selalu berusaha membela Umar, bahkan banyak memuji dan menyanjungnya, tetapi dalam hal shalat Tarawih ini, mereka menolak ketetapan Umar. Karena Khalifah Umar telah menetapkan dan memerintahkan agar shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Tetapi mereka tidak melakukannya sebanyak itu. Mereka melakukannya hanya delapan rakaat saja. Dengan keras dan secara fanatik buta mereka menentang kelompok lain yang melakukan shalat Tarawih 20 rakaat. Padahal sebenarnya, tidak secara langsung mereka menentang sepenggal ” Sunnah Umar” itu sendiri. Tetapi mereka tidak menyadarinya. Jika mereka mengikuti perbuatan Rasul Saw yang ketika shalat di masjid sebanyak 8 rakaat, tetapi kenapa mereka tidak menambahkannya lagi di rumah, sebagaimana yang dilakukan Rasul Saw? Jika demikian halnya, mereka mengambil sebagian “Sunnah Rasul”, yaitu shalat 8 rakaat. Dan meninggalkan sebagian “Sunnah Rasul” yang lainnya, yaitu menambahkan shalatnya di dalam rumah. Di samping itu juga mereka mengambil sebagian “Sunnah Umar”, yaitu shalat sunnat Tarawih secara berjamaah. Dan meninggalkan sebagian “Sunnah Umar” yang lainnya, yaitu shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat. Dengan demikian, dan jika dikatakan mereka juga berijtihad, maka kelompok ini bisa dikatakan lebih parah lagi, karena di samping mereka itu menentang dan merubah ketetapan Rasul Saw, juga menentang dan merubah kebijakan Khalifah Umar sekaligus. Bukankah demikian?! Mengapa mereka tidak mengiktui “Sunnah Umar bin Abdul Aziz” saja, yang telah menetapkan dan memerintahkan agar shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 36 rakaat?
Barang kali di antara kamu ada yang berpendapat begini: Ah, barangkali, jika di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu, shalat Tarawih 36 rakaat sama dengan 20 atau 8 rakaat, maka seharusnya pada zaman modern sekarang ini, yaitu zaman serba singkat, cepat dan praktis, cukup 4 rakaat sajalah!
Nah, kalau jawaban pertama itu sudah jelas bagi kamu sekalian, maka mari kita pindah kepada jawaban yang kedua dari pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh Baqir.
Baqir ! Pertanyaan kamu yang kedua tadi apa?
Baqir : Anu pak ustadz, apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan Rasul-Nya sehingga patut diikuti ataukah tidak?
Ustadz: Ya, betul pertanyaannya begitu.
Anak-anakku sekalian! Sebagaimana telah saya katakan tadi, bahwa sebenarnya pertanyaan yang kedua ini berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah Saw. Masalah imamah ini, insya Allah, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw yang sahih bahkan mutawatir.
Sebagaimana telah saya sampaikan tadi dan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, bahwa Rasulullah Saw sendiri, yang langsung menerima wahyu dari Allah Swt melalui malaikat Jibril, dilarang keras oleh Allah Swt untuk memasukkan pendapat, ijtihad atau pandangannya sendiri di dalam urusan syariat. Beliau tidak berijtihad, tidak pernah menyelipkan pandangannya sendiri dalam urusan ibadah atau syariat dan beliau hanya sebagai penyampai risalah Allah Swt kepada seluruh umat manusia. Al-Qur’an menukil ucapan beliau di dalam surat yasin dan surat lainnya:[35]
وما علينا الا البلاغ المبين
“Aku hanyalah penyampai yang nyata”.
Lebih tegas lagi bahwa Rasulullah Saw pernah berpidato di hadapan masyarakat ketika itu, dan di antara ceramahnya beliau mengatakan:
“Wahai manusia, …….sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu apapun, selain yang telah dihalalkan oleh Allah Swt. Dan aku juga tidak mengharamkan sesuatu apapun, selain yang telah diharamkan oleh Allah Swt”.
Demikian pula para Imam maksum As setelah beliau, tidak ada yang berijtihad dan mengeluarkan pendapat atau pandangannya atas syariat Allah Swt. Mereka semua hanyalah penyampai, penjelas dan penyambung risalah Rasulullah Saw yang telah lengkap dan sempurna.[36] Demikianlah peranan dan tugas para nabi dan rasul sebelum beliau Saw. Mereka hanya ditugaskan oleh Allah Swt untuk menyampaikan wahyu-Nya dan menjelaskan kepada umat manusia serta menjaganya dari jamahan dan sentuhan tangan-tangan kotor dan para penguasa zalim.
Apabila Rasulullah Saw, para imam maksum As dan para nabi serta rasul itu sendiri tidak boleh mengeluarkan pendapatnya dalam masalah syariat, dan mereka sama sekali tidak mendapat izin dari Allah Swt untuk merubah, menambah atau mengurangi syariat yang telah Allah Swt turunkan demi kemaslahatan seluruh hamba-Nya, apalagi orang-orang yang kedudukannya jauh di bawah mereka.
Jadi, sama sekali tidak ada izin, atau wewenang atau mandat bagi siapapun untuk merubah, menambah atau mengurangi syariat Allah Swt. Dan ini ketetapan Allah Swt yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk ikut campur tangan dalam urusan syariat, hatta bagi Nabi Saw. Dan alasan apapun yang diajukan untuk itu, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Kenapa? Karena hanya Allah sajalah yang tahu maslahat dan mudharat bagi segenap makhluk-Nya. Rasulullah Saw sendiri mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh al-Qur’an : “Aku hanyalah manusia seperti kalian. Hanya saja aku mendapatkan wahyu dari Allah”.[37] Artinya -kata beliau- : “Aku juga diwajibkan melakukan seluruh yang diperintahkan Allah kepada kalian dan meninggalkan semua larangan-Nya. Hanya saja kelebihanku, bahwa aku dipilih sebagai nabi, rasul, pembawa risalah, penyampai dan penjelas syariat kepada kalian semua. Dan aku tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan wahyu-Nya”.
Anak-anakku sekalian!
Banyak sekali ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw itu hanya ditugaskan untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu Allah kepada umat manusia, tidak lebih dari itu.
Jika penjelasan ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, tentunya kamu pun sudah bisa mengetahui jawaban dari pertanyaan: “Khalifah Umar mendapat wewenang dan mandat dari mana, sehingga kok beliau berani ikut campur tangan dalam masalah urusan syariat, yang dalam hal ini menetapkan shalat Tarawih dalam waktunya, jumlah rakaatnya dan secara berjamaah?”
Perawi: Di antara murid-murid itu ada yang bernama Fathan. Fathan rajin belajar, mengaji dan suka mendengarkan ceramah agama di mana-mana. Ketika mendengar nama Khalifah umar dan Abu Bakar di singgung oleh gurunya tersebut, ia teringat ceramah seorang muballig mengenai kemuliaan dua orang Khalifah tersebut. Langsung saja si Fathan nyeletuk dengan menukil ucapan seorang muballig tersebut:
Fathan: Pak ustadz maaf, saya pernah mendengar ceramah seorang muballig yang menukil hadits Rasulullah Saw bahwa artinya kira-kira: “Ikutilah apa-apa yang disampaikan oleh kedua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” Nah, bukankah ucapan Rasulullah Saw di dalam hadits ini merupakan wewenang dan mandat bagi kedua orang Khalifah tersebut? Tidakkah, berdasarkan hadits ini, kita dibolehkan atau bahkan dianjurkan untuk mengikuti kedua Khalifah tersebut? Artinya, sehubungan dengan shalat Tarawih yang dicetuskan oleh Umar itu, bukankah kita diperintahkan oleh Rasullah untuk mengikuti dan melaksanakannya?
Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus!
Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan akhi Fathan ini, memerlukan waktu yang banyak. Tetapi untuk sementara ini dapat saya sampaikan secara singkat saja dulu. Jawabannya begini: Hadits tersebut dan banyak hadits-hadits lainnya yang semacam itu[38], perlu diadu dan dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih lainnya. Dan ini -tentu saja- memerlukan waktu yang tidak sedikit. Apabila hadits tersebut atau yang semacamnya diadu dan dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits lainnya, yang kesemuanya terdapat di dalam kitab-kitab Sunni juga, maka akan dapat diketahui hasilnya, bahwa hadits tersebut dhaif dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya.
Nah, sekarang katakanlah (bil fardh, diasumsikan) bahwa hadits itu shahih dan benar. Asumsikanlah bahwa Rasulullah Saw benar-benar berkata seperti itu! Seandainya dan sekiranya hadits itu dan semacamnya dianggap sahih dan kuat, tetapi hadits-hadits itu tidak bisa dipakai untuk menopang atau mendukung apa yang kamu maksudkan. Yaitu mengikuti sunah Umar tersebut. Kenapa demikian?
Dengan kata lain, bahwa sekiranya hadits itu sahih maka maksudnya begini, seakan-akan Rasulullah Saw ingin mengatakan begini:
“Ikutilah kedua orang Khalifah, yaitu Abu Bakar dan Umar, setelahku nanti, selama mereka berdua mengikuti Allah dan Rasul-Nya!”
karena di dalam hadits lain Rasulullah Saw juga bersabda:
لا طاعه لمخلوق في معصيه الخالق
Artinya: “Tidak boleh taat kepada makhluk siapa pun dalam hal maksiat kepada Allah, sang Pencipta”.
Sementara hadits yang terdapat kata-kata “Al-Khulafa ar-Rasyidun” itu, perlu dicarikan dan diterapkan secara tepat dan benar, yaitu sesuai dengan sifat-sifat seorang Khalifah yang Rasyid. Dengan kata lain, harus jelas mishdaq-nya itu siapa?
Kan sudah saya jelskan bahwa para nabi dan rasul itu, termasuk juga Rasulullah Saw tidak boleh ikut campur dalam urusan syariat. Apabila -seandainya- mereka ikut campur dan mengeluarkan pendapatnya dalam syariat, maka berarti mereka itu bermaksiat. Apabila mereka itu bermaksiat, maka dalam hal maksiat, mereka tidak boleh ditaati.
Jelasnya bahwa apabila Khalifah Umar menyuruh kamu puasa pada bulan Ramadhan, maka kita wajib mentaatinya. Karena perintah beliau itu sesuai dengan perintah syariat. Tetapi apabila beliau menyuruh kita dalam hal maksiat, maka tidak boleh ditaati. Nah, Khalifah Umar telah melakukan ikut campur dalam syariat, yaitu dengan mencetuskan shalat Tarawih berjamaah. Padahal nabi dan Khalifah Abu Bakar sendiri tidak melakukan hal itu. Dalam hal ini berarti Khalifah Umar telah berbuat maksiat dengan melanggar atau merubah ketentuan Allah tersebut. Kalau sudah jelas bahwa dia melanggar dan berbuat maksiat, maka natijahnya -dalam masalah ini- kita tidak boleh mentaati beliau.
Sebenarnya bukan hanya masalah shalat Tarawih saja yang ditetapkan oleh Khalifah Umar, atau yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya, kemudian dihapus oleh Umar. Sebagai contoh misalnya, dalam masalah talak tiga sekaligus, masalah azan subuh, masalah khumus, masalah nikah mut’ah, haji tamattu’, dll.
Apabila perintah Umar mengenai shalat Tarawih berjamaah itu ditaati oleh kaum muslimin, tetapi mengapa larangan beliau mengenai haji tamattu’ tidak seorang muslim pun yang mentaatinya?
Untuk memperjelas jawaban tersebut, perlu saya tambahkan, perhatikanlah baik-baik!
Misalnya, apabila ibumu menyuruh kamu untuk membuat kandang ayam. Dan ibumu itu telah menjelaskan bagaimana caranya membuat kandang ayam yang kuat dan bagus. Dan juga menjelaskan bagaimana cara merawat ayam yang baik. Sementara kamu belum mengerti apa-apa. Tetapi ayahmu menyuruhmu untuk membuat kandang kambing. Ayahmu juga menjelaskan bagaimana caranya membuat kandang kambing yang kuat dan bagus dan bagaimana cara merawat kambing yang baik.
Sementara ini kamu tahu bahwa ibumu itu orang kota yang tidak pernah mempunyai dan merawat ayam seekor pun. Dan sekolahnya hanyalah tamatan SMP. Ibumu, hanya karena melihat tetangganya memelihara ayam, lantas ia latah ingin dan ikut-ikutan agar anaknya juga membuat kandang ayam dan memelihara ayam untuk mendaptkan keuntungan.
Tetapi ayahmu, walaupun orang desa yang dulunya pernah mengembala kambing, karena ayahnya (yaitu kakekmu) tukang kambing, telah berhasil menyelesaikan kuliahnya pada fakultas peternakan. Di sini kita tidak menceritakan bagaimana ayahmu itu kok bisa kawin dengan ibumu yang orang kota itu. Pokoknya kamu yakin bahwa ayahmu berpendidikan cukup dan punya pengalaman yang banyak, sehingga ucapannya itu meyakinkan hatimu dan bisa diamalkan dengan sepenuhnya. Bahkan menurut kesaksian para tetangga, pak RT, pak Lurah dan orang banyak, bahwa ayahmu itu orang pandai dan nyatanya terbukti telah berhasil.
Nah, dalam hal ini, apabila terdapat kontradiksi antara kemauan ibumu dengan kemauan ayahmu, menurut akalmu dan semua akal orang yang sehat, pendapat yang manakah yang kamu pilih? Pendapat ayahmu ataukah pendapat ibumu?
Ya sudah tentu, jika kamu punya akal sehat, pasti kamu akan memilih pendapat dan pandangan ayahmu itu. Betapa bodohnya jika kamu mengikuti kemauan ibumu itu. Betapa bodohnya juga orang-orang yang mendukung pendapt ibumu tersebut. Sungguh betapa bodohnya!
Nah, jika mukaddimah sederhana ini dapat kamu tangkap dengan baik, yang sengaja saya sampaikan hanya untuk sekedar memudahkan kamu untuk menangkap pemikiran berikut ini. Sekarang perhatikanlah dan pahami baik-baik jawaban ini !
Menurut kesaksian ayat-ayat al-Qur’an, bahwa Imam Ali As termasuk salah seorang Ahlubait nabi Saw yang telah Allah Swt sucikan dari segala rijs dan kenistaan[39], sehingga beliau mencapai maqam ‘ishmah dan terpelihara dari kesalahan, dosa, kelupaan dan kekeliruan. Adakah ayat al-Qur’an yang sama ditujukan kepada Khalifah Abu Bakar, Umar atau para sahabat nabi yang lainnya? Jawabnya tentu tidak ada!
Menurut pengakuan al-Qur’an, bahwa Imam Ali As pernah memberikan sedekahnya kepada seorang pengemis berupa sebuah cincin yang melekat di tangannya, sementara beliau sedang rukuk dalam shalatnya. Kemudian turunlah ayat yang menegaskan bahwa Allah Swt, Rasul-Nya dan beliau sebagai wali dan pemimpin kaum muslimin.[40] Pernahkah Khalifah Abu Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya melakukan hal seperti itu, kemudian turun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa mereka mendapatkan kedudukan yang begitu mulia dan tinggi? Jawabnya jelas tidak ada!
Al-Qur’an pernah menegaskan bahwa Imam Ali As dan para pengikut setianya adalah “Khairul Bariyyah” (sebaik-baik manusia).[41] Karena mereka adalah orang-orang yang beriman tinggi dan beramal saleh dengan penuh ikhlas. Apakah kamu pernah mendengar bahwa terdapat ayat al-Qur’an yang seperti ini diturunkan kepada Khalifah Abu
Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya? Saya sendiri hingga saat ini, tidak pernah mendengar dan juga tidak pernah membaca sama sekali!
Al-Qur’an al-Karim menyatakan bahwa Rasulullah Saw sebagai “Mundzir” (pemberi peringatan). Sementara Imam Ali As sebagai “Hady” (pemberi petunjuk)[42]. Apakah selain beliau As, seperti Khalifah Abu bakar, Umar atau yang lainnya, mendapat predikat yang mulia tersebut yang ditegaskan oleh al-Qur’an al-Karim? Jawabnya juga tidak!
Satu-satunya orang yang pernah tidur di tempat tidur nabi ketika nabi berangkat hijrah, dan ia mempertaruhkan nyawanya demi membela nabi Saw adalah Imam Ali As. Dan al-Qur’an al-Karim dengan jelas dan tegas menyatakan hal itu.[43] Kemudian, dengan pengorbanan dan keikhlasan beliau yang tinggi itu, al-Qur’an memuji dan mengabadikannya.
Pernahkah kamu mendengar kisah semacam ini terjadi pada Khalifah Abu Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya? Tidak pernah!
Ketika Rasulullah Saw pergi ke suatu lembah untuk melakukan “Mubahalah” dengan orang-orang Kristen Najran, beliau Saw mengajak Imam Ali As dan Ahlubaitnya yang lain.[44] Akhirnya “Mubahalah” itu tidak jadi dilakukan, karena Pendeta Najran itu merasa gentar melihat Rasulullah Saw membawa orang-orang yang suci dan mulia yang pasti doanya akan di-ijabah oleh Allah Swt. Nah, apakah kamu pernah mendengar kisah yang sama yang disampaikan oleh al-Qur’an kepada Khalifah Abu Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya? Tidak!
Rasulullah Saw, diperintahkan oleh Allah Swt agar tidak meminta upah apapun kepada umatnya dalam tabligh dan dakwahnya itu selain meminta agar mereka mencintai dan mengikuti “Al-Qurba” (kelaurga suci beliau yang diantaranya adalah Imam Ali As).[45] Jelas sekali bahwa tidak seorang ulamapun yang menyatakan bahwa Khalifah Abu Bakat, Umar atau yang lainnya, temasuk diantara “Al-Qurba” yang ditegaskan oleh al-Qur’an untuk dicintai dan wajib diikuti.
Sebenarnya masih banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan dan diturunkan untuk memuji Imam Ali As dan keluarga suci Rasulullah Saw. Tentunya tidak mungkin saya sampaikan di sini semua. Beberapa ayat di atas saya kira sudah cukup sebagai bukti tentang ketegasan al-Qur’an mengenai kemulian dan keutamaan Imam Ali As dan Ahlubait nabi Saw. Bolehlah saya tambahkan satu ayat saja lagi mengenai keutamaan beliau As dan pujian yang disampaikan oleh al-Qur’an al-Karim karena perbuatan dan pengorbanannya yang ikhlas yang tidak pernah ayat seperti itu ditujukan atau diturunkan kepada Khalifah Abu Bakar dan Umar serta sahabat nabi yang lainnya.
Singkatnya, ketika al-Hasan dan al-Husain sakit, Imam Ali As dan isteri tercintanya ber-nadzar akan melakukan puasa tiga hari jika penyakit kedua anaknya tersebut segera disembuhkan oleh Allah Swt. Allah Swt mengabulkan doa beliau, dan nadzar pun dilakukan. Bahkan al-Hasan dan al-Husain As pun ikut berpuasa nadzar. Pada hari pertama ketika mereka ingin berbuka, datanglah pengemis miskin, makanan pun (beberapa potong roti) diberikan kepadanya. Sementrara mereka hanya berbuka dengan air putih saja. Pada hari kedua datanglah anak yatim, mereka pun melakukan seperti kemarin. Pada hari ketiga datanglah tawanan perang yang telah dibebaskan dari penjara. Beberapa potong roti yang disiapkan untuk berbuka pun diberikan kepadanya. Sikap dan sifat mulia ini mendapat pujian yang tinggi dari Allah Swt sehingga diturunkanlah ayat al-Qur’an yang memuji dan mengabadikan perbuatan terpuji mereka itu[46]. Kisah ini sangat masyhur di kalangan para sahabat nabi. Dan khalifah Abu Bakar, Umar atau yang lainnya, tidak pernah mendapat pujian sehingga diturunkan ayat semacam itu.
Nah itu sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang Allah Swt turunkan khusus untuk memuji dan menegaskan kemulian Imam Ali dan keluarga suci nabi Saw. Sementara, tidak ada satu ayat pun yang diturunkan oleh Allah Swt sehubungan dengan kemulian Khalifah Abu Bakar atau Umar atau sahabat nabi yang lainnya yang mengikuti jejak kedua orang Khalifah tersebut.
Adapun hadits-hadits nabi Saw yang menegaskan kemuliaan, kehormatan, keberanian dan kedudukan tinggi Imam Ali As sangat banyak sekali. Dan hadits-hadits ini diakui oleh semua ulama dan madzhab. Bahkan banyak tercatat di dalam kitab-kitab Sunni di sana-sini.
Allamah Syaikh Abbas al-Qummi berkata: “Tidak seorang ahli ilmu pun yang mengingkari bahwa keutamaan-keutamaan Amirul mukmini Ali As itu tidak mungkin dapat diungkapkan dengan bayan dan lisan. Dan tidak mungkin pula dijangkau oleh kitab dan tulisan. Bahkan para malaikat langit pun tidak akan mampu mencapai ketinggian derajat beliau As. Dan sebenarnya, berbagai keutamaan beliau As yang dapat diungkap (di dalam berbagai kitab), tidak sampai melebihi seciduk air laut”.[47]
Baiklah, untuk melengkapi kemuliaan Imam Ali As yang tidak dimiliki oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar yang disampaikan oleh lisan suci Rasulullah Saw, akan saya sampaikan beberapa saja sebagai contoh yang kini saya ingat. Dan saya tidak akan menyampaikan teksnya, untuk menyingkat waktu. Di samping itu pula hal ini sudah begitu masyhurnya, sehingga tidak seorang muslim pun yang berani mengingkarinya.
Mengenai keberanian Imam Ali As dan jasa-jasa beliau As di dalam berbagai peperangan, sudah tidak diragukan lagi. Misalnya dalam perang Badar, dalam perang ini separuh dari kaum musyrikin yang terbunuh adalah di tangan beliau sendiri. Dalam perang Khandaq tidak seorang sahabat nabi pun yang berani melawan seorang musuh yang gagah berani yaitu Amr bin Abdi Wud selain Imam Ali As dan beliau lah yang berhasil menewaskan si musyrik itu. Ketika itu Rasulullah Saw bersabda: “Pukulan pedang Ali pada perang Khandak lebih utama daripada ibadah “Tsaqalain” (seluruh jin dan manusia). Dalam perang Uhud, Imam Ali As tetap tegar membela Rasulullah Saw dan beliau tidak mundur sejengkal pun. Sementara banyak sahabat nabi yang kabur ketakutan meninggalkan medan perang. Sejarah mencatat bahwa di antara mereka yang kabur adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan lain-lain. Bahkan pada suatu kesempatan Abu Bakar dan Umar mengakui hal itu. Bukankah “Al-Firaru Minazzahfi” (Kabur dari peperangan dan tidak mentaati komando perang) termasuk dosa besar?
Dengan ketangkasan Imam Ali As dalam perang Uhud itu, seluruh musuh yang berusaha ingin membunuh Rasulullah Saw berhasil digagalkan. Sehingga Jibril pun turun dan memuji Imam Ali As dengan ungkapannya yang sangat terkenal :
“Tidak ada pemuda (yang gagah berani) selain Ali. Dan tidak ada pedang (yang berhasil menghempaskan musuh Islam) selain pedang “Dzul Fiqar”.
Dalam perang Khaibar Imam Ali As dengan pasukannya berhasil menghancurkan benteng Khaibar dan menghabiskan orang-orang Yahudi yang membangkang Rasulullah Saw. Sementara sebelum itu, Abu Bakar dan kemudian Umar dengan pasukannya mengalami kegagalan total. Sampai akhirnya Rasulullah Saw mengumumkan bahwa yang berhasil menghancurkan benteng Khaibar dan dia tidak akan mundur sejengkal pun (Karrar ghairu farrar) hanyalah seseorang yang mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya dan Allah Swt dan Rasul-Nya pun sangat mencintainya. Dialah Imam Ali As yang ketika itu menderita sakit mata. Kemudian Rasulullah Saw meniupkan atau menyebulkan matanya dan seketika itu juga sembuh. Lalu beliau Saw menyerahkan bendera untuk memimpin peperangan melawan orang-orang Yahudi dan menghancurkan benteng Khaibar. Pintu benteng Khaibar itu tidak mungkin dapat diangkat oleh 40 orang. Tetapi Imam Ali As mampu mengangkat dan melemparkannya hanya seorang diri dengan tangan beliau yang penuh berkah. Dan masih banyak lagi kisah-kisah keberanian beliau As dalam berbagai peperangan yang dipuji oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.
Hadits-hadits Rasulullah Saw lainnya yang tidak pernah dikeluarkan kepada selain Imam Ali As adalah seperti sabda beliau Saw:
1. “Aku dan Ali adalah bapak umat ini”.
2. “Ali dan syi’ahnya adalah orang-orang yang beruntung”.
3. “Tidak ada yang mencintai Ali selain si mukmin. Dan tidak ada yang membenci Ali selain munafik”.
4.”Ali senantiasa bersama Al-Haq. Dan Al-Haq pun senantiasa menyertai Ali”.
5.”Orang yang paling pandai dalam memutuskan hukum adalah Ali”. 6.”Kedudukan Ali di sisiku adalah sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada lagi nabi setelahku”.
Dan masih banyak sekali hadits-hadits nabi lainnya yang khusus ditujukan kepada Imam Ali As yang menunjukkan kemuliaan dan ketinggian derajat belias As di sisi nabi Saw. Satu lagi saja sebagai tambahan, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda :
“Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang ingin memasuki kota, maka masuklah melalui pintunya!”.
Banyak sekali hadits-hadits nabi yang menjelaskan ketinggian ilmu Imam Ali As. Bahkan banyak pula ucapan dan ungkapan yang disampaikan oleh Abu Bakar dan Umar mengenai ketinggian ilmu beliau As. Misalnya Umar pernah berkata dan dalam beberapa kasus :
“Jika sekiranya tidak ada Ali, maka hancurlah Umar”.
Nah, jika kelebih pandaian ayahmu dibandingkan ibumu telah kamu buktikan dan ketahui, seperti dalam membuat kandang kambing dan merawatnya, pasti kamu akan memilih dan mengikuti pendapat dan perintah ayahmu. Sekarang, jika kelebih pandaian Imam Ali As, keberaniannya, dan kemuliaannya telah dapat kamu buktikan dengan jelas melalui kesaksian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits nabi yang sangat banyak dan bahkan mutawatir, kemudian ketika terjadi kontradiksi dan pertentangan antara pandangan dan sikap Imam Ali As dengan pendapat dan sikap Khalifah Abu Bakar atau Umar, masihkah setelah ini kamu memilih ucapan, pendapat dan pandangan Khalifah Abu Bakar, atau Umar atau sahabat nabi yang lainnya selain Imam Ali As?!
Khalifar Umar berpendapat bahwa shalat Tarawih harus dengan berjamaah dan 20 rakaat dan dilakukan setelah shalat isya’. Sementara pendapat Imam Ali As mengikuti prilaku Rsulullah Saw, yaitu bahwa shalat Tarawih berjamaah itu bid’ah dan harus ditinggalkan. Dan Umar sendiri mengakui bahwa hal itu memang bid’ah.
Khalifah Umar telah menghapus ketetapan dan praktek haji tamattu’ dan nikah mut’ah ketika beliau berkuasa menduduki kursi khilafah. Tetapi Imam Ali As tetap mengikuti Rasulullah Saw, yaitu tetap mensahkan praktik haji tamattu’ dan nikah mut’ah yang biasa dilakukan pada masa hayat Rasulullah Saw dan para sahabat setelahnya.
Khalifah Umar telah menetapkan bahwa talak tiga sekaligus akan jatuh tiga talak juga. Dan setelah itu wanita itu menjadi haram bagi suaminya (tidak bisa rujuk) sampai ia menikah lagi dengan lelaki lainnya. Tetapi Imam Ali As tetap mempertahankan syariat aslinya sebagaimana dijalankan oleh Rasulullah Saw, yaitu bahwa talak semacam itu batal. Dan talak itu harus dilakukan satu kali satu kali saja yang diselingi dengan rujuk.
Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat, pandangan dan sikap antara Imam Ali As dengan Khalifah Umar sehubungan dengan masalah syariat.
Anak-anakku sekalian!
Sesungguhnya Alah Swt telah memberikan nikmat yang sangat besar kepada setiap insan, yaitu akal pikiran. Dengan akal manusia dapat memperoleh ilmu yang banyak dan menentukan pilihannya yang tepat. Maka gunakanlah akal sehatmu itu untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Gunakanlah untuk menentukan pilihan yang tepat dan baik sehingga kamu akan bahagia dan selamat di dunia dan khususnya di akhirat kelak. Sebab hanya dengan akal dan ilmu pengetahuan serta kejujuran, kita akan selamat dan memperoleh kenikmatan surga yang abadi kelak. Dan sebaliknya, dengan mengabaikan petunjuk akal, dengan meremehkan ilmu pengetahuan dan dengan tidak berlaku jujur terhadap syariat, seseorang akan terjerumus dan terjerembab ke dalam jurang api neraka jahannam, Na’udzu Billah!
Anak-anakku sekalian!
Di antara fungsi akal yang kalian miliki itu adalah untuk memilah dan memilih apa saja yang baik dan layak untuk kesehatan, keselamatan dan kebahagiaan kalian. Bahkan melakukan pilihan itu merupakan fitrah dan naluri setiap insan berakal yang tidak dikhususkan bagi orang-orang yang berilmu pengetahuan saja. Karena anak kecil sekalipun mempunyai naluri itu. Coba saja adikmu yang masih berumur lima tahun, jika kamu berikan beberapa buah apel, atau baju, atau mainan, atau apa saja, dan kamu katakan padanya: “Ambil satu saja, jangan lebih!”. Pasti ia akan memilih yang terbaik dan sesuai dengan seleranya, menurut pengetahuan dan pengalamannya.
Bukankah jika kamu pergi ke pasar untuk membeli sepatu, atau celana panjang, atau buah-buahan, atau barang apa saja, kamu pasti memilih yang paling bagus, paling kuat, paling menarik dan paling menyenangkan dipakai atau di pandang mata?
Bukankah jika seseorang ingin pergi ke kota naik bis, atau pergi ke luar negeri naik pesawat, ia pasti memilih bis atau pesawat yang paling baik dan paling aman yang dapat mengantarkannya ke tempat tujuannya dengan selamat?
Jika hal itu sudah begitu jelas, karena memang sangat logis dan bahkan sesuai dengan naluri dan fitrah setiap insan, sehingga tidak seorang pun yang mengingkarinya, tetapi mengapa sebagian besar manusia tidak berhati-hati dalam memilih agamanya yang akan mengatur hidupnya di dunia ini dan menyelamatkannya di akhirat kelak?
Mengapa sebagian manusia tidak melakukan pilihan atau tidak memilih “bahtera” yang ia yakini akan menyelamatkannya dari ombak dan gelombang lautan dalam yang sangat ganas?
Apabila dikatakan kepada mereka: “Ambillah sebuah rumah atau mobil dari sekian puluh rumah atau mobil itu! Tetapi hati-hatilah karena banyak yang sudah rusak!”, pasti mereka sangat berhati-hati dalam memilihnya. Dan pasti mereka mengeceknya sedetail mungkin. Bahkan jika ada tembok sebuah rumah yang hanya rompal sebesar sendok saja, pasti mereka mencari yang lainnya yang masih betul-betul mulus. Tetapi mengapa mereka tidak berhati-hati dalam memilih ajaran, aliran atau madzhab dalam agamanya yang jelas-jelas sebagai kendaraan menuju akhiratnya? Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda, bahwa: “………Dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Seluruhnya masuk neraka, kecuali satu golongan saja, atau yang 72 golongan akan masuk neraka. Dan hanya satu golongan yang akan masuk surga”.
Apakah Rasulullah Saw dusta dengan ucapannya itu? Apakah ucapan beliau itu hanya main-main dan sendagurau belaka? Tidakkah ucapan beliau itu, kini menjadi kenyataan?
Jika kamu tidak berhati-hati dalam menjalankan syari’at Islam, bagaimana mungkin kamu akan selamat dari sentuhan dan bisikan setan, bagaimana kamu akan selamat dari jilatan api neraka?
Jika kamu tidak yakin dengan akidah dan berbagai ibadah yang kamu lakukan, bagaimana kamu bisa yakin bahwa akidah dan ibadahmu itu dapat mengantarkanmu sampai ke pintu surga?
Jika akidah, keyakinan, pandangan dan berbagai argumen-mu dalam beragama belum terujikan keabsahan dan kekuatannya, bagaimana kamu bisa yakin bahwa keyakinan, pandangan dan argumen-mu itulah yang benar dan yang lainnya salah? Bagaimaan pula mereka yang berakidah dan beribadah hanya ikut-ikutan belaka dan sama sekali tidak mempunyai argumen? Sementara mereka larut dan tenggelam dalam berbagai maksiat dan kemungkaran, baik yang disadari maupun yang tidak disadarinya?
Jika kamu tidak bersungguh-sungguh dalam beragama dan menjalankan syari’at, tidak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa agama hanya sebagai “opium” belaka!
Anak-anakku sekalian!
Ketahuilah, bahwa hidup ini tidak main-main! Tidak ada orang lain yang akan menyelamatkanmu dari ganasnya gelombang kehidupan ini. Tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkan dan membahagiakan dirimu di hari akhirat kelak, kecuali dirimu dan usahamu sendiri dengan gigih dan sungguh-sungguh! Karena itu, berhati-hatilah dalam beragama dan menjalankan syariat! Jangan main-main! Janganlah hanya ikut-ikutan belaka. Kalian berbeda dengan kerbau atau sapi yang dicocok hidungnya dan diajak kemana saja ikut!
Gunakanlah akal sehat kalian mumpung-mumpung masih muda!
Perawi: Mendengar argumen dan penjelasan pak ustadz yang begitu kuat, murid-murid kelas tertegun dan terkesima. Mereka semua membungkam seribu bahasa. Seorang murid yang bernama Safari memperbaiki posisi duduknya. Kali ini ia tidak mengantuk sama sekali. Padahal biasanya ia suka mengantuk jika mendengarkan pelajaran atau ceramah lama-lama. Tiba-tiba ia teringat penggalan ceramah agama seorang ustadz di suatu masjid, tetapi ketika itu ia sedang mengantuk. Ketika itu sang ustadz sedang menafsirkan ayat-ayat awal di dalam surat al-Hujurat yang berkaitan dengan masalah bagaimana seharusnya berakhlak di hadapan nabi Saw. Penggalan ceramah yang diingat Safari itu, ia sampaikan di kelas dengan suara yang lantang dan jelas sehingga seluruh rekan-rekannya dapat mendengarnya dengan baik.
Safari berkata: Pak ustadz! Saya pikir tidak benar jika pak ustadz mengatakan bahwa tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang diturunkan kepada Abu Bakar dan Umar! Sebab saya pernah mendengarkan ceramah seorang ustadz di masjid “Al-Muhajirin” bahwa sebenarnya surat al-Hujurat yang dikenal dengan surat akhlak itu diturunkan kepada Abu Bakar dan Umar. Bukankah di dalam surat ini Allah Swt memuji akhlak dan sikap Abu Bakar dan Umar terhadap Rasulullah Saw ketika beliau Saw masih hidup? Jadi tidak benar ucapan pak ustadz itu, karena nyatanya ada ayat-ayat yang diturunkan kepada Abu Bakar dan Umar!
Perawi: Teman-teman kelas Safari merasa kagum dengan keberanian Safari menyanggah pandangan pak ustadz. Mereka yang belum pernah membaca tafsir surat al-Hujurat, merasa bahwa pak ustadz akan terpojok dengan kritikan Safari tersebut. Tetapi di dalam hati mereka berbisik: “Kita lihatlah, bagaimana pak ustadz menjawab kritikan Safari itu!”.
Pak ustadz tersenyum mendengar kritikan Safari tersebut.
Ustadz: Kritikan dan sanggahan yang sangat bagus dan tepat, artinya tepat pada pembahasannya. Tetapi dari sisi lain bisa dikatakan tidak tepat. Betul memang, bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa surat al-Hujurat itu dapat pula dinamakan surat akhlak. Karena di dalam surat itu banyak dijelaskan mengenai akhlak yang baik dan juga akhlak yang buruk agar dikaji, dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim.
Dan juga betul, bahwa bagian awal-awal surat al-Hujurat itu diturunkan dan ditujukan kepada Abu Bakar dan Umar. Dan ini sangat tepat, tidak salah! Dan tidak ada seorang ulama atau mufassir yang menyalahkannya.
Tetapi masalahkanya, apakah ayat-ayat yang diturunkan dan ditujukan kepada Abu Bakar dan Umar itu, sehubungan dengan sikap dan akhlak mulia mereka terhadap Rasulullah Saw? Ataukah sebagai teguran kepada mereka yang telah berbuat dan bersikap tidak baik kepada beliau Saw?
Nah, untuk mengetahui jawabannya, saya sarankan agar kamu semua mengkaji dan membaca beberapa kitab tafsir Sunni dan juga beberapa kitab hadits Sunni. Misalnya seperti kitab tafsir ad-Durrrul mantsur oleh as-Suyuthi, Tafsir al-Kabir oleh Fakhrur Razi, dll atau kitab hadits shahih al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Nanti hasil dari bacaanmu itu ceritakan kesimpulannya kepada saya. Cukup kamu baca tujuh ayat saja! Setelah itu baca terjemahannya dan kemudian kajilah tafsirnya dan hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut!
Jadi, masalah ini saya tidak jawab, karena waktunya sudah tidak mengizinkan kita lagi. Tetapi kajian ini sebagai PR dan tugas kamu semua, sehingga kamu akan lebih yakin dengan pembahasan yang telah saya sampaikan di atas tadi.
Safari: Baiklah pak ustadz, jawaban dari pertanyaan dan kritikan saya itu saya terima sebagai PR kami. Tapi pak ustadz, sebelum pertemuan seru ini diakhiri, saya minta satu saja pertanyaan saya dijawab dan dijelaskan sekarang juga. Begini pak ustadz, saya pernah mendengar bahwa shalat Tarawih berjamaah itu merupakan hasil ijtihad Khalifah Umar. Karena beliau pernah melihat nabi melakukannya beberapa malam di masjid. Kemudian beliau menyuruh orang-orang melakukannya secara berjamaah setelah wafat nabi Saw karena tentunya ada maslahat dan hikmah yang kembali kepada umat Islam ketika itu. Nah bagaimana pandangan pak ustadz mengenai ijtihad Umar ini?
Ustadz: Sebetulnya jawabannya -sehubungan dengan masalah ijtihad Umar ini- panjang sekali. Di sini saya berusaha untuk menyingkatnya saja. Begini anak-anakku!
Jika dikatakan bahwa shalat Tarawih itu hasil ijtihad Umar yang dia istinbatkan dari perbuatan Rasul Saw semasa hidupnya, dimana beliau Saw pernah melakukan shalat Tarawih berjamaah beberapa malam yang kemudian beliau Saw mencegahnya dengan alasan takut diwajibkan dan menjadi berat bagi umatnya, dan setelah beliau Saw wafat maka kondisinya telah berubah dan apa yang dikhawatirkan oleh Rasul Saw tidak ada lagi dan dengan alasan bahwa terpencar-pencarnya shalat Tarawih itu tidak menunjukkan wahdatul kalimah, sementara berjamaah itu akan menambah lebih semangat mereka dalam beribadah, maka hal itu atau alasan itu tidaklah benar.
Karena, ijtihad apapun yang dilakukan Umar dan dengan alasan apapun, yang jelas nabi Saw tidak pernah melakukannya seperti itu dan bahkan nabi menolaknya dan mengatakannya sebagai bid’ah. Di samping itu, jika ijtihad semacam itu diterima, maka berarti bahwa syariat Islam itu masih belum sempurna, dan ini bertentangan dengan kasaksian al-Qur’an al-Karim yang telah menegaskan bahwa syariat Islam telah lengkap dan sempurna[48] dan tidak sesuatu pun yang tertinggal.[49] Jika hasil ijtihad Umar itu diterima, maka berarti semasa hayat nabi Saw masih ada sebagian hukum atau syariat Islam yang belum disyariatkan atau belum ditetapkan dan belum dipraktikkan karena suatu halangan yaitu kekhawatiran nabi atas difardhukannya perbuatan yang sunat itu. Tetapi setelah beliau Saw wafat setiap orang dapat menetapkan syariat yang kurang itu. Dan hal ini berarti akan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dengan alasan yang bermacam-macam sampai hari kiamat nanti. Dan orang yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan, tentunya akan lebih leluasa lagi untuk melakukan ijtihad dan bahkan mempermainkan syariat dengan menambah, merubah atau mengadakan hal-hal yang baru. Jika ini terjadi, maka akan hancurlah Islam, karena orang yang bukan ahlinya akan seenaknya berbicara dan mengeluarkan pendapat tentang syariat Islam dan memasukkan hal-hal yang bukan dari syariat Islam ke dalam syariat Islam.
Kok bisa dikatakan bahwa nabi melarang shalat Tarawih itu karena beliau Saw merasa khawatir jika diwajibkan kepada umatnya dan setelah beliau wafat kekhawatiran itu menjadi sirna, lantas shalat Tarawih berjamaah menjadi disunatkan yang tadinya dilarang nabi Saw?!
Kalaupun diterima bahwa nabi Saw melarang shalat Tarawih secara berjamaah itu karena kekhawatiran beliau nantinya akan difardhukan dan umatnya tidak akan kuat, atau katakanlah ada alasan lain dari larangan nabi itu, yang jelas larangan itu ada dan telah dikeluarkan oleh Rasul Saw, dan larangan adalah larangan. Bukankah Alalh Swt telah berfirman:
“Apa saja yang disampaikan oleh Rasul, maka ikutilah. Dan apa saja yang beliau larang, maka hindarilah”.[50]
Bukankah Allah Swt juga berfirman:
“Tidak selayaknya bagi seorang mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, lalu mereka mengadakan pilihan lain atas perkara mereka itu. Dan barang siapa yang membantah Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah betul-betul tersesat” [51]
Bukankah larangan Rasul Saw tersebut, merupakan bagian dari ketetapan dan hudud Allah Swt yang dilarang keras melanggar dan melampauinya?[52] Bukankah shalat Tarawih secara berjamaah itu merupakan ritual ibadah Rahbaniyah yang bersifat bid’ah yang dikecam oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an?[53] Bukankah mencintai Allah Swt itu (dengan melakukan semua perintah-Nya dan menjauhkan seluruh larangan-Nya) tidak ada jalan lain selain mengikuti jejak dan mentaati Rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’an?[54] Bukankah Rasul itu wajib diikuti dan ditaati bagi seluruh umat manusia sampai hari kiamat, jadi bukan hanya bagi umatnya pada masa hidup beliau saja, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an?[55]
Bukankah Allah Swt telah menegaskan di dalam al-Qur’an bahwa Rasulullah Saw itu berada pada jalan lurus[56], yakni jalan hak dan kebenaran yang sedikitpun tidak melenceng dari garis yang telah ditetapkan oleh-Nya? Bukankah jalan Rasulullah Saw itu adalah jalan Allah Swt yang merupakan satu-satunya jalan penyelamat dan Allah Swt memerintahkan (bertausiyah) kepada kita agar mengikuti jalan itu saja dan melarang keras agar kita tidak mengikuti jalan-jalan lainnya yang hanya akan membuat kita dan umat Islam ini bercerai berai?![57]
Bukankah doa yang paling sering kita ulang-ulang di dalam shalat yang lima kali itu adalah: “Ya Allah, tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang tersesat”?[58]
Dengan alasan apa kok nabi Saw merasa khawatir, padahal beliau senantiasa bersama wahyu Ilahi dan tidak pernah keluar dari lingkaran wahyu Ilahi terebut? Dengan alasan apa kok setelah wafat nabi Saw apa yang dikhawatirkan nabi itu telah lenyap? Sementara mereka meyakini bahwa syariat telah sempurna dan wahyu pun tidak akan turun lagi?
Apakah sirnanya kekhawatriran nabi Saw itu karena habis dan telah berakhirnya masa tasyri’ (pensyariatan)? Jika diterima bahwa masa tasyri’ telah habis dan tidak akan turun lagi hal-hal yang akan diwajibkan, lalu mengapa tidak dikatakan saja bahwa masa tasyri’ apapun telah habis juga dan tidak ada lagi tasyri’ sama sekali setelah wafat beliau Saw? Artinya bahwa tasyri’ atas disunatkan atau dibolehkannya shalat Tarawih berjamaah pun, masanya telah habis dan sirna juga? Dengan kata lain, mengapa masa tasyri’ nabi Saw dikatakan telah habis dengan wafatnya beliau Saw, sementara tasyri Umar malah dibuka dan diterima, padahal beliau bukan nabi, bukan washi dan tidak pula menerima wahyu Ilahi?
Jika tasyri’ Umar itu diterima, mengapa tasyri’ sahabat lainnya tidak boleh diterima, padahal banyak sahabat lainnya yang jauh lebih pandai dari Umar. Bahkan kealiman dan keberanian Ali As tidak ada duanya ketika itu dan sampai hari kiamat berdasarkan kesaksian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir nabi Saw?
Yang jelas bahwa masa tasyri’ itu dengan semua sisi dan dimensinya telah habis, dan wahyu pun tidak turun lagi dengan wafatnya nabi Saw. Karena hak tasyri’ hanyalah di tangan Allah Swt melalui lisan suci Rasul-Nya. Dengan demikian, bahwa penambahan, pengurangan dan perubahan yang dilakukan oleh selain maksum As merupakan perbuatan bid’ah. Dan setiap bid’ah itu dhalalah dan setiap dhalalah tempatnya di neraka!
Anak-anakku sekalian!
Sebenarnya orang-orang yang mengatakan dan meyakini bahwa diantara hikmah shalat Tarawih berjamaah itu adalah terbentuknya ukhuwwah, wahdah kalimat, menambah semangat dalam beribadah dan lain-lain, tidak secara langung mereka mengatakan bahwa Allah Swt dan Rasul-Nya itu lengah dan tidak mengetahui hikmah tersebut, sehingga shalat Tarawih itu tidak dibolehkan berjamaah.
Jadi sebenarnya, siapa yang lengah dan tidak mengetahui hikmah shalat Tarawih secara berjamaah atau munfarid? Mereka ataukah Allah Swt dan Rasul-Nya? Saya berlindung diri kepada Allah Swt daripada ucapan yang dapat menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya seperti itu!
Bukankah hikmah tersebut sudah terdapat pada shalat-shalat fardhu dan shalat Jum’at? Dengan demikian berarti bahwa hikmah shalat Tarawih secara munfarid itu lain lagi? Tidakkah kita berpikir dengan jernih bahwa barang kali hikmah shalat Tarawih secara munfarid di rumah masing-masing itu dan dilakukan pada tengah malam atau menjelang sahur, merupakan kesempatan bagi pelakunya untuk menyendiri kepada Allah Swt, merupakan kesempatan baginya untuk mengadukan segala keluhan, kesedihan, kesusahan, problema hidup, dosa-dosa dan lain sebagainya? Bukankah hal itu merupakan kesempatan baginya untuk bermunajat kepada Allah Swt, mendekati-Nya, berlindung diri hanya kepada-Nya, mengharapkan ampunan-Nya dan memohon keridhaan dan curahan rahmat-Nya? Bukankah dianjurkannya shalat-shalat Sunat itu agar dilakukan secara munfarid agar setiap orang merasa bebas seberapa lama saja dia mengeluh dan berdialog kepada Allah Swt? Yang mana hal ini tidak mungkin ia peroleh dengan cara berjamaah? Bukankah shalat sunat di dalam rumah itu lebih selamat dari penyakit riya’ dan sum’ah? Sementara shalat Tarawih berjamaah di masjid-masjid mudah sekali terjangkiti riya’ dan sum’ah?!
Bukankah dengan melakukan shalat Tarawih secara munfarid di rumah masing-masing itu, membuat rumah dan seisinya menjadi berkah dan hidup? Bukankah hal itu merupakan kesempatan untuk mendidik anak-anak kita agar dapat melakukan shalat seberapa lamanya yang mereka kehendaki? Jika sekiranya berjamaah itu dianjurkan di dalam shalat Tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya, sudah tentu melakukannya di masjid-masjid itu lebih utama dibandingkan melakukannya di dalam rumah! Tetapi nyatanya banyak sekali hadits-hadits nabi Saw yang menganjurkan agar umatnya melakukan shalat-shalat sunat di dalam rumahnya masing-masing, dan bukan di masjid.
Abdullah bin Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama; aku shalat sunat di rumahku atau aku shalat di masjid?”. Beliau Saw menjawab:
“Tidakkah kamu lihat bahwa rumahku sangat dekat dengan masjid? Tetapi aku lebih suka melakukan shalat sunat di dalam rumahku daripada di dalam masjid, kecuali shalat fardhu”.[59]
Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah Saw bersabda:
“Wahai manusia, lakukanlah shalat-shalat sunat di rumah-rumah kalian! Karena shalat sunat seseorang di dalam rumahnya itu lebih utama, kecuali shalat fardhu”.[60]
Dari Anas bin malik bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Muliakanlah rumah-rumah kalian dengan sebagian shalatmu!”. Dalam hadits lainnya beliau bersabda: “Perumpamaan rumah yang didalamnya itu terdapat “dzikrullah” dengan rumah yang di dalamnya tidak terdapat “dzikrullah”, seperti perumpamaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati”.[61]
Jabir bin Abdillah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila kalian telah melakukan shalat di masjid, maka hendaklah kalian sisihkan sebagian shalat untuk di rumah. Karena sesungguhnya Allah Swt menjadikan shalat seseorang di dalam rumahnya itu sebagai kebaikan”.[62]
Berikut ini saya akan tambahkan beberapa perkataan atau perbuatan sebagian ulama Islam yang lebih suka melakukan shalat Tarawih atau shalat sunat di dalam rumahnya. Ucapan mereka -sama sekali- bukan menjadi atau sebagai dalil. Tetapi paling tidak dapat menopang dan menguatkan pandangan orang-orang yang lemah dalam berargumen mengenai dianjurkananya shalat Tarawih dan shalat sunat di dalam rumah. Mereka itu adalah:
1. Ibnu Umar, yaitu Abdullah bin Umar, putera Umar sendiri.
Abdur Razaq meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau (Ibnu Umar) tidak melakukan shalat Tarawih di belakang imam pada bulan Ramadhan.[63]
Mujahid berkata bahwa pernah ada seseorang datang ke rumah Ibnu Umar dan berkata: “Aku shalat di belakang imam pada bulan Ramadhan”. Ibnu Umar menjawab: “Apakah kamu membaca al-Qur’an?”. Orang itu menjawab: “Ya”. Ibnu Umar berkata: “Apakah kamu paham, seakan kamu ini keledai! Shalatlah di rumahmu!”.[64]
2. Malik.
Malik berkata: “Melakukan shalat sunat Ramadhan di dalam rumah bagi yang mampu itu lebih aku cintai”.[65] Pada tempat lain Malik berkata: “Dan aku melakukan hal itu (shalat sunat Ramadhan di rumah). Dan nabi tidak melakukannya kecuali di dalam rumahnya”.[66]
Labid as-Said berkata: “Sesungguhnya Malik dan Abu Yusuf dan juga sebagian pengikut as-Syafi’i memandang bahwa yang utama adalah melakukan shalat Tarawih secara munfarid di dalam rumah”.[67]
3. As-Syafi’i.
Rabi’ berkata: “Imam Syafi’i tidak melakukan shalat Tarawih bersama orang-orang. Tetapi beliau shalat di dalam rumahnya”.[68]
Imam Syafi’i berkata: “Shalat sunat pada bulan Ramadhan secara munfarid lebih aku cintai”.[69] Di dalam kitab lain beliau berkata: “Yang utama adalah melakukannya secara sendiri/munfarid”.[70]
4. Abu Yusuf.
Al-Mu’alla meriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa ia berkata :”Barangsiapa yang mampu melakukan shalat sunat di dalam rumahnya, sebagaimana ia melakukannya bersama imam pada bulan Ramadhan, maka aku lebih mencintai jika ia lakukan di rumahnya itu”.[71]
5. Rabi’ah.
Rabi’ah dan juga para ulama lainnya tidak melakukan shalat Tarawih secara berjamaah.[72]
6. Abu Umamah al-Bahili.
As-Syathibi berkata: “Di antara Salaf Saleh yang menegur ritual tersebut adalah Abu Umamah al-Bahili, ia berkata:
“Kalian telah mengada-ada shalat sunat Ramadhan. Padahal hal itu tidak diwajibkan atas kalian. Kalian hanya diwajibkan berpuasa…..Sesungguhnya orang-orang Bani Israel mengadakan bid’ah yang tidak ditetapkan oleh Allah Swt. Tujuan mereka adalah mencari keridhaan Allah. Tetapi mereka tidak menjaga ketentuan-ketentuan syariat. Akibatnya mereka dikecam oleh Allah Swt. Allah berfirman: “Dan Rahbaniyah yang mereka ada-adakan[73]“.[74]
Anak-anakku sekalian!
Pertemuan kita ini, waktunya sudah habis. Al-Kalam Yajurrul Kalam. Insya Allah dilain waktu, jika di antara kamu masih ada yang belum puas mengenai shalat Tarawih ini, kita akan sambung lagi.
Perawi: Sabar adalah murid yang paling tua di dalam kelas itu. Dia nampak sedang berpikir dalam. Masyarakat yang dihadapinya memang rata-rata atau bahkan hampir semuanya masyarakt awam. Nampaknya dia sedang berpikir bagaimana mentransfer apa yang tadi disampaikan pak ustadz kepada tetangga dan masyarakatnya, terutama kepada keluarganya yang memang seluruhnya beragama dan melakukan ritual hanya ikut-ikutan secara turun temurun belaka. Akhirnya si Sabar pun angkat suara.
Sabar: Maaf pak ustadz! Saya pikir alangkah baiknya dan untuk menyempurnakan pertemuan kita ini, jika sekiranya pak ustadz menyampaikan saran-saran kepada kita dalam beberapa menit ini.
Masalahnya begini pak ustadz, sebagaimana pak ustadz ketahui bahwa kondisi masyarakat kami sangat awam dan kebanyakan mereka hanya ikut-ikutan saja dalam melakukan amal ibadah, terutama seperti shalat Tarawih ini. Sementara telah kami dengar dari pak ustadz bahwa shalat Tarawih itu bid’ah dan sebaiknya dilakukan di rumah secara munfarid. Jadi maksud saya, bagaimana cara kami menyampaikan hal ini kepada mereka ustadz?
Ustadz: Bajiklah anak-anakku!
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ta’lim, tarbiyah, irsyad dan juga amar makruf dan nahi mungkar itu ada tatacara dan adab-adabnya. Tidak semua orang boleh melakukan hal itu. Seseorang yang bukan dokter dilarang keras mengobati atau memberikan suntikan obat atau memberikan resep kepada pasien yang menderita penyakit tertentu. Sebab, jika salah bukan menyembuhkan penyakitnya, tetapi malah mematikannya. Dan ini sangat berbahaya. Itu penyakit fisik. Nah apalagi penyakit ruhani, penyakit hati dan penyakit di dalam ibadah atau syariat. Tentu jauh lebih sensitif lagi. Carilah ilmu yang lengkap dan mencukupi untuk menjadi seorang dokter, baik dokter fisik maupun dokter ruhani di masyarakat. Sebagaimana hancurnya fisik seorang fasien karena ulah dokter gadungan atau dokter gelap. Begitu pula, hancurnya agama dan syariat islam ini, karena orang-orang yang tidak berilmu dan tidak berpengalaman memberikan resep yang bermacam-macam. Akibatnya umat ini bingung dan malah keracunan berbagai fatwa yang membingungkan.
Nah sehubungan dengan masalah shalat Tarawih ini, ketahuilah bahwa hal ini hanyalah masalah kecil saja, jika dibandingkan dengan masalah-masalah lainnya yang lebih banyak dan lebih penting.
Biarkanlah mereka orang-orang awam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid-masjid. Apalagi mereka sudah pada tua yang memang sangat sulit untuk diluruskan. Jadi biarkanlah ritual itu berjalan. Kenapa? Karena masih banyak sekali hal-hal lainnya yang lebih besar dan lebih penting untuk diluruskan dan diperbaiki. Apa contohnya? Misalnya masalah budaya riba dalam berbagai muamalah, budaya pacaran, zina, mabuk-mabukan, menonton film-film forno, mengurangi timbangan, meninggalkan berbagai kewajiban, seperti shalat fardhu, saling menggibah dan menggunjing, masuknya macam-macam budaya barat, seperti musik, lagu-lagu, cara berpakaian, tersebarnya makanan yang haram, penyembelihan binatang halal yang tidak syar’i, dan banyak lagi hal-hal lainnya yang lebih penting untuk dibenahi ketimbang shalat Tarawih. Penipuan bukan hanya terjadi di pasar-pasar atau di pelabuhan, tetapi terjadi juga di dalam masjid dan di dalam majlis ta’lim dengan berbagai cara. Penipuan tidak hanya dilakukan oleh kelompok mavia dan bajingan tengik, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang berbaju muballig dan ustadz.
Jadi, sekali lagi, biarkanlah mereka dengan kondisi ritual seperti yang ada sekarang. Sebab mereka disamping awam dalam masalah-masalah agama, setiap saat, siang dan malam, pikiran mereka disibukkan dengan bagaimana mencari sesuap nasi, bagaimana anak-anaknya bisa sekolah dengan lancar, bagaimana bisa hidup dengan aman dari pencuri dan perampok. Bahkan tidak sedikit mereka yang selalu berpikir; bagaimana bisa membayar hutang-hutangnya, bagaimana bisa lolos dari riba dan rentenir yang melilit leher mereka, bagaimana bisa pergi ke dokter, bagaimana bisa punya rumah, dan seterusnya. Mereka yang mengaku bermadzhab Sunni pun, kebanyakan tidak mengenal apa itu Ahli Sunnah, siapa itu Imam Syafi’i, siapa itu Abu Hasan al-Asy’ari, siapa itu Abu Mansur al-Maturidi? Padahal Imam Syafi’i tokoh dan imam fiqih mereka, Asy’ari dan Maturidi tokoh dan pelopor akidah mereka. Kebanyakan mereka meyakini bahwa Ahli Sunnah itu identik dengan Imam Syafi’i saja. Maliki -menurut mereka yang awam itu- bukan Ahli Sunnah, begitu juga dengan Hanafi dan Hambali. Mereka menganggap bahwa selain madzhab Syafi’i sebagai lawan mereka yang salah. Ya…begitulah keyakinan orang-orang muslim Sunni yang awam. Makanya kasihanilah mereka. Jangan mereka yang sudah susah hidupnya, kita timpakan lagi dengan berbagai macam kesulitan dan pemikiran yang mereka anggap baru dan mereka tidak pahami. Bisa jadi sebagian besar mereka memang tidak mau paham tentang ajaran agamanya, selain apa yang mereka telah terima secara turun temurun. Yang penting kamu yang masih muda-muda ini, hendaknya banyak belajar, berpikir, merenung dan gunakan akalmu sebaik-baiknya.
Saya juga tidak ridha jika apa yang saya sampaikan ini, kamu sampaikan kesembarang orang, baik berupa lisan ataupun tulisan. Kenalilah baik-baik orang yang ingin kamu sampaikan itu! Jika misalnya orang itu ternyata bersifat terbuka, lapang dada, tidak fanatik buta, dan nampaknya ia mau berusaha ingin mencari kebenaran, dan bukan mempertahankan pendapatnya yang sempit, maka bolehlah kamu sampaikan apa yang saya sampaikan ini. Atau kalau berupa tulisan, katakanlah kepadanya:
“Sebaiknya tulisan ini kamu baca pada saat-saat kamu dalam keadaan tanang, hening, segar, tidak dalam keadaan lelah, sakit atau sedang ada problem. Bacalah di malam hari, sementara orang-orang sedang tidur nyenyak. Singkirkan dahulu baju fanatik buta, merasa paling benar, menilai orang lain itu salah dan juga yang sangat penting senantiasalah berdoa kepada Allah; agar Dia senantiasa membimbing dan menuntun hamba-Nya yang berusaha sungguh-sungguh dan ikhlas menuju jalan lurus-Nya”.
Anak-anakku sekalian!
Kiranya sampai di sini dulu pertemuan kita kali ini. Dan waktu kita sudah lewat beberapa menit. Saya berharap, pembahasan ini dapat kamu jadikan sebagai jembatan kamu berpikir, dan janganlah berhenti di tengah-tengah jembatan. Tetapi hendaknya kamu teruskan pengkajian, perenungan, pencarian dan penelitian dengan cara banyak membaca, banyak bertanya, berdiskusi, berdialog dan jangan takut atau menyerah sebelum berjuang. Kebenaran itu bersifat terbuka dan bagi orang yang lapang dada. Orang yang benar dan jujur yang mempunyai argumen yang kokoh, tidak pernah mundur, tidak takut berdialog, tidak menghindar untuk berdiskusi dan tidak takut dikecam ataupun dijauhkan dan dikucilkan. Karena ruh dan hatinya selalu bersama Allah Swt. Hanya Allah lah yang menjadi tujuan hidupnya, tumpaun dan harapannya. Dan hanya kepada-Nya dia akan kembali dan akan menerima segala hasil jerih perjuangannya yang ia lakukan selama hayatnya di dunia fana ini.
Janganlah berjiwa atau berwatak seperti sebagian orang yang hanya mengaku bahwa kelompok merekalah yang benar, yang lain itu salah dan tersesat. Tetapi ketika diajak dialog atau diskusi terbuka, mereka mundur seribu langkah. Mereka seringkali mengadakan diskusi dan dialog tertutup yang dihadiri hanya oleh kelompok mereka untuk menghukum sesat kelompok Islam lainnya secara in absensia. Janganlah sekali-kali kalian bersifat seperti mereka. Takut dan mundur sebelum berdialog, berdiskusi dan berjuang, adalah kekalahan yang nyata, dan menunjukkan sempitnya argumen yang dimiliki. “Kebenaran hanyalah dari Allah, maka janganah kalian termasuk orang-orang yang ragu”[75].
Anak-anakku sekalian!
Akhirnya saya mohon maaf dan banyak mohon doa dari kalian. Sudah tentu apa yang saya sampaikan di atas masih banyak kekurangannya dan perlu dikoreksi. Dan saya sangat terbuka bahkan akan sangat berterimakasih jika di antara kalian ada yang bersedia dan mampu mengoreksi dan memperbaiki segala yang kurang atau janggal.
Sampai ketemu pada pelajaran yang sama pekan datang, Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.[]
[1] . Shahih Bukhari, bab Fadhlu Man Qama Ramadhan No. 2008 dan Shahih muslim jilid 2 hal 176 bab at-Targhib Fi Qiyami Ramadhan Wahuwa at-Tarawih, Terbitan Darul Jabal, Darul Afaq, Beirut.
[2] . Kedua hadits tersebut diriwatkan oleh Muslim.
[3] . Hadits ini diriwatkan oleh Ibnu Dawud.
[4] . Lihat al-Mughni Wa as-Syarah jilid 1 hal. 771, Darul Kitab al-Arabi. Terbitan offset : 1403/1983.
[5] . Lihat kitab al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahibul Khamsah 1/133 oleh Allamah Ustadz Muhamamd jawad Mugfhniyah.
[6] . Lihat al-Mughni 2/137 – 138.
[7] . Lihat kitab al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah 1/251, pada kitab as-Shalat, mabhats Shalatu at-Tarawih.
[8] . Lihat Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya Fathul Bari: 4/204, Syihabuddin al-Qasthalani di dalam Irsyadu as-Syari: 3/426 dan al-’Ayni: ‘Umdatul Qari: 11/126.
[9] . Lihat Mafatihul Jinan bab : A’mal al-Lailati at-Tasi’ ‘Asyar.
[10] . Lihat tafsir Al-Mizan jilid 20 hal. 461.
[11] . Lihat kitab al-Khishal 2/152 oleh Syaikh as-Shaduq.
[12] . Lihat kitab ‘Uyunu Akhbari al-Ridha hal. 266 oleh Syaikh as-Shaduq.
[13] . Lihat kitab at-Tahdzib oleh Syaikh at-Thusi pada jilid 3 hadits ke 227.
[14] . Lihat khutbah tersebut di dalam kitab al-Kafi 8/548 oleh al-Kulayni.
[15] . Lihat kitab as-Sara’ir 3/638 oleh Muhammad bin Idris.
[16] . Lihat kitab al-Faqih, kitab as-Shaum: 87 oleh as-Shaduq. Al-Kulayni juga di dalam kitabnya al-Kafi 4/154 menyinggung masalah tersebut.
[17] . Lihat Shahih al-Bukhari pada bab: Fadhlu man qama Ramadhana 3/58, pada bab at-tahajjud billaili 2/63. Shahih Muslim 6/41, dll.
[18] . Lihat kitab as-Syarhul Kabir ‘alal muqni 1/749 oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi.
[19] . Alih bahasa secara bebas.
[20] . Lihat QS an-Najm ayat 3-4.
[21] . Lihat QS al-Haqqah ayat: 44-46 : “Dan sekiranya beliau mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami (Allah Swt). Pasti Kami pegang tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya”.
[22] . Lihat Fathul bari 3/10 dan Irsyadu as-Sari 3/428.
[23] . Lihat QS at-Taubah: 38.
[24] . Lihat Fathul Bari 3/10.
[25] . Lihat al-Fiqhu ala al-Madzahibi al-Khamsah : 287.
[26] . Lihat Sunan an- Nasa’i 3/165 dan Sunan Ibnu Majah : 42.
[27] . lihat Irsyadu as-Sari 3/426 oleh al-Qasthalani.
[28] . Lihat Biharul Anwar 2: 262 dan Qishashul Anbiya’ : 46.
[29] . Lihat Tarikh al-Khulafa oleh as-Suyuthi hal. 51.
[30] . Lihat kitab al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil Bar.
[31] . Lihat kitab sejarah Raudhat al-Manadhir 2/122.
[32] . Lihat shaih al-Bukahri juz 1 pasal “shalat Tarawih”.
[33] . Lihat shahih Muslim juz 1 bab “Anjuran shalat malam bulan Ramadhan”.
[34] . Lihat kitab Irsyadu as-Sari fi Syarhi Shahih al-Bukhari 5/4 oleh al-Qasthalani.
[35] . Lihat QS. Yasin: 17, Al-Ankabut: 18, An-Nahl: 35 dan 82, Al-Maidah: 92, dll.
[36] . Mengenai kesempurnaan syariat lihat QS al-Maidah: 3.
[37] . Lihat QS al-Kahfi : 110.
[38] . Seperti hadits yang berbunyi : “Hendaklah kalian berpegang teguh kepada para Khalifah Rasyidin”, “Para sahabtku bagaikan bintang-bintang. Yang mana saja kamu ikuti, pasti kamu akan mendapat hidayah”, dan hadits-hadits lainnya yang semisal ini.
[39] . QS. Al-Ahzab: 33.
[40] . QS. Al-Maidah: 55.
[41] . QS. Al-Bayinah: 7.
[42] . QS. Ar-Ra’d : 7.
[43] . QS. Al-Baqarah: 207.
[44] . QS. Ali Imran : 61.
[45] . QS. As-Syura : 23.
[46] . QS. Al-Insan : 8.
[47] . Muntahal Amal 1/209.
[48] . QS. Al-Maidah : 3.
[49] . QS. Al-An’am ; 38.
[50] . QS. Al-Hasyr : 7.
[51] . QS. Al-Ahzab : 36.
[52] . QS. Al-Baqarah : 229.
[53] . QS. Al-Hadid : 27.
[54] . QS. Ali Imran : 32.
[55] . QS. Al-A’raf : 158.
[56] . QS. Yasin : 1-4.
[57] . QS. Al-An’am : 153.
[58] . QS. Al-Fatihah : 5 – 7.
[59] . Hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah di dalam shahihnya.
[60] . hadits riwayat An-Nasa’i dan ibnu majah di dalam shahihnya.
[61] . Hadits ini diriwatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
[62] . Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dll, dan Ibnu majah di dalam shahihnya. Dan hadits-hadits semacam ini sangat banyak sekali jumlahnya.
[63] . Al-Mushannif 5: 264, hadits 7742 dan 7743.
[64] . Al-Mushannif 5: 264, hadits 7743.
[65] . Tadzkiratul Fuqaha’ 2: 283, al-Mughni 1 : 835, As-Syarhul Kabir 1: 785 dan Al-Mabsuth 2: 144.
[66] . Al-Mabsuth oleh as-Sarkhasi 2 : 144.
[67] . At-Taghanni bil Quran ; 117.
[68] . Tarikh Madinah Dimasyq 51: 394.
[69] . Al-Intishar: 55, al-Majmu’ 4: 5, al-mughni 1 : 800, ‘Umdatul Qari 7: 178.
[70] . Al-Mu’tabar 2 : 37.
[71] . Al-Mudawwanatujl Kubra 1: 222, Al-Mughni ibnu Quddamah 2: 800, dll
[72] . Al-Intishar: 54.
[73] . QS. Al-Hadid: 27.
[74] . Al-I’Tisham 2: 291, Tafsir Qurthubi 17: 264, dll.
[75] . QS. Al-Baqarah : 147.
Shalat Tarawih dalam dialog
(Antara Murid dan Ustadz)
Perawi: Seperti biasanya, ustadz Muhammad -yang pernah belajar di luar negeri itu, dan kini aktif mengajar murid-murid di pesantren “Cahaya Iman” selama beberapa tahun- memasuki kelas tepat pada waktunya dan murid-murid pun sudah menanti kedatangannya sejak 10 menit yang lalu untuk menerima pelajaran fiqih darinya. Beliau mengajar beberapa materi penting, di antaranya: fiqih, akidah dan tafsir al-Qur’an.
Melihat ustadz Muhammad memasuki kelas, murid-murid pun segera berdiri tegak untuk menghormatinya. Dengan kompak dan rapih, mereka menjawab salam ustadz yang hangat. Setelah membacakan absen satu persatu, seperti kebiasaannya, beliau memulai pengajarannya dengan hamdalah, puja dan syukur kepada Allah Swt serta shalawat kepada baginda Rasulullah Saw dan seluruh keluarganya yang mulia dan disucikan oleh Allah Swt dari segala kenistaan. Kemudian ustadz Muhammad berkata: Anak-anakku sekalian, sebentar lagi kita dan seluruh kaum muslimin -yang bermadzhab apapun- akan memasuki bulan suci Ramadhan. Suatu bulan yang sangat mulia dan penuh berkah, karena pada bulan itu kaum muslimin diwajibkan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Bahkan amalan-amalan ibadah sunat, seperti shalat Tarawih atau shalat nafilatullail, membaca al-Qur’an, bersedekah, dan lain-lain, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw, di dalam “khutbah Sya’baniyah” nya yang terkenal, menilai bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan ampunan dan keberkahan. Bulan itu adalah bulan rahmat, karena seluruh amal perbuatan rutinitas manusia, seperti tidur dan bernafas mendapat ganjaran pahala ibadah, terlebih lagi amal ibadah itu sendiri.
Bulan itu adalah bulan ampunan dan pemberian maaf dari Allah Swt. Karena pada bulan itu, lautan kasih sayang Ilahi dan pemberian maaf-Nya melimpah ruah. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, sementra setan-setan dibelenggu dengan rantai. Setiap malam, sebagaimana tersebut di dalam riwayat, Allah mengampuni tujuh puluh ribu orang. Dan pada malam Qadar, Dia mengampuni sejumlah orang-orang yang diampuni selama satu bulan, kecuali orang-orang yang menyimpan kemarahan dan mengadakan permusuhan terhadap saudara-saudaranya seagama Islam (orang muslim). Dosa-dosa mereka itu tidak akan diampuni sebelum mereka berdamai.
Anak-anakku sekalian!
Bulan itu, adalah bulan penuh keberkahan. Karena pada bulan itu, berbagai macam kenikmatan, karunia, baik yang berupa maknawiyah maupun Ilahiyah diturunkan. Pada bulan itu, rahmat Ilahi turun dengan deras kepada hamba-Nya. Nikmat yang paling besar adalah turunnya al-Qur’an al-Karim yang merupakan hidangan langit yang paling besar. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat meneguk air jernih pengetahuan darinya, sempat merenung dan bertadabbur atasnya, mengambil permata-permata dari lautan ajarannya, kebun indah hikmahnya dan nasihat-nasihatnya yang semerbak.
Mari kita berdoa kepada Allah Swt; semoga pada bulan suci Ramadhan yang sudah di ambang pintu itu, kita semua diberikan taufiq oleh Allah Swt, sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar pada siang harinya, dan mengisi atau meramaikan malam-malamnya dengan tadarrus al-Qur’an, nafilatullail atau shalat Tarawih, berdiskusi atau menelaah ilmu-ilmu agama, dan lain sebagainya.
Zuhair (Ia tidak sabar dan memotong ucapan ustadz dengan mengacungkan tangannya. Setelah diizinkan ia angkat bicara):
Ustadz ! yang menjadi masalah dan merupakan problem yang hingga kini masih saja menjadi bahan perbincangan dan perdebatan antara sesama kaum muslimin itu sendiri adalah masalah shalat Tarawih. Sepengetahuan saya, bahwa shalat Tarawih itu hukumnya sunat, sebagaimana sunat-sunat lainnya, seperti shalat malam, shalat rawatib, dan lainnya, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu hukumnya wajib. Yang ingin saya tanyakan adalah: Apakah shalat Tarawih -yang hukumnya sunat itu- harus dilakukan secara berjama’ah? Artinya tidak sah jika dilakukan secara munfarid (sendirian)? Ataukah boleh saya melakukannya sendirian di rumah? Dan bagaimana dengan shalat-shalat sunat lainnya, seperti shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adh-ha, shalat-shalat rawatib (Qabliyah dan Ba’diyah), dll? Tolong Pak ustadz berikan jawaban dengan bahasa yang semudah mungkin, agar kami dapat memahaminya dengan baik dan benar. Karena saya ingin mengamalkan ajaran Islam dengan berdasar pengetahuan, tidak sekedar ikut-ikutan saja!
Ustadz : Pertanyaan yang bagus dan insya Allah bermanfaat. Zuhair dan anak-anakku semua! Perhatikanlah jawaban yang akan saya berikan ini dengan baik dan serius !
Sehubungan dengan amalan-amalan sunat pada bulan Ramadhan, apabila kamu sempat membuka kitab-kitab hadits, misalnya kitab hadits shahih al-Bukhari, shahih al-Muslim,[1] dll, maka di sana akan kamu temukan sebuah hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk melakukan amalan-amalan sunat pada bulan suci Ramadhan. Dengan kata lain terdapat hadits dimana Rasulullah Saw menganjurkan umatnya agar menghidupkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan sunat. Hadits itu berbunyi begini:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) atau barang siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ikhlas karena Allah, maka seluruh dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni”.
Ungkapan : من قام رمضان mungkin dapat diartikan dengan “Barangsiapa yang mengerjakan shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan Ramadhan”, dan bisa juga diartikan dengan “Barangsiapa yang menghidupkan dan mensyiarkan bulan suci Ramadhan”.
Menurut makna yang kedua, maka yang dapat dipahami dari riwayat atau hadits ini adalah, bahwa Rasulullah Saw memberikan perintah yang bersifat umum kepada seluruh umatnya. Perintah umum itu apa? Yaitu agar umatnya menghidupkan dan meramaikan atau mensyiarkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan ibadah yang dianjurkan oleh Allah Swt. Di dalam hadits ini beliau tidak menentukan atau membatasinya dengan amalan ibadah tertentu. Dengan demikian -berdasarkan hadits ini dengan makna yang kedua- kita boleh saja menghidupkan dan meramaikannya dengan shalat-shalat sunat, dengan membaca al-Qur’an, diskusi ilmiah, membaca kitab tafsir, fiqih, dan lain sebagainya. Asal bukan maksiat dan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Jadi, di dalam hadits di atas, sama sekali Rasulullah Saw tidak membatasinya dengan mengatakan : “Ramaikanlah bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih”. Tidak, tidak demikian.
Mengenai, apakah shalat Tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya itu harus dilakukan secara berjamaah, dan jika dilakukan tanpa berjamaah tidak sah? Jawabannya adalah: Yang masyhur menurut madzhab Ahli Sunah adalah, bahwa seluruh shalat-shalat sunat -tanpa kecuali dan termasuk shalat Tarawih- dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah. Tetapi ada sebagian shalat sunat yang lebih utama jika dilakukan secara munfarid atau infirad yaitu sendirian dan tanpa mengikuti imam jamaah.
Perlu kamu ketahui bahwa madzhab Ahli Sunnah itu mempunyai beberapa orang ulama fiqih. Di antaranya adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Mereka semua adalah para Imam fiqih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni). Walaupun demikian, di antara mereka terdapat ikhtilaf dan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fiqih. Dan hal ini merupakan soal yang biasa dalam masalah fiqih. Tetapi hendaknya kamu harus mengetahui dan memahaminya dengan baik, agar sesama Ahli Sunnah tidak berkelahi hanya gara-gara masalah fiqih yang tidak dipahaminya dengan benar. Dan dengan begitu musuh-musuh Islam akan merasa senang, bergembira dan bertepuk tangan. Untuk mengetahui ikhtilaf dan perbedaan pendapat atau pandangan di antara para Imam Sunni itu, tentang shalat-shalat sunat, perlu saya jelaskan agak rinci, perhatikanlah baik-baik!
Al-Malikiyah atau Imam Malik (gurunya Imam Syafi’i) mengatakan bahwa, shalat Tarawih itu mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat-shalat nawafil atau sunat yang lain, ada yang makruh hukumnya jika dilakukan secara berjamaah. Misalnya, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah di dalam masjid, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah jika jamaahnya banyak sekali. Makruh juga hukumnya melakukan shalat sunat di suatu tempat dimana banyak orang-orang yang berlalu lalang di tempat tersebut. Ada juga shalat-shalat sunat yang hukumnya ja’iz atau boleh dilakukan secara berjamaah. Yang ja’iz ini misalnya seperti: Jika jamaahnya sedikit, atau dilakukan di dalam rumah, atau di tempat yang bukan tempat berlalu lalangnya orang-orang. Ini pendapat Al-Malikiyah atau Imam Maliki.
Al-Hanafiyah atau Imam Hanafi mengatakan bahwa shalat Tarawih dan shalat jenazah itu hukumnya sunat kifayah jika dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat-shalat nawafil hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah. Shalat Witir juga hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah pada selain bulan suci Ramadhan. Kemakruhan tersebut apabila makmumnya lebih dari tiga orang. Artinya jika makmumnya hanya dua atau tiga orang saja, maka tidak dimakruhkan. Adapun pada bulan suci Ramadhan, tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir secara berjamaah. Artinya hukumnya ja’iz (boleh-boleh saja). Ada juga yang mengatakan bahwa menurut al-Hanafiyah, hukumnya sunat melakukan shalat Witir secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.
Lain lagi pendapat as-Syafi’iyah (Imam Syafi’I; muridnya Imam Maliki), beliau mengatakan bahwa, hukumnya sunat melakukan shalat ‘Idhul Fitri, ‘Idhul Adh-ha, Istisqa’, Kusuf (gerhana matahari), Tarawih dan Witir Ramadhan secara berjamaah. Tetapi ada juga yang menukil bahwa Imam Syafi’i pernah berkata bahwa: “shalat munfarid (sendirian) itu lebih aku sukai”.
Apabila kamu mengkaji fatwa-fatwa dan pandangan Imam Syafi’i, memang terdapat dan terjadi perubahan antara qaul qadim (pandangan lama) dengan qaul jadid (pandangan baru). Bahkan terkadang para ulama yang mengikuti dan membela pandangan beliau saling berbeda pendapat dalam menafsirkan fatwa-fatwa beliau.
Adapun pendapat al-Hanabilah (Imam Hambali; muridnya Imam Syafi’i), beliau mengatakan bahwa, Shalat-shalat sunat ada dua bagian; sebagiannya sunat dilakukan secara berjamaah, seperti shalat Istisqa’, Tarawih, ‘Idhul Fitri dan ‘Idhul Adh-ha. Dan sebagian lainnya mubah dilakukan secara berjamaah, seperti shalat Tahajjud dan shalat-shalat Rawatib fardhu.
Adalagi ulama Sunni lainnya yang bernama al-Maqdisi (Ibnu Quddamah al-Maqdisi), beliau menulis di dalam kitabnya as-Syarhil Kabir begini: Shalat-shalat sunat itu boleh dilakukan secara berjamaah dan boleh juga secara munfarid (sendirian). Karena Rasulullah Saw pernah melakukan kedua-duanya. Tetapi kebanyakan shalat-shalat sunat tersebut, beliau lakukan secara munfarid. Oleh karena itu mereka (para ulama) bersepakat bahwa shalat-shalat sunat itu lebih utama dilakukan di dalam rumah. Karena Rasulullah Saw telah bersabda:
“Hendaknya kalian melakukan shalat di dalam rumah kalian. Dan sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik itu, jika dilakukan di rumahnya, kecuali shalat Maktubah (shalat-shalat fardhu)”.
Di dalam hadits lainya Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat di masjidnya, maka hendaknya ia menyisakan sebagian shalatnya untuk dilakukan di rumahnya. Karena sesungguhnya Allah Swt menjadikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya tersebut.”[2]
Dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Shalat seseorang di dalam rumahnya itu lebih utama daripada shalatnya di dalam masjidku ini, kecuali shalat maktubah”.[3]
Alasan lainnya adalah karena shalat di dalam rumah itu lebih mendekati kepada keikhlasan dan lebih jauh dari sifat riya’, karena hal itu termasuk amal ibadah secara tersembunyi. Amal secara tersembunyi itu lebih baik daripada terang-terangan.[4]
Demikianlah pendapat, pandangan, dan hasil ijtihad para tokoh dan ulama fiqih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni).
Anak-anakku, untuk melengkapi pembahasan di atas, dengarkanlah baik-baik pandangan dan pendapat ulama Ahlulbait As atau ulama madzhab Syi’ah Imamiyah.
Sebagaimana madzhab Ahli Sunnah mempunyai beberapa atau banyak ulama fiqih dan juga ulama akidah, demikian juga halnya dengan madzhab Ahlulbait As (Syi’ah Imamiyah). Hanya saja dalam hal ini, dan banyak lagi dalam hal-hal lainnya, tidak terdapat perbedaan pandangan dan pendapat di antara mereka. Dengan kata lain bahwa para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait As bersepakat kata dalam memberikan keputusan hukum atas persoalan di atas. Jadi, bagaimanakah pandangan mereka itu? Mereka (para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait As) mengatakan bahwa sesungguhnya shalat-shalat fardhu yang lima itu dianjurkan dan disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah. Yakni hukumnya sunat muakakad (sangat ditekankan). Adapun shalat-shalat sunat, tidak disyariatkan dilakukan secara berjamaah. Artinya harus dilakukan secara munfarid (sendirian), kecuali shalat Istisqa’, ‘Idhul Fitri dan ‘Idhul Adh-ha. Jelasnya bahwa ketiga macam shalat sunat ini mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah ketika syarat-syaratnya masih kurang. Tetapi jika syarat-syaratnya sudah terpenuhi (di antaranya kehadiran Imam Zaman), maka ketiga macam shalat itu, hukumnya wajib dilakukan secara berjamaah. Jadi bukan lagi sunat atau mustahab.
Adapun menurut empat orang Imam madzhab Sunni (al-Madzahibul Arba’ah), berjamaah itu disyariatkan secara mutlak, baik dalam shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunat.[5]
Karim: Ustadz! Yang dapat saya pahami dari uraian di atas, sehubungan dengan shalat Tarawih adalah: Umat Islam boleh melakukannya secara munfarid atau sendirian di rumahnya masing-masing. Artinya hal itu dianggap sah. Bukankah begitu pak ustadz? Saya kira cukup jelas jawaban yang diberikan oleh Pak Ustadz. Tetapi ada hal yang menarik yang tadi Bapak singgung, yaitu pandangan madzhab Ahlul bait mengenai tidak disyariatkannya shalat Tarawih jika dilakukan secara berjamaah, dan para ulama mereka bersepakat kata dalam hal ini. Yang ingin saya tanyakan adalah, mengapa pandangan Imam dan ulama madzhab Ahlul bait ini berbeda sendiri dalam masalah ini? Apa sebenarnya yang melandasi pemikiran dan pandangan mereka itu?
Tetapi, kalau bisa, sebelum Pak ustadz memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, saya pikir, alangkah baiknya, jika pak ustadz menerangkan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebenarnya. Sebab, sudah bukan merupakan rahasia lagi, bahwa kaum muslimin berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat shalat Tarawih ini. Misalnya di sebagian tempat atau masjid, shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat. Sementara di masjid atau tempat lainnya hanya 8 rakaat. Padahal kan mereka itu semua adalah bermadzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni)?
Bahkan seringkali melalui mimbar-mimbar ceramah, masing-masing penceramah saling menjatuhkan dan meremehkan pandangan lainnya. Sehingga hal semacam ini malah menambah renggang hubungan antara kaum muslimin. Yah, sangat disayangkan, hal ini seakan-akan sudah melekat di masyarakat muslim kita. Hampir tidak pernah saya dengar pembahasan ilmiah sebagaimana yang pak ustadz uraikan di atas tadi. Di samping itu, saya juga ingin tahu, apakah madzhab Ahlul bait memiliki jumlah rakaat tersendiri dalam shalat Tarawih ini? Dan juga ustadz, bagaimana mereka melakukan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan?
Ustadz : Baiklah, memenuhi permintaan Karim, saya akan jelaskan pandangan fuqaha’ Ahli Sunnah dan juga fuqaha Syi’ah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih ini.
Ya, memang betul, sebagaimana yang kamu singgung bahwa para ulama Sunni berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah rakaat shalat Tarawih. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki dalil yang sharih dan jelas dari Rasulullah Saw, baik melalui dalil ucapan, perbuatan, ataupun taqrir beliau Saw.
Jelas, bahwa terdapatnya ikhitilap di antara para ulama Sunni yang tidak mungkin bisa disatukan itu menunjukkan tidak adanya dalil yang sharih (jelas dan terang) dari Rasulullah Saw.
Misalnya di dalam salah satu kitab fiqih Sunni yang bernama al-Mughni, di situ seorang ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi mengatakan bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat. Hal ini sama dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.[6]
Jelas, bahwa pandangan mereka itu tidak mewakili pandangan Rasulullah Saw dan tidak juga bersumber dari beliau. Tetapi yang jelas adalah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat, itu bersandar atau bersumber dari perbuatan dan ketetapan Umar bin Khattab. Sementara pendapat yang mengatakan 36 rakaat, bersumber dan bersandar kepada perbuatan Umar bin Abdul Aziz. Jika kamu ingin mengetahuinya lebih detail lagi, maka kamu dapat merujuk sebuah kitab fiqih Ahli Sunnah yang bernama “Al-Fiqihu ‘Alal Madzahibil Arba’ah” yang ditulis oleh Abdul Rahman al-Jazairi. Di antara tulisan al-Jazairi di dalam kitabnya tersebut yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini dan dengan bahasa yang mudah, begini: “Syaikhân, dua orang Syaikh yaitu al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Lalu beliau Saw shalat di dalam masjid. Dan orang-orang pun ikut melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah-rumah mereka…” Kemudian al-Jazairi menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih secara berjamaah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (setelah wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Dan setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana disinggung di dalam riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi Saw. Ya, betul memang, jumlah rakaat tersebut ditambah lagi pada masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz sehingga jumlahnya menjadi 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut adalah untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Dengan itu, beliau (Umar bin Abdul Aziz) memandang perlu menambahkannya dalam setiap thawaf sebanyak 4 rakaat”. Itulah apa yang ditulis oleh al-Jazairi di dalam kitabnya al-Fiqihu ‘Alal Madzahibil Arba’ah.[7]
Sekarang, mari kita coba berhitung ! Dikatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz menambah jumlah rakaat tersebut menjadi 36 rakaat, yakni tadinya 20 rakaat, kemudian ditambah 16 rakaat menjadi 36 rakaat. Kenapa ditambah? Karena orang-orang Makkah setiap mendapatkan 4 rakaat, melakukan thawaf satu kali. Lho kalau memang setiap selesai 4 rakaat mereka melakukan thawaf satu kali, jadi jumlah rakaatnya bukan 36 rakaat dong, melainkan yang betul adalah menjadi 40 rakaat. Karena jika mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat dan setiap 4 rakaat satu kali thawaf, kan jumlah thawafnya menjadi 5 kali, betul ngga? Jika setiap satu kali thawaf diganti 4 rakaat, kan menjadi 20 rakaat. Dengan demikian 20 rakaat ditambah 20 rakaat lagi sebagai ganti thawaf, maka menjadi 40 rakaat, bukan 36 rakaat.
Di dalam madzhab Ahli Sunnah, kitab al-Bukhari adalah kitab hadits yang paling shahih dan kedudukannya nomor dua setelah al-Qur’an. Kitab ini banyak yang mensyarahinya. Apabila kamu membuka-buka kitab-kitab syarahnya dan berusaha mengetahui jumlah rakaat shalat Tarawih menurut para ulama pensyarah tersebut, maka akan kamu dapati bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, ada yang bilang 20 rakaat, ada yang berpendapat 24 rakaat, ada yang mengatakan 28 rakaat, ada lagi yang berpendapat 36 rakaat, ada juga yang mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan begitulah seterusnya [8].
Nah itulah, pandangan ulama Ahli Sunnah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih. Anehnya lagi bahwa Umar bin Abdul Aziz ikut campur dalam menentukan urusan syariat ini. Untuk menyamakan keutamaan dan pahala penduduk Madinah dengan penduduk Makkah, dia memasukkan apa yang bukan bagian darinya dengan pendapatnya sendiri. Jika hal semacam ini dibiarkan, maka nantinya syariat Islam akan menjadi permainan para penguasa dengan menambah, mengurangi atau merubah syariat sesuai dengan pendapat mereka sendiri.
Kemudian, mengenai shalat Tarawih (qiyamullail fi Ramadhan) di dalam madzhab Ahlulbait As, memang berbeda dengan madzhab Sunni, baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya.
Yang jelas, para Imam dan ulama mereka tidak berikhtilaf dan tidak berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut, tidak seperti para Imam dan ulama Sunni. Apabila kamu mencoba merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau kitab-kitab tuntunan ibadah bulan suci Ramadhan, maka akan kamu temukan bahwa para Imam maksum As dan para ulama Ahlulbait As melakukan shalat atau qiyamullail pada bulan suci Ramadhan sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh.
Mulai malam pertama sampai pada malam kedua puluh, mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat. Jadi selama 20 malam itu berjumlah 400 rakaat. Kemudian pada sisa-sisa malam selanjutnya, yaitu mulai malam 21 sampai malam terakhir, mereka melakukannya 30 rakaat. Jadi selama 10 malam berjumlah 300 rakaat. Sedang pada tiga malam ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahnya 100 rakaat. Jadi tambahannya pada tiga malam itu sebanyak 300 rakaat. Dengan demikian 400 + 300 + 300 = 1000 rakaat. Tentu saja hal ini bagi yang mampu melakukannya dan tidak mengganggu pekerjaan lainnya yang lebih utama dan lebih penting. Pekerjaan yang jauh lebih utama dan lebih penting adalah mudzakarah atau diskusi tentang ilmu-ilmu agama, seperti akidah, tafsir, fiqih, dan lain sebagainya. Ketika seorang ulama ditanya mengenai amalan atau pekerjaan apakah yang paling utama untuk dilakukan pada malam-malam Qadar? Dia menjawab: “Mudzakarah ilmu”. Jawaban ulama ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Syaikh Abbas al-Qummi di dalam kitabnya “Mafâtihul Jinan”.[9]
Kitaf tafsir “Al-Mizan” yang ditulis oleh ‘Allamah Muhammad Husain At-Thabathaba’i, merupakan kitab tafsir yang terbaik pada masa sekarang ini. Jika kamu membuka jilid terakhir, yaitu jilid ke 20, kamu baca bahwa beliau merampungkan tulisannya itu bertepatan pada malam Qadar.[10] Artinya, malam-malam Ramadhan itu beliau isi dengan menulis kitab tafsir tersbut.
Sehubungan dengan shalat 1000 rakaat, di dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin As biasa melakukan shalat malam sebanyak 1000 rakaat, dan ini pada selain bulan suci Ramadhan. Beliau As mengikuti jejak kakeknya, yaitu Imam Ali As dan Rasulullah Saw.
Mengenai berjamaah dalam shalat Tarawih atau qiyamullail di dalam madzhab Ahlulbait As, saya ulangi lagi bahwa sebenarnya para Imam maksum As dan para ulama Ahlulbait As bersepakat mengatakan bahwa ajaran Ahlulbait As tidak men-syariatkan dan tidak membenarkan jika shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan suci Ramadhan itu dilakukan secara berjamaah. Dengan kata lain yang lebih jelas, bahwa menurut mereka, hukumnya bid’ah melakukan shalat-shalat sunat secara berjamaah pada malam-malam Ramadhan. Landasan mereka adalah perbuatan dan tuntunan Rasulullah Saw dan tauladan para Imam maksum As. Mereka berpandangan bahwa Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah melakukan shalat Tarawih atau qiyamullail secara berjamaah. Dan shalat Tarawih berjamaah itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab, atas perintahnya dan dengan pendapatnya sendiri. Padahal, pada masa-masa khalifah sebelumnya pun, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, kaum muslimin tidak ada yang melakukan shalat Tarawih ini secara berjamaah.
Jadi, kesimpulannya menurut madzhab Ahlulbait As, hukumnya tidak boleh dan bid’ah melakukan shalat-shalat nawafil atau shalat sunat secara berjamaah, termasuk di dalamnya shalat Tarawih, kecuali beberapa shalat sunat yang memiliki dalil khusus dan pada kondisi tertentu, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Imam Muhammad al-Baqir As, yaitu Imam maksum yang kelima dalam madzhab Jakfari pernah berkata:
“Tidak boleh melakukan shalat Tathawwu’ (shalat-shalat sunat) secara berjamaah (karena itu bid’ah). Dan setiap bid’ah itu dhalalah. Dan setiap dhalalah itu di neraka”.[11]
Imam Ali al-Ridha As, yaitu Imam maksum yang kedelapan pernah berkata dalam suratnya yang ia tujukan kepada Makmun: “Dan tidak boleh shalat Tathawwu’ itu dilakukan secara berjamaah, karena hal itu adalah bid’ah”.[12]
Kedua riwayat tersebut berbicara mengenai shalat-shalat sunat secara umum yang tidak boleh dilakukan secara berjamaah. Dan termasuk di dalamnya adalah shalat Tarawih. Adapun mengenai larangan melakukan shalat Tarawih dengan berjamaah secara khusus, terdapat di dalam riwayat-riwayat lainnya yang disampaikan oleh para Imam maksum madzhab Ahlulbait As.
Irfan: Saya kira sudah cukup jelas apa yang ustadz sampaikan. Tetapi ustadz, saya pernah mendengar bahwa Sayyidina Ali -Karramallahu Wajhahu- secara terang-terangan menyuruh puteranya al-Hasan agar menyuruh kaum muslimin pada masa khilafahnya untuk melakukan shalat Tarawih secara berjamaah. Nah, ini bagaimana ustadz? Apakah riwayat itu bisa dibenarkan? Apa maksud beliau menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah?
Di sini, nampaknya ada kontradiksi antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. Kontradiksi lainnya adalah: dari satu sisi Sayyidina Ali itu melakukan shalat-shalat sunat dan qiyamullail pada malam-malam bulan Ramadhan secara sendirian, artinya tidak berjamaah. Tetapi dari sisi lain, beliau menyuruh kaum muslimin untuk melakukannya secara berjamaah di masjid? Tolong ustadz jelaskan segamblang mungkin agar kami dapat memahaminya !
Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus dan memang cukup menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik dan benar. Bahkan ini penting untuk diketahui, baik oleh para pengikut madzhab Ahlulbait As, maupun kaum muslimin secara umum. Baiklah ! Sebenarnya riwayat yang berisikan perintah Imam Ali As yang kamu sebutkan itu, memang terdapat di dalam salah satu kitab ulama Ahlulbait As.[13] Riwayat itu disampaikan oleh Imam Ja’far as-Shadiq As, yaitu Imam maksum yang keenam. Beliau adalah gurunya Imam Hanafi dan Imam Maliki serta 4000 ulama lainnya. Imam Hanafi dan Maliki sangat menghormati dan banyak memuji beliau As. Riwayat itu, jika saya sampaikan dengan gaya bahasa saya, begini isinya -agar lebih mudah dipahami-: Imam Ja’far as-Shadiq As pernah berkata:
“Ketika Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib As datang di kota Kufah, beliau menyuruh puteranya yang bernama al-Hasan As agar memberitahukan kepada kaum muslimin “Hendaknya mereka tidak melakukan shalat-shalat sunat pada bulan suci Ramadhan secara berjamaah di masjid”. Nah ketika perintah itu disampaikan oleh al-Hasan As kepada kaum muslimin, mereka banyak yang tidak menerima dan memprotes. Mereka menduga bahwa perintah itu sebagai kebijakan yang baru dari Imam Ali As. Karena tradisi shalat Tarawih secara berjamaah yang merupakan sunnah Umar, sudah begitu mendarah daging di kalangan mereka. Karenanya, ketika mendengar larangan itu mereka berteriak: “Waa Umaraah…Waa Umaraah…!!” Artinya: Kasihan sekali si Umar…kasihan sekali si Umar..!! Mendengar teriakan mereka seperti itu al-Hasan As pun kembali ke rumah. Setibanya di rumah, Imam Ali As bertanya kepadanya: “Teriakan apakah itu?”. Al-Hasan As menjawab: “Wahai Amirul mukminin, ketika perintah Antum saya sampaikan, mereka berteriak “Waa Umaraah, waa Umaraah..!!”. Melihat kondisi kaum muslimin masih seperti itu, kemudian Imam Ali As berkata kepada puteranya tersebut: “Qul Lahum: Shallu !”. Artinya: “Katakan kepada mereka: Lakukanlah shalat !”.
Sudah jelas, bahwa perintah Imam Ali As kepada mereka dengan ucapan “Shallu” itu, bukan berarti bahwa beliau merestui dan memerintahkan mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sebagaimana yang selama ini mereka lakukan pada masa khalifah Umar dan Usman. Karena beliau As, baik sebelum itu maupun setelahnya dan selama hayatnya, tidak pernah melakukannya secara berjamaah. Bahkan -sama sekali- tidak ada murid-murid dan para pengikut setia beliau yang melakukannya secara berjamaah. Hal ini berarti bahwa beliau tetap mengingkari shalat Tarawih yang dilakukan secara berjamaah. Lalu mengapa beliau mengeluarkan perintah seperti itu? Sudah jelas, bahwa beliau merasa terpaksa untuk mengeluarkan perintah semacam itu dan dengan perasaan kesal dan tidak rela. Mengapa beliau terpaksa mengeluarkan perintah seperti itu? Apabila kamu memahami kondisi kaum muslimin pada saat beliau menduduki kursi khilafah, maka kamu akan dengan mudah dapat memahami mengapa beliau mengeluarkan ucapan dan perintah seperti itu. Dan sebenarnya saja, beliau -dengan ucapannya itu- tidak mengingkari keaslian dianjurkannya melakukan shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan suci Ramadhan. Yang beliau ingkari adalah dilakukannya secara berjamaah, baik di masjid atau di tempat-tempat lainnya.
Ada sebuah khutbah yang pernah disampaikan oleh Imam Ali As yang diriwayatkan oleh Sulaim bin Qais. Dengan membaca dan memahami kandungan khutbah[14] ini, kita dapat mengetahui kondisi umat Islam pada saat itu dengan lebih jelas lagi. Dan melalui khutbah ini pula, kita dapat memahami lebih jelas lagi mengapa Imam Ali As mengeluarkan perintah seperti itu.
Di dalam khutbahnya itu, Imam Ali As menyampaikan puja dan puji kepada Allah Swt, shalawat kepada Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci. Kemudian beliau menjelaskan tentang bahaya mengikuti hawa nafsu dan banyak berangan-angan. Pada bagian lain dari khutbahnya beliau menjelaskan berbagai peristiwa dan ritual-ritual keagamaan yang terjadi setelah wafat Rasulullah Saw yang dibuat-buat. Setelah itu beliau berkata dalam khutbahnya, yang kandungannya begini:
“Apabila aku larang mereka (dalam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah), maka banyak bala tentaraku dan pengikutku yang akan bercerai berai dan meninggalkanku. Demi Allah, aku telah menyuruh mereka agar tidak melakukan jamaah pada bulan suci Ramadhan kecuali dalam shalat-shalat fardhu. Aku juga telah sampaikan kepada mereka bahwa berjamaah dalam shalat-shalat nawafil itu bid’ah. Tetapi sebagian dari bala tentaraku yang ikut berperang bersamaku berteriak: “Wahai kaum muslimin, “Sunnah Umar” telah dirubah. Kita dilarang shalat sunat pada bulan Ramadhan”.
Sebagaimana kamu ketahui bahwa Imam Ali As menduduki kursi khilafah itu, karena permintaan dan desakan kaum muslimin setelah terbunuh Usman dengan cara yang mengenaskan. Ketika itu Imam Ali As menghadapi berbagai fenomena yang terjadi setelah wafat Rasulullah Saw. Ketika berkuasa, beliau ingin mengembalikan kaum muslimin kepada masa Rasulullah Saw dalam berbagai bidang, termasuk dalam tata cara menghidupkan dan meramaikan malam-malam bulan suci Ramadhan. Tetapi beliau mendapatkan rintangan yang sangat berat, sehingga beliau terpaksa membiarkan sebagian dari ritual yang dilakukan tidak sesuai dengan perintah Rasulullah Saw itu. Hal itu karena beliau As memperhatikan hal-hal yang lebih penting, misalnya masalah persatuan umat. Karena musuh-musuh Islam dan kaum muslimin -yang setiap saat mengintai- akan dengan mudah menyerbu dan menghabiskan mereka ketika mereka berselisih di dalam tubuh Islam. Oleh karena itu, beliau As menyuruh puteranya al-Hasan As agar membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu, agar persatuan umat Islam -pada kondisi yang sangat memprihatinkan itu- tetap terjaga.
Perlu saya tambahkan bahwa Abu al-Qasim Ibnu Qaulawaih (wafat th 369 H), salah seorang perawi Syi’ah, meriwayatkan sebuah hadits dari Imam al-Baqir dan Imam as-Shadiq As, bahwa kedua Imam maksum tersebut bersabda:
“Ketika Amirul mukmini Ali As tinggal di kota Kufah, masyarakat mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Angkatlah seorang imam shalat buat kami untuk menjadi imam pada bulan suci Ramadhan!”. Beliau As menjawab: “Tidak”. Dan beliau As melarang mereka untuk melakukan jamaah pada bulan suci tersebut. Lalu mereka memprotes dan berkata: “(Wahai muslimin!), tangisilah Ramadhan..! Waa Ramadhaanaah….! (Betapa malangnya bulan Ramadhan…!)”. Al-Haris al-A’war segera mendatangi beliau bersama orang-orang dan ia berkata: “Wahai Amirul mukminin, kaum muslimin menjadi ribut, mereka memprotes ucapanmu!”. Ketika itu beliau As berkata: “Biarkanlah apa yang mereka inginkan. Biarkan seorang imam yang mereka pilih shalat bersama mereka!”.[15]
Dari riwayat di atas menjadi jelas bagi kita bagaimana sebenarnya sikap para Imam suci Ahlulbait As terhadap shalat-shalat sunat yang dilakukan secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.
Perawi: Rahman yang sejak awal asyik mendengarkan penjelasan pak ustadz, kini tiba-tiba suaranya memecahkan keheningan dan kekhusyuan rekan-rekannya. Sedari tadi, ia merasa bahwa pak ustadz hanya menyuguhkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat Ahlulbait As melulu. Hatinya berontak dan ingin angkat bicara.
Rahman : Maaf pak ustadz, hadits-hadits atau riwayat yang Bapak sampaikan barusan adalah ucapan para Imam Ahlulbait As. Bapak belum menyampaikan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah Saw yang menyinggung ketidak bolehan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah, baik hadits yang keluar dari lisan suci beliau secara langsung, ataupun yang berupa ketetapan atau perbuatan beliau Saw.
Jadi, untuk memperjelas masalah di atas, alangkah baiknya jika Pak ustadz juga menyinggung hadits-hadits Rasulullah Saw mengenai larangan berjamaah dalam shalat-shalat sunat atau Tarawih, baik hadits-hadits itu datangnya dari kitab-kitab Sunni maupun dari kitab-kitab Syi’ah. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya Rasulullah Saw sendiri melakukan shalat Tarawih atau shalat nawafil pada bulan suci Ramadhan, baik menurut madzhab Sunni maupun Syi’ah?
Ustadz: Begini Rahman, hadits-hadits atau riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para Imam Ahlulbait As -sehubungan dengan masalah ini- memang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para perawi Ahli Sunnah. Hadits-hadits yang bersumber dari kitab-kitab Syi’ah memang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa Rasulullah Saw melarang shalat-shalat nawafil itu dilakukan secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan. Jika kamu membaca hadits-hadits mereka tentang masalah itu, kamu dapat menyimpulkan bahwa pada sebagian malam di bulan suci Ramadhan, Rasulullah Saw keluar ke masjid dan melakukan shalat nafilah sendirian. Kemudian kaum muslimin mengikutinya di belakang beliau. Tetapi kemudian beliau melarang mereka. Ketika mereka memaksa beliau terus untuk menjadi imam shalat, akhirnya beliau tidak lagi melakukannya di masjid. Kemudian beliau melakukannya di rumah.
Beberapa orang perawi hadits Syi’ah, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim dan Fudhail pernah bertanya kepada Imam Abu Ja’far al-Baqir As dan Imam Abu Abdillah as-Shadiq As mengenai shalat nafilah lail secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan. Kedua Imam maksum itu menjawab: “Sesungguhnya Nabi Saw apabila usai melakukan shalat (di masjid) pada akhir isya’ (menjelang tengah malam), pulang ke rumahnya. Kemudian beliau keluar lagi ke masjid pada akhir malam untuk melakukan shalat sunat. Pada malam pertama bulan suci Ramadhan, beliau Saw pernah keluar (ke masjid) untuk melakukan shalat sunat seperti yang biasa beliau lakukan sebelumnya. Ketika itu kaum muslimin berdiri berbaris di belakang beliau (menjadi makmum). Mengetahui hal itu, beliau keluar meninggalkan mereka dan melanjutkan shalatnya di rumah beliau. Hal semacam itu (menjadi makmum) mereka lakukan selama tiga malam. Pada malam keempat beliau Saw naik ke mimbar. Setelah memuji Allah Swt beliau Saw berkata: “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya shalat sunat pada malam Ramadhan, jika dilakukan secara berjamaah adalah bid’ah, shalat Dhuha juga bid’ah. Janganlah kalian melakukan shalat nafilah secara berjamaah pada malam bulan Ramadhan, jangan pula kalian melakukan shalat Dhuha. Karena hal itu merupakan maksiat. Ketahuilah sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat. Dan setiap kesesatan jalannya ke neraka”.
Kemudian beliau Saw turun dari mimbarnya dan berkata: “Perbuatan yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah, lebih baik dari perbuatan banyak dalam ke-bid’ah-an”.[16]
Hadits-hadits yang senada dengan itu, juga diriwayatkan oleh para perawi Syi’ah lainnya di dalam kitab-kitab Syi’ah. Di dalam hadits-hadits tersebut dengan jelas dan tegas Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk melakukan shalat nafilah Ramadhan atau Tarawih secara berjamaah. Dan larangan itu beliau sampaikan pada malam keempatnya.
Beberapa kitab hadits Sunni pun[17] mencatat berbagai riwayat mengenai shalat nafilah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw pada sebagian malam-malam bulan Ramadhan. Dan silsilah hadits-hadits Sunni tersebut kebanyakan berujung kepada A’isyah ummul mukminin. Informasi yang disampaikan oleh A’isyah di dalam beberapa hadits itu begini, bahwa pada suatu tengah malam Rasulullah Saw keluar untuk melakukan shalat sunat di masjid. Kemudian orang-orang ikut shalat di belakang beliau. Pada pagi harinya mereka bercerita, sehingga pada malam kedua jamaah bertambah banyak. Pada malam ketiga lebih banyak lagi dan pada malam keempat masjid tidak bisa menampung jamaah lagi karena saking banyaknya. Tetapi pada malam keempat ini, beliau Saw tidak lagi datang ke masjid, kecuali untuk melakukan shalat subuh. Setelah shalat subuh beliau berpidato, di antaranya beliau berkata:
“Aku tahu kondisi kalian tadi malam. Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya
“(ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها)
Kemudian sampai Rasulullah Saw wafat, shalat-shalat sunat tersebut tetap tidak dilakukan secara berjamaah.
Apabila hadits-hadits di atas dan yang lainnya kamu perhatikan dengan baik, maka dapat kamu pahami bahwa di antara perbedaan antara hadits-hadits Syi’ah dengan hadits-hadits Sunni adalah, bahwa di dalam hadits-hadits Syi’ah dengan tegas Rasulullah Saw melarang shalat nafilah itu dilakukan secara berjamaah, bahkan beliau menilainya sebagai bid’ah. Tetapi di dalam hadits-hadits Sunni, beliau tidak mau melakukannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan menjadi wajib bagi umatnya yang lemah, dan nantinya mereka tidak mampu untuk melakukannya.
Dan yang cukup menarik adalah jika kamu baca hadits lainnya di dalam kitab Sunni[18], yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit. Di dalam hadits tersebut Zaid bercerita bahwa ketika Rasulullah Saw tidak lagi datang ke masjid, jamaah shalat itu berteriak-teriak dan melempar pintu rumah Rasulullah Saw dengan kerikil. Barangkali maksud mereka ingin membangunkan beliau, karena mereka menduga, barangkali beliau ketiduran atau lupa. Mengetahui mereka berbuat biadab seperti itu, beliau Saw keluar dengan sangat marah dan berkata kepada mereka: “Masih saja kalian ingin melakukan shalat nafilah berjamaah, sehingga aku menduga nantinya akan diwajibkan kepada kalian. Lakukanlah shalat nafilah itu di rumah-rumah kalian. Karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah jika dilakukan di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu”.[19]
Di dalam riwayat ini dengan jelas dan tegas, Rasulullah Saw menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih atau nafilah itu di dalam rumah-rumah mereka, tentunya tanpa berjamaah.
Rahman: Terimakasih banyak Pak ustadz atas penjelasanya. Tetapi Pak ustadz, masih ada satu atau dua hal yang masih belum dapat saya mengerti. Dan saya berharap, Pak ustadz masih bersedia menjelaskannya kepada kami. Yang pertama, tadi Pak ustadz menukil, baik dari hadits-hadits Sunni maupun Syi’ah, bahwa Rasulullah Saw keluar ke masjid beberapa malam untuk melakukan shalat nafilah. Kemudian orang-orang bermakmum di belakang beliau. Pertanyaannya ustadz, mengapa ketika itu Rasulullah Saw tidak langsung melarang mereka dan menyuruh mereka agar shalat sendiri-sendiri saja. Mengapa larangan itu baru beliau keluarkan pada malam yang keempat?
Kemudian yang kedua, tolong Pak ustadz perjelas ucapan beliau :
ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها
(Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya). Apakah ucapan semacam ini memang betul-betul keluar dari lisan suci beliau Saw? Karena nyatanya, kalau hanya shalat Tarawih 20 rakaat saja, jangankan anak-anak muda, bahkan banyak orang-orang tua kita yang sudah lanjut usianya, masih mampu melakukannya? Jadi mengapa beliau beralasan dengan kekhawatiran semacam itu? Kalau begitu, kenapa ibadah-ibadah yang jelas-jelas berat bagi kita, seperti : pergi haji, thawaf 7 kali dengan berdesak-desakan, melontar Jumrah yang betul-betul memayahkan, bahkan sampai ada korban, puasa di musim panas bagi yang mempunyai musim panas, dan lain-lain, tidak dihapus saja? Atau yang tadinya wajib, disunatkan saja?
Ustadz: Pertanyaanmu cukup bagus dan kritis! Perhatikanlah jawabannya baik-baik! Sehubungan dengan shalat nafilah Rasulullah Saw di dalam masjid beliau, yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin ketika itu, yang perlu kamu ketahui adalah: pertama, dengan jelas dan tegas adanya larangan dari beliau Saw dalam melakukan shalat nafilah secara berjamaah. Bahkan para Imam dan ulama Sunni pun mengakui larangan beliau ini. Nyatanya pada masa khilafah Abu Bakar, sama sekali tidak ada shalat Tarawih secara berjamaah. Ini perlu kamu pahami baik-baik!
Yang kedua adalah, bahwa segala apapun yang beliau ucapkan, atau yang beliau lakukan, itu tidak keluar dari apa yang diwahyukan Allah Swt. Artinya beliau tidak mengada-adakannya sendiri. Beliau tidak mengeluarkan pendapatnya sendiri. Dengan kata lain beliau tidak melakukan ijtihad dengan pendapatnya sendiri.
Allah Swt berfirman:
وماينطق عن الهوی. إن هو إلا وحي يوحی.
Artinya: “Dan beliau tidak pernah mengucapkan sesuatu pun berdasarkan keinginan dan pendapatnya sendiri. Apa yang disampaikannya hanyalah merupakan wahyu murni dari Allah kepadanya”.[20]
Bahkan di dalam ayat-ayat yang lain dengan tegas Allah Swt mengancam Rasul-Nya jika beliau ikut campur dengan pendapatnya sendiri.[21]
Dengan demikian apa saja yang beliau ucapkan atau lakukan, baik berupa perintah ataupun larangan, termasuk pada kasus shalat nafilah tersebut, merupakan wahyu dari Allah Swt.
Yang ketiga, yang juga perlu kamu pahami adalah, bahwa taklif dan tugas umat Islam hanyalah mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya, yaitu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhkan segala bentuk larangan-Nya. Dan sama sekali kita tidak dituntut atau diwajibkan untuk menggali dan memahami hikmah atau falsafah perintah atau laranga-Nya tersebut. Apalagi jika kita tidak memiliki alat-alatnya yang lengkap. Tugas utama kita adalah melakukan segala perintah-Nya dan meninggalkan atau menjauhkan segala larangan-Nya. Tentu setelah memahaminya dengan baik dan benar.
Ketika kamu haus -misalnya- atau ingin mandi atau ingin membersihkan pakaian, kamu tinggal menggunakan air yang ada di sumur atau yang mengalir di sungai dekat rumahmu itu. Kamu tidak dituntut untuk mengetahui bagaimana proses muncul dan timbulnya air tersebut. Dengan kata lain, kamu tidak diwajibkan untuk mengetahui bagaimana munculnya air sumur, bagaimana datangnya air dari gunung, bagaimana gunung itu menyimpan air, bagaimana proses terjadinya hujan, dll? Kamu tidak dituntut untuk memahami itu semua. Kamu hanya dituntut bagaimana caranya mandi, bagaimana caranya mensucikan najis, dll. Apabila kamu merasa haus dan kamu tidak mau minum sebelum memahami proses munculnya air tersebut, maka kamu akan mati kehausan. Dan ketika itu, tidak seorang pun yang akan membelamu. Pasti semua orang akan menyalahkanmu; kenapa tidak langsung minum.
Lain halnya jika kamu punya waktu yang luas dan memiliki seperangkat alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana proses terjadinya air hujan, atau bagaimana munculnya air sumur dan bagaimana mengalirnya air sungai dari gunung. Maka ketika itu, kamu boleh-boleh saja mengkaji dan memahaminya. Dengan ungkapan lain, jika kita memiliki waktu yang banyak dan juga telah memiliki berbagai ilmu alat, seperti ilmu mantiq, maka tidak ada salahnya, atau bahkan malah dianjurkan, kalau kita mengkaji dan memahami hikmah dan falsafah adanya suatu hukum, baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan atau ketetapan Syariat.
Nah, kalau mukaddimah ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka ketahuilah bahwa pertanyaanmu tadi, (yaitu: mengapa ketika itu Rasulullah Saw tidak langsung melarang mereka dan menyuruh mereka agar shalat sendiri-sendiri saja. Mengapa larangan itu baru beliau keluarkan pada malam yang keempat?) berhubungan erat dengan hikmah dan falsafah hukum suatu perintah atau larangan!
Mengenai hikmah atau falsafah hukum-hukum Islam, tidak banyak yang disinggung oleh al-Qur’an atau hadits-hadits. Al-Qur’an dan hadits-hadits, memang terkadang menjelaskan tentang hikmah, falsafah atau rahasia suatu hukum, tetapi tidak banyak. Karenanya, masalah hikmah dan falsafah hukum itu, kebanyakan diserahkan kepada para ulama dan ilmuan yang telah memiliki berbagai sarana dan pengetahuan yang cukup. Dan tentunya, kamu pun boleh mencari-cari dan menggali hikmah atau falsafah suatu hukum, jika telah memiliki berbagai cabang pengetahuan yang memadai.
Jika keterangan singkat ini dapat kamu pahami dengan baik, maka -sehubungan dengan pertanyaanmu itu- kamu pun pasti dapat memahami, bahwa sesungguhnya diamnya Rasulullah Saw pada beberapa malam itu tidak mungkin atas dasar kehendak dan kemauannya sendiri, artinya pasti ada maslahat dan tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh syariat. Yang jelas bahwa hal itu merupakan kehendak Allah Swt. Tetapi apa hikmahnya? Apa falsafah dan rahasia atau alasannya?
Mungkin hikmah atau falsafah atau rahasia yang terkandung di dalamnya itu, ada yang untuk jangka pendek, yakni dapat dipahami langsung pada masa itu dan untuk umat Islam yang hidup pada masa itu. Dan ada yang untuk jangka panjang, yakni agar dapat diketahui dengan meyakinkan oleh uamt Islam di masa mendatang sampai hari kiamat, dan agar mereka betul-betul tahu, siapakah di antara kaum muslimin yang betul-betul mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan siapakah yang bandel dan membangkang. Siapakah di antara mereka yang betul-betul bertakwa, dan siapakah di antara mereka yang berani merubah-rubah hukum syariat.
Hikmah atau falsafah jangka pendeknya barangkali, bahwa dengan menunda-nunda larangan tersebut, dan menunggu sampai kaum muslimin semakin banyak yang melakukan shalat Tarawih berjamaah, larangan itu akan menjadi semakin mantap dan jelas serta dapat didengar dan diketahui oleh kebanyakan mereka. Sehingga nantinya, informasi yang akan mereka sampaikan kepada orang-orang yang belum atau tidak mendengarnya pun akan lebih meyakinkan. Dan juga, tidak mudah dilupakan oleh mereka apalagi diremehkan. Jadi yang meremehkan larangan itu, dapat dikatakan sudah betul-betul keterlaluan dan tidak mengerti peranan beliau sebagai nabi dan Rasul Allah. Sampai di sini insya Allah sudah jelas kan?
Adapun mengenai ucapan beliau Saw :
ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها
(Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya). Apakah ucapan semacam ini memang betul-betul keluar dari lisan suci beliau Saw? Jawaban yang dapat saya berikan mengenai hal itu adalah, menurut kacamata ulama Syi’ah jelas, bahwa beliau sama sekali tidak pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu. Bahkan sebagian ulama Sunni pun meragukan jika ucapan semacam itu keluar dari lisan suci Rasulullah Saw.
Dan jika diasumsikan bahwa ungkapan semacam itu keluar dari lisan suci beliau, mereka pun tidak dapat mengungkap maksud dan penafsirannya dengan jelas, sehingga sampai sekarang ini masih merupakan teka-teki yang tidak dapat dipecahkan yang akibatnya mereka pun meragukan keabsahan hadits tersebut.[22]
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kata-kata semacam itu tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah Saw. Karena jika hadits tersebut dianggap benar dan sahih, maka berarti hukum-hukum dan ketentuan syariat itu takluk dan tunduk kepada kehendak dan selera manusia. Artinya jika mayoritas masyarakat muslim menaruh perhatian dan semangat terhadap suatu ibadah, maka hal itu nantinya akan diwajibkan. Tetapi jika mereka tidak tertarik, malas-malasan dan menolak ibadah tersebut, maka tidak akan diwajibkan oleh Allah. Padahal tolok ukur dan yang menjadi landasan suatu hukum atau ketentuan itu adalah adanya maslahat yang riil di dalamnya, tanpa memandang ada atau tidaknya perhatian manusia terhadapnya. Dan sesungguhnya syariat Allah Swt itu tidak tunduk dan tidak mengikuti kehendak dan selera manusia atau penolakan mereka. Akan tetapi tunduk berdasarkan maslahat-masalahat yang hanya Dia yang mengetahuinya. Manusia -sama sekali- tidak boleh ikut campur dalam masalah syariat, sekalipun nabi Saw.
Kenapa Rasulullah Saw harus takut bahwa shalat Tarawih itu akan diwajibkan oleh Allah Swt? Bukankah banyak amalan-amalan mustahab lainnya yang dilakukan oleh beliau dan kaum muslimin, sementara beliau tidak merasa khawatir hal itu akan diwajibkan oleh Allah Swt? Bahkan ada sebagian masalah yang diwajibkan, sementara banyak kaum muslimin tidak melakukannya, sekalipun pada masa hayat Rasulullah Saw, terlebih lagi pada masa-masa setelah wafat beliau, dan -nyatanya-hukum tersebut tidak berubah dari wajib menjadi mustahab. Misalnya seperti hukum berjihad. Tidak sedikit kaum muslimin yang enggan dan menolak jihad ini. Tetapi Allah Swt tetap tidak menghapus kewajiban jihad ini, sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an.[23] Di samping itu, adanya kekhawatiran beliau tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa faraidh itu hanya ada lima, sebagaimana terdapat dalam hadits Isra’.[24]
Anak-anakku sekalian !
Sekarang jika diasumsikan bahwa para sahabat nabi itu menampakkan perhatiannya yang serius dan sungguh-sungguh terhadap shalat Tarawih, yaitu dengan melakukannya secara berjamaah. Lalu, apakah lantas perhatian serius mereka itu dapat dijadikan tolok ukur diwajibkannya shalat sunat tersebut, sementara jumlah mereka yang hadir ketika itu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan kaum muslim yang tidak hadir? Karena masjid nabi (masjid nabawi) ketika itu paling-paling hanya dapat menampung sekitar 6000 jamaah saja. Karena masjid nabi ketika itu hanya seluas 35 meter X 30 meter. Kemudian Rasulullah Saw memperluasnya menjadi 57 meter X 50 meter.[25]
Mungkinkah perhatian serius sebagian mereka itu dapat mengungkap keseriusan dan kesungguhan seluruh umat Islam di sepanjang masa sampai hari kiamat?
Kemudian, jika kamu perhatikan mengenai jumlah malam dimana Rasulullah Saw melakukan shalat nafilah, ternyata terdapat ikhtilaf di dalam hadits-hadits Sunni itu sendiri. Al-Bukhari menukil hadits di dalam kitab as-Shaum, bahwa nabi Saw melakukan shalat Tarawih bersama orang-orang selama tiga malam. Tetapi pada bab at-Tahridh ‘ala Qiyamillail, ia menukil, bahwa beliau shalat Tarawih bersama mereka dua malam saja. Dan Muslim pun sepakat dengan dua nukilan tersebut. Di dalam hadits-hadits yang lainnya dikatakan bahwa beliau itu keluar ke masjid pada malam-malam yang berbeda-beda, yaitu malam ketiga, kelima, ketujuh dan kedua puluh. Sementara di dalam riwayat Abu Dzar dikatakan bahwa nabi Saw keluar dan melakukan shalat pada malam 23, 25 dan malam 27.[26]
Jadi, dari hadits-hadits Sunni yang bermacam-macam dan berbeda-beda ini dapat dipahami bahwa sebenarnya mereka itu tidak serius dan tidak bersungguh-sungguh dalam menukil dan menceritakan perbuatan Rasulullah Saw yang sebenarnya, sehubungan dengan shalat Tarawih ini. Jika demikian, dari mana kita akan yakin bahwa nabi Saw menganggap dan menilai bahwa mereka betul-betul ingin melakukan shalat Tarawih secara serius dan sungguh-sungguh?
Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa seorang ulama Sunni terkenal yang bernama al-Qasthalani dengan terus terang mengatakan bahwa tambahan-tambahan pada shalat Tarawih itu adalah bid’ah. Dia berkata bahwa:
1. Nabi Saw tidak menganjurkan shalat Tarawih itu dilakukan berjamaah.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar pun tidak berjamaah.
3. Shalat Tarawih itu tidak dilakukan pada awal malam (tetapi pada pertengahan malam).
4. Tidak dilakukan setiap malam.
5. Tidak dilakukan sebanyak seperti yang sekarang.[27]
Perawi: Mayoritas muslimin memang menduga, bahwa shalat Tarawih yang selama ini mereka lakukan adalah mengikuti sunnah Rasulullah Saw semasa beliau hidup. Si Baqir pun -salah seorang murid kelas- menduga seperti itu pula. Selama beberapa tahun ini dan pada setiap Ramadhan ia aktif mengikuti shalat Tarawih berjamaah di masjid dekat rumahnya. Ternyata dugaan atau keyakinannya itu keliru. Menyadari hal itu, ia tidak mau ketinggalan dan segera mengajukan pertanyaan berikut ini:
Baqir: Pak ustadz! Jika memang betul dan telah jelas bahwa sebenarnya Rasulullah Saw itu tidak melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dan juga tidak shalat sebanyak 20 rakaat, sebagaimana terdapat di dalam hadits-hadits Sunni itu sendiri, lalu sebenarnya kaum muslimin mengikuti siapa dalam melaksanakan shalat Tarawih dengan tata cara dan jumlah rakaat yang ada sekarang ini? Saya pikir, tentu ada yang memulai atau ada yang mempeloporinya kan! Karena tidak mungkin muncul begitu saja. Nah, apakah orang yang memulai atau mempeloporinya itu, betul-betul sebagai panutan dan layak untuk diikuti? Karena, jika memang ia patut diikuti perintahnya, dengan senang hati saya tetap akan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sampai akhir hayat saya. Tetapi jika memang ternyata tidak layak diikuti, saya khawatir, nanti shalat saya itu tidak mendapatkan apa-apa selain hanya capek dan kelelahan belaka. Sudah di siang hari lelah berpuasa, di malam hari lelah pula ber-Tarawih. Jadi, ini gimana pak ustadz, tolong Bapak jelaskan sedetail mungkin, karena ini urusan agama yang berujung kepada surga atau neraka. Tidak main-main kan?!
Ustadz: Pertanyaan-pertanyaan yang kalian ajukan semuanya bagus-bagus. Baqir pun tidak mau kalah, ia juga mempunyai pertanyaan yang bagus. Pertanyaan Baqir itu, jika diringkas, akan menjadi dua buah pertanyaan saja, yaitu:
1. Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini?
2. Apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan Rasul-Nya sehingga patut diikuti, ataukah tidak?
Sebenarnya pertanyaan yang kedua, berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah Saw. Masalah imamah ini, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw yang sahih bahkan mutawatir.
Baiklah, saya akan menjawab pertanyaan yang pertama. Tetapi alangkah baiknya jika saya berikan sedikit mukaddimah sebelumnya mengenai ibadah dalam agama kita, Islam.
Anak-anakku sekalian!
Di dalam ibadah, misalnya seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambahi dari yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedikit saja kamu kurangi atau kamu tambah, maka tidak akan diterima oleh Allah Swt. Ibadah apapun yang telah ditambah atau dikurangi tidak akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dan keselamatan atau surga di akhirat kelak. Misalnya saja seperti ibadah shalat, jumlah rakaat shalat dan jumlah sujudnya sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Apabila kamu tambahkan atau kurangi dari jumlah tersebut, pasti shalatmu tidak akan diterima oleh Allah Swt. Demikian pula halnya dengan jumlah thawaf, sa’i, melontar jumrah, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan tata caranya pun telah ditetapkan sedemikian rupa, jika sedikit saja kamu merubah atau menggantinya, maka Allah Swt tidak akan menerimanya. Misalnya berwudhu harus dengan air murni, tidak boleh dengan air buah atau kuah sayur. Shalat harus menghadap ke arah qiblat, tidak boleh ke arah “Gedung Putih” atas menghadap ke arah “Istana Presiden”. Bacaan surat al-Fatihah harus lengkap, tidak boleh dikurangi, ditambah atau diganti dengan surat lainnya. Mengenai waktu-waktu ibadah pun harus sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Misalnya waktu shalat subuh ketika terbit fajar shadiq sampai sebelum terbit matahari, shalat zhuhur harus di muali dari tergelincirnya matahari, puasa harus di bulan suci Ramadhan, haji harus pada bulan haji, dan dilakukan di kota Makkah, bukan di kota Cirebon atau Cicago. Dan begitulah seterusnya.
Jadi sedikit saja kamu rubah atau kurangi atau kamu tambahkan, maka bukan saja tidak akan diterima oleh Allah Swt, bahkan malah diancam akan mendapat siksa yang pedih.
Di dalam sebuah hadits, Imam Ja’far as-Shadiq As bersabda:
“Allah Swt telah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam. Tetapi Iblis memprotes dan berkata: “Ya Rabb, jika Engkau bebaskan aku dari sujud kepada Adam, maka aku akan menyembah dan beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun”. Kemudian Allah Swt memberikan jawaban: “Sesungguhnya Aku ingin agar Aku ini ditaati sebagaimana yang Aku kehendaki”.[28]
Dari riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika kamu berani merubah, menambah atau mengurangi syari’at Allah Swt yang telah Dia tetapkan, maka kamu dengan Iblis tidak jauh berbeda.
Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang lengkap dan sempurna untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Dan tidak seorang pun berhak untuk merubah, menambah atau mengurangi ajaran tersebut. Peran Rasulullah Saw sendiri, hanyalah sebagai penyampai ajaran tersebut kepada seluruh umatnya. Artinya beliau sendiri tidak berhak merubah, menambah atau mengurangi ajaran Islam tersebut, apalagi bagi selain Rasulullah Saw.
Nah, jika mukaddimah singkat ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka perhatikanlah jawaban atas pertanyaan: Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini? Setelah jelas bahwa shalat Tarawih yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini, itu bukan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan bukan pula yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat Tarawih tersebut untuk pertama kalinya ditradisikan oleh khalifah Umar bin Khattab pada tahu 14 H. Hal ini sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarawan di dalam kitab-kitab mereka.[29]
Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakni shalat Tarawih)”.[30]
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: “Dialah (Umar) orang yang pertama yang melarang penjualan ummahat al-awlad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam….”[31]
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa’ tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: “Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut’ah…….”.
Muhammad bin Sa’ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khattab di dalam kitabnya at-Thabaqat berkata: “Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. Dia mengangkat dua qari’ (imam) di Madinah; seorang mengimami shalat Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita….”.
Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan……dst”- berkata: “….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal “shalat Tarawih”).[32] Muslim pun -di dalam kitab shahihnya- mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang seperti itu juga.[33]
Pada pasal “Shalat Tarawih”, al-Bukhari menukil sebuah riwayat bahwa Abdur Rahman bin ‘Abd al-Qari’ (seorang pejabat Umar dalam urusan baitul mal) berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kemudian kami melihat banyak orang yang sedang melakukan shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari yang lainnya. Ketika itu Umar berkata: “Sekiranya mereka itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik. “Kemudian ia menginstruksikan rencananya tersebut dan mengumpulkan mereka dalam satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Pada malam lainnya aku keluar lagi bersama Umar, sementara kami menyaksikan orang-orang sedang shalat di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Alangkah baiknya bid’ah ini!”.
Al-’Allamah al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadits tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak menyunatkannya kepada mereka untuk melakukannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah rakaatnya. (yakni 20 rakaat seperti sekarang).[34]
Anak-anakku sekalian!
Saya kira sudah cukup banyak dan meyakinkan kamu, apa yang telah saya nukil dan sampaikan dari para ulama Sunni di atas. Kalau kamu masih kurang puas juga, silahklanlah buka kitab-kitab Sunni lainnya yang tentunya masih banyak sekali. Pasti nantinya kamu akan sampai pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya orang pertama yang mencetuskan atau menyelenggarakan shalat Tarawih secara berjamaah seperti yang kamu saksikan sekarang ini, tiada lain adalah Khalifah Umar bin Khattab. Bahkan dengan tegas dan terus terang Umar sendiri mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah. Bukan hanya bid’ah bahkan “Ni’mal Bid’ah” (Bid’ah yang paling baik).
Anehnya, sebagian orang yang selalu berusaha membela Umar, bahkan banyak memuji dan menyanjungnya, tetapi dalam hal shalat Tarawih ini, mereka menolak ketetapan Umar. Karena Khalifah Umar telah menetapkan dan memerintahkan agar shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Tetapi mereka tidak melakukannya sebanyak itu. Mereka melakukannya hanya delapan rakaat saja. Dengan keras dan secara fanatik buta mereka menentang kelompok lain yang melakukan shalat Tarawih 20 rakaat. Padahal sebenarnya, tidak secara langsung mereka menentang sepenggal ” Sunnah Umar” itu sendiri. Tetapi mereka tidak menyadarinya. Jika mereka mengikuti perbuatan Rasul Saw yang ketika shalat di masjid sebanyak 8 rakaat, tetapi kenapa mereka tidak menambahkannya lagi di rumah, sebagaimana yang dilakukan Rasul Saw? Jika demikian halnya, mereka mengambil sebagian “Sunnah Rasul”, yaitu shalat 8 rakaat. Dan meninggalkan sebagian “Sunnah Rasul” yang lainnya, yaitu menambahkan shalatnya di dalam rumah. Di samping itu juga mereka mengambil sebagian “Sunnah Umar”, yaitu shalat sunnat Tarawih secara berjamaah. Dan meninggalkan sebagian “Sunnah Umar” yang lainnya, yaitu shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat. Dengan demikian, dan jika dikatakan mereka juga berijtihad, maka kelompok ini bisa dikatakan lebih parah lagi, karena di samping mereka itu menentang dan merubah ketetapan Rasul Saw, juga menentang dan merubah kebijakan Khalifah Umar sekaligus. Bukankah demikian?! Mengapa mereka tidak mengiktui “Sunnah Umar bin Abdul Aziz” saja, yang telah menetapkan dan memerintahkan agar shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 36 rakaat?
Barang kali di antara kamu ada yang berpendapat begini: Ah, barangkali, jika di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu, shalat Tarawih 36 rakaat sama dengan 20 atau 8 rakaat, maka seharusnya pada zaman modern sekarang ini, yaitu zaman serba singkat, cepat dan praktis, cukup 4 rakaat sajalah!
Nah, kalau jawaban pertama itu sudah jelas bagi kamu sekalian, maka mari kita pindah kepada jawaban yang kedua dari pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh Baqir.
Baqir ! Pertanyaan kamu yang kedua tadi apa?
Baqir : Anu pak ustadz, apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan Rasul-Nya sehingga patut diikuti ataukah tidak?
Ustadz: Ya, betul pertanyaannya begitu.
Anak-anakku sekalian! Sebagaimana telah saya katakan tadi, bahwa sebenarnya pertanyaan yang kedua ini berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah Saw. Masalah imamah ini, insya Allah, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw yang sahih bahkan mutawatir.
Sebagaimana telah saya sampaikan tadi dan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, bahwa Rasulullah Saw sendiri, yang langsung menerima wahyu dari Allah Swt melalui malaikat Jibril, dilarang keras oleh Allah Swt untuk memasukkan pendapat, ijtihad atau pandangannya sendiri di dalam urusan syariat. Beliau tidak berijtihad, tidak pernah menyelipkan pandangannya sendiri dalam urusan ibadah atau syariat dan beliau hanya sebagai penyampai risalah Allah Swt kepada seluruh umat manusia. Al-Qur’an menukil ucapan beliau di dalam surat yasin dan surat lainnya:[35]
وما علينا الا البلاغ المبين
“Aku hanyalah penyampai yang nyata”.
Lebih tegas lagi bahwa Rasulullah Saw pernah berpidato di hadapan masyarakat ketika itu, dan di antara ceramahnya beliau mengatakan:
“Wahai manusia, …….sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu apapun, selain yang telah dihalalkan oleh Allah Swt. Dan aku juga tidak mengharamkan sesuatu apapun, selain yang telah diharamkan oleh Allah Swt”.
Demikian pula para Imam maksum As setelah beliau, tidak ada yang berijtihad dan mengeluarkan pendapat atau pandangannya atas syariat Allah Swt. Mereka semua hanyalah penyampai, penjelas dan penyambung risalah Rasulullah Saw yang telah lengkap dan sempurna.[36] Demikianlah peranan dan tugas para nabi dan rasul sebelum beliau Saw. Mereka hanya ditugaskan oleh Allah Swt untuk menyampaikan wahyu-Nya dan menjelaskan kepada umat manusia serta menjaganya dari jamahan dan sentuhan tangan-tangan kotor dan para penguasa zalim.
Apabila Rasulullah Saw, para imam maksum As dan para nabi serta rasul itu sendiri tidak boleh mengeluarkan pendapatnya dalam masalah syariat, dan mereka sama sekali tidak mendapat izin dari Allah Swt untuk merubah, menambah atau mengurangi syariat yang telah Allah Swt turunkan demi kemaslahatan seluruh hamba-Nya, apalagi orang-orang yang kedudukannya jauh di bawah mereka.
Jadi, sama sekali tidak ada izin, atau wewenang atau mandat bagi siapapun untuk merubah, menambah atau mengurangi syariat Allah Swt. Dan ini ketetapan Allah Swt yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk ikut campur tangan dalam urusan syariat, hatta bagi Nabi Saw. Dan alasan apapun yang diajukan untuk itu, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Kenapa? Karena hanya Allah sajalah yang tahu maslahat dan mudharat bagi segenap makhluk-Nya. Rasulullah Saw sendiri mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh al-Qur’an : “Aku hanyalah manusia seperti kalian. Hanya saja aku mendapatkan wahyu dari Allah”.[37] Artinya -kata beliau- : “Aku juga diwajibkan melakukan seluruh yang diperintahkan Allah kepada kalian dan meninggalkan semua larangan-Nya. Hanya saja kelebihanku, bahwa aku dipilih sebagai nabi, rasul, pembawa risalah, penyampai dan penjelas syariat kepada kalian semua. Dan aku tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan wahyu-Nya”.
Anak-anakku sekalian!
Banyak sekali ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw itu hanya ditugaskan untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu Allah kepada umat manusia, tidak lebih dari itu.
Jika penjelasan ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, tentunya kamu pun sudah bisa mengetahui jawaban dari pertanyaan: “Khalifah Umar mendapat wewenang dan mandat dari mana, sehingga kok beliau berani ikut campur tangan dalam masalah urusan syariat, yang dalam hal ini menetapkan shalat Tarawih dalam waktunya, jumlah rakaatnya dan secara berjamaah?”
Perawi: Di antara murid-murid itu ada yang bernama Fathan. Fathan rajin belajar, mengaji dan suka mendengarkan ceramah agama di mana-mana. Ketika mendengar nama Khalifah umar dan Abu Bakar di singgung oleh gurunya tersebut, ia teringat ceramah seorang muballig mengenai kemuliaan dua orang Khalifah tersebut. Langsung saja si Fathan nyeletuk dengan menukil ucapan seorang muballig tersebut:
Fathan: Pak ustadz maaf, saya pernah mendengar ceramah seorang muballig yang menukil hadits Rasulullah Saw bahwa artinya kira-kira: “Ikutilah apa-apa yang disampaikan oleh kedua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” Nah, bukankah ucapan Rasulullah Saw di dalam hadits ini merupakan wewenang dan mandat bagi kedua orang Khalifah tersebut? Tidakkah, berdasarkan hadits ini, kita dibolehkan atau bahkan dianjurkan untuk mengikuti kedua Khalifah tersebut? Artinya, sehubungan dengan shalat Tarawih yang dicetuskan oleh Umar itu, bukankah kita diperintahkan oleh Rasullah untuk mengikuti dan melaksanakannya?
Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus!
Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan akhi Fathan ini, memerlukan waktu yang banyak. Tetapi untuk sementara ini dapat saya sampaikan secara singkat saja dulu. Jawabannya begini: Hadits tersebut dan banyak hadits-hadits lainnya yang semacam itu[38], perlu diadu dan dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih lainnya. Dan ini -tentu saja- memerlukan waktu yang tidak sedikit. Apabila hadits tersebut atau yang semacamnya diadu dan dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits lainnya, yang kesemuanya terdapat di dalam kitab-kitab Sunni juga, maka akan dapat diketahui hasilnya, bahwa hadits tersebut dhaif dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya.
Nah, sekarang katakanlah (bil fardh, diasumsikan) bahwa hadits itu shahih dan benar. Asumsikanlah bahwa Rasulullah Saw benar-benar berkata seperti itu! Seandainya dan sekiranya hadits itu dan semacamnya dianggap sahih dan kuat, tetapi hadits-hadits itu tidak bisa dipakai untuk menopang atau mendukung apa yang kamu maksudkan. Yaitu mengikuti sunah Umar tersebut. Kenapa demikian?
Dengan kata lain, bahwa sekiranya hadits itu sahih maka maksudnya begini, seakan-akan Rasulullah Saw ingin mengatakan begini:
“Ikutilah kedua orang Khalifah, yaitu Abu Bakar dan Umar, setelahku nanti, selama mereka berdua mengikuti Allah dan Rasul-Nya!”
karena di dalam hadits lain Rasulullah Saw juga bersabda:
لا طاعه لمخلوق في معصيه الخالق
Artinya: “Tidak boleh taat kepada makhluk siapa pun dalam hal maksiat kepada Allah, sang Pencipta”.
Sementara hadits yang terdapat kata-kata “Al-Khulafa ar-Rasyidun” itu, perlu dicarikan dan diterapkan secara tepat dan benar, yaitu sesuai dengan sifat-sifat seorang Khalifah yang Rasyid. Dengan kata lain, harus jelas mishdaq-nya itu siapa?
Kan sudah saya jelskan bahwa para nabi dan rasul itu, termasuk juga Rasulullah Saw tidak boleh ikut campur dalam urusan syariat. Apabila -seandainya- mereka ikut campur dan mengeluarkan pendapatnya dalam syariat, maka berarti mereka itu bermaksiat. Apabila mereka itu bermaksiat, maka dalam hal maksiat, mereka tidak boleh ditaati.
Jelasnya bahwa apabila Khalifah Umar menyuruh kamu puasa pada bulan Ramadhan, maka kita wajib mentaatinya. Karena perintah beliau itu sesuai dengan perintah syariat. Tetapi apabila beliau menyuruh kita dalam hal maksiat, maka tidak boleh ditaati. Nah, Khalifah Umar telah melakukan ikut campur dalam syariat, yaitu dengan mencetuskan shalat Tarawih berjamaah. Padahal nabi dan Khalifah Abu Bakar sendiri tidak melakukan hal itu. Dalam hal ini berarti Khalifah Umar telah berbuat maksiat dengan melanggar atau merubah ketentuan Allah tersebut. Kalau sudah jelas bahwa dia melanggar dan berbuat maksiat, maka natijahnya -dalam masalah ini- kita tidak boleh mentaati beliau.
Sebenarnya bukan hanya masalah shalat Tarawih saja yang ditetapkan oleh Khalifah Umar, atau yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya, kemudian dihapus oleh Umar. Sebagai contoh misalnya, dalam masalah talak tiga sekaligus, masalah azan subuh, masalah khumus, masalah nikah mut’ah, haji tamattu’, dll.
Apabila perintah Umar mengenai shalat Tarawih berjamaah itu ditaati oleh kaum muslimin, tetapi mengapa larangan beliau mengenai haji tamattu’ tidak seorang muslim pun yang mentaatinya?
Untuk memperjelas jawaban tersebut, perlu saya tambahkan, perhatikanlah baik-baik!
Misalnya, apabila ibumu menyuruh kamu untuk membuat kandang ayam. Dan ibumu itu telah menjelaskan bagaimana caranya membuat kandang ayam yang kuat dan bagus. Dan juga menjelaskan bagaimana cara merawat ayam yang baik. Sementara kamu belum mengerti apa-apa. Tetapi ayahmu menyuruhmu untuk membuat kandang kambing. Ayahmu juga menjelaskan bagaimana caranya membuat kandang kambing yang kuat dan bagus dan bagaimana cara merawat kambing yang baik.
Sementara ini kamu tahu bahwa ibumu itu orang kota yang tidak pernah mempunyai dan merawat ayam seekor pun. Dan sekolahnya hanyalah tamatan SMP. Ibumu, hanya karena melihat tetangganya memelihara ayam, lantas ia latah ingin dan ikut-ikutan agar anaknya juga membuat kandang ayam dan memelihara ayam untuk mendaptkan keuntungan.
Tetapi ayahmu, walaupun orang desa yang dulunya pernah mengembala kambing, karena ayahnya (yaitu kakekmu) tukang kambing, telah berhasil menyelesaikan kuliahnya pada fakultas peternakan. Di sini kita tidak menceritakan bagaimana ayahmu itu kok bisa kawin dengan ibumu yang orang kota itu. Pokoknya kamu yakin bahwa ayahmu berpendidikan cukup dan punya pengalaman yang banyak, sehingga ucapannya itu meyakinkan hatimu dan bisa diamalkan dengan sepenuhnya. Bahkan menurut kesaksian para tetangga, pak RT, pak Lurah dan orang banyak, bahwa ayahmu itu orang pandai dan nyatanya terbukti telah berhasil.
Nah, dalam hal ini, apabila terdapat kontradiksi antara kemauan ibumu dengan kemauan ayahmu, menurut akalmu dan semua akal orang yang sehat, pendapat yang manakah yang kamu pilih? Pendapat ayahmu ataukah pendapat ibumu?
Ya sudah tentu, jika kamu punya akal sehat, pasti kamu akan memilih pendapat dan pandangan ayahmu itu. Betapa bodohnya jika kamu mengikuti kemauan ibumu itu. Betapa bodohnya juga orang-orang yang mendukung pendapt ibumu tersebut. Sungguh betapa bodohnya!
Nah, jika mukaddimah sederhana ini dapat kamu tangkap dengan baik, yang sengaja saya sampaikan hanya untuk sekedar memudahkan kamu untuk menangkap pemikiran berikut ini. Sekarang perhatikanlah dan pahami baik-baik jawaban ini !
Menurut kesaksian ayat-ayat al-Qur’an, bahwa Imam Ali As termasuk salah seorang Ahlubait nabi Saw yang telah Allah Swt sucikan dari segala rijs dan kenistaan[39], sehingga beliau mencapai maqam ‘ishmah dan terpelihara dari kesalahan, dosa, kelupaan dan kekeliruan. Adakah ayat al-Qur’an yang sama ditujukan kepada Khalifah Abu Bakar, Umar atau para sahabat nabi yang lainnya? Jawabnya tentu tidak ada!
Menurut pengakuan al-Qur’an, bahwa Imam Ali As pernah memberikan sedekahnya kepada seorang pengemis berupa sebuah cincin yang melekat di tangannya, sementara beliau sedang rukuk dalam shalatnya. Kemudian turunlah ayat yang menegaskan bahwa Allah Swt, Rasul-Nya dan beliau sebagai wali dan pemimpin kaum muslimin.[40] Pernahkah Khalifah Abu Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya melakukan hal seperti itu, kemudian turun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa mereka mendapatkan kedudukan yang begitu mulia dan tinggi? Jawabnya jelas tidak ada!
Al-Qur’an pernah menegaskan bahwa Imam Ali As dan para pengikut setianya adalah “Khairul Bariyyah” (sebaik-baik manusia).[41] Karena mereka adalah orang-orang yang beriman tinggi dan beramal saleh dengan penuh ikhlas. Apakah kamu pernah mendengar bahwa terdapat ayat al-Qur’an yang seperti ini diturunkan kepada Khalifah Abu
Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya? Saya sendiri hingga saat ini, tidak pernah mendengar dan juga tidak pernah membaca sama sekali!
Al-Qur’an al-Karim menyatakan bahwa Rasulullah Saw sebagai “Mundzir” (pemberi peringatan). Sementara Imam Ali As sebagai “Hady” (pemberi petunjuk)[42]. Apakah selain beliau As, seperti Khalifah Abu bakar, Umar atau yang lainnya, mendapat predikat yang mulia tersebut yang ditegaskan oleh al-Qur’an al-Karim? Jawabnya juga tidak!
Satu-satunya orang yang pernah tidur di tempat tidur nabi ketika nabi berangkat hijrah, dan ia mempertaruhkan nyawanya demi membela nabi Saw adalah Imam Ali As. Dan al-Qur’an al-Karim dengan jelas dan tegas menyatakan hal itu.[43] Kemudian, dengan pengorbanan dan keikhlasan beliau yang tinggi itu, al-Qur’an memuji dan mengabadikannya.
Pernahkah kamu mendengar kisah semacam ini terjadi pada Khalifah Abu Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya? Tidak pernah!
Ketika Rasulullah Saw pergi ke suatu lembah untuk melakukan “Mubahalah” dengan orang-orang Kristen Najran, beliau Saw mengajak Imam Ali As dan Ahlubaitnya yang lain.[44] Akhirnya “Mubahalah” itu tidak jadi dilakukan, karena Pendeta Najran itu merasa gentar melihat Rasulullah Saw membawa orang-orang yang suci dan mulia yang pasti doanya akan di-ijabah oleh Allah Swt. Nah, apakah kamu pernah mendengar kisah yang sama yang disampaikan oleh al-Qur’an kepada Khalifah Abu Bakar, Umar atau sahabat nabi yang lainnya? Tidak!
Rasulullah Saw, diperintahkan oleh Allah Swt agar tidak meminta upah apapun kepada umatnya dalam tabligh dan dakwahnya itu selain meminta agar mereka mencintai dan mengikuti “Al-Qurba” (kelaurga suci beliau yang diantaranya adalah Imam Ali As).[45] Jelas sekali bahwa tidak seorang ulamapun yang menyatakan bahwa Khalifah Abu Bakat, Umar atau yang lainnya, temasuk diantara “Al-Qurba” yang ditegaskan oleh al-Qur’an untuk dicintai dan wajib diikuti.
Sebenarnya masih banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan dan diturunkan untuk memuji Imam Ali As dan keluarga suci Rasulullah Saw. Tentunya tidak mungkin saya sampaikan di sini semua. Beberapa ayat di atas saya kira sudah cukup sebagai bukti tentang ketegasan al-Qur’an mengenai kemulian dan keutamaan Imam Ali As dan Ahlubait nabi Saw. Bolehlah saya tambahkan satu ayat saja lagi mengenai keutamaan beliau As dan pujian yang disampaikan oleh al-Qur’an al-Karim karena perbuatan dan pengorbanannya yang ikhlas yang tidak pernah ayat seperti itu ditujukan atau diturunkan kepada Khalifah Abu Bakar dan Umar serta sahabat nabi yang lainnya.
Singkatnya, ketika al-Hasan dan al-Husain sakit, Imam Ali As dan isteri tercintanya ber-nadzar akan melakukan puasa tiga hari jika penyakit kedua anaknya tersebut segera disembuhkan oleh Allah Swt. Allah Swt mengabulkan doa beliau, dan nadzar pun dilakukan. Bahkan al-Hasan dan al-Husain As pun ikut berpuasa nadzar. Pada hari pertama ketika mereka ingin berbuka, datanglah pengemis miskin, makanan pun (beberapa potong roti) diberikan kepadanya. Sementrara mereka hanya berbuka dengan air putih saja. Pada hari kedua datanglah anak yatim, mereka pun melakukan seperti kemarin. Pada hari ketiga datanglah tawanan perang yang telah dibebaskan dari penjara. Beberapa potong roti yang disiapkan untuk berbuka pun diberikan kepadanya. Sikap dan sifat mulia ini mendapat pujian yang tinggi dari Allah Swt sehingga diturunkanlah ayat al-Qur’an yang memuji dan mengabadikan perbuatan terpuji mereka itu[46]. Kisah ini sangat masyhur di kalangan para sahabat nabi. Dan khalifah Abu Bakar, Umar atau yang lainnya, tidak pernah mendapat pujian sehingga diturunkan ayat semacam itu.
Nah itu sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang Allah Swt turunkan khusus untuk memuji dan menegaskan kemulian Imam Ali dan keluarga suci nabi Saw. Sementara, tidak ada satu ayat pun yang diturunkan oleh Allah Swt sehubungan dengan kemulian Khalifah Abu Bakar atau Umar atau sahabat nabi yang lainnya yang mengikuti jejak kedua orang Khalifah tersebut.
Adapun hadits-hadits nabi Saw yang menegaskan kemuliaan, kehormatan, keberanian dan kedudukan tinggi Imam Ali As sangat banyak sekali. Dan hadits-hadits ini diakui oleh semua ulama dan madzhab. Bahkan banyak tercatat di dalam kitab-kitab Sunni di sana-sini.
Allamah Syaikh Abbas al-Qummi berkata: “Tidak seorang ahli ilmu pun yang mengingkari bahwa keutamaan-keutamaan Amirul mukmini Ali As itu tidak mungkin dapat diungkapkan dengan bayan dan lisan. Dan tidak mungkin pula dijangkau oleh kitab dan tulisan. Bahkan para malaikat langit pun tidak akan mampu mencapai ketinggian derajat beliau As. Dan sebenarnya, berbagai keutamaan beliau As yang dapat diungkap (di dalam berbagai kitab), tidak sampai melebihi seciduk air laut”.[47]
Baiklah, untuk melengkapi kemuliaan Imam Ali As yang tidak dimiliki oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar yang disampaikan oleh lisan suci Rasulullah Saw, akan saya sampaikan beberapa saja sebagai contoh yang kini saya ingat. Dan saya tidak akan menyampaikan teksnya, untuk menyingkat waktu. Di samping itu pula hal ini sudah begitu masyhurnya, sehingga tidak seorang muslim pun yang berani mengingkarinya.
Mengenai keberanian Imam Ali As dan jasa-jasa beliau As di dalam berbagai peperangan, sudah tidak diragukan lagi. Misalnya dalam perang Badar, dalam perang ini separuh dari kaum musyrikin yang terbunuh adalah di tangan beliau sendiri. Dalam perang Khandaq tidak seorang sahabat nabi pun yang berani melawan seorang musuh yang gagah berani yaitu Amr bin Abdi Wud selain Imam Ali As dan beliau lah yang berhasil menewaskan si musyrik itu. Ketika itu Rasulullah Saw bersabda: “Pukulan pedang Ali pada perang Khandak lebih utama daripada ibadah “Tsaqalain” (seluruh jin dan manusia). Dalam perang Uhud, Imam Ali As tetap tegar membela Rasulullah Saw dan beliau tidak mundur sejengkal pun. Sementara banyak sahabat nabi yang kabur ketakutan meninggalkan medan perang. Sejarah mencatat bahwa di antara mereka yang kabur adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan lain-lain. Bahkan pada suatu kesempatan Abu Bakar dan Umar mengakui hal itu. Bukankah “Al-Firaru Minazzahfi” (Kabur dari peperangan dan tidak mentaati komando perang) termasuk dosa besar?
Dengan ketangkasan Imam Ali As dalam perang Uhud itu, seluruh musuh yang berusaha ingin membunuh Rasulullah Saw berhasil digagalkan. Sehingga Jibril pun turun dan memuji Imam Ali As dengan ungkapannya yang sangat terkenal :
“Tidak ada pemuda (yang gagah berani) selain Ali. Dan tidak ada pedang (yang berhasil menghempaskan musuh Islam) selain pedang “Dzul Fiqar”.
Dalam perang Khaibar Imam Ali As dengan pasukannya berhasil menghancurkan benteng Khaibar dan menghabiskan orang-orang Yahudi yang membangkang Rasulullah Saw. Sementara sebelum itu, Abu Bakar dan kemudian Umar dengan pasukannya mengalami kegagalan total. Sampai akhirnya Rasulullah Saw mengumumkan bahwa yang berhasil menghancurkan benteng Khaibar dan dia tidak akan mundur sejengkal pun (Karrar ghairu farrar) hanyalah seseorang yang mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya dan Allah Swt dan Rasul-Nya pun sangat mencintainya. Dialah Imam Ali As yang ketika itu menderita sakit mata. Kemudian Rasulullah Saw meniupkan atau menyebulkan matanya dan seketika itu juga sembuh. Lalu beliau Saw menyerahkan bendera untuk memimpin peperangan melawan orang-orang Yahudi dan menghancurkan benteng Khaibar. Pintu benteng Khaibar itu tidak mungkin dapat diangkat oleh 40 orang. Tetapi Imam Ali As mampu mengangkat dan melemparkannya hanya seorang diri dengan tangan beliau yang penuh berkah. Dan masih banyak lagi kisah-kisah keberanian beliau As dalam berbagai peperangan yang dipuji oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.
Hadits-hadits Rasulullah Saw lainnya yang tidak pernah dikeluarkan kepada selain Imam Ali As adalah seperti sabda beliau Saw:
1. “Aku dan Ali adalah bapak umat ini”.
2. “Ali dan syi’ahnya adalah orang-orang yang beruntung”.
3. “Tidak ada yang mencintai Ali selain si mukmin. Dan tidak ada yang membenci Ali selain munafik”.
4.”Ali senantiasa bersama Al-Haq. Dan Al-Haq pun senantiasa menyertai Ali”.
5.”Orang yang paling pandai dalam memutuskan hukum adalah Ali”. 6.”Kedudukan Ali di sisiku adalah sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada lagi nabi setelahku”.
Dan masih banyak sekali hadits-hadits nabi lainnya yang khusus ditujukan kepada Imam Ali As yang menunjukkan kemuliaan dan ketinggian derajat belias As di sisi nabi Saw. Satu lagi saja sebagai tambahan, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda :
“Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang ingin memasuki kota, maka masuklah melalui pintunya!”.
Banyak sekali hadits-hadits nabi yang menjelaskan ketinggian ilmu Imam Ali As. Bahkan banyak pula ucapan dan ungkapan yang disampaikan oleh Abu Bakar dan Umar mengenai ketinggian ilmu beliau As. Misalnya Umar pernah berkata dan dalam beberapa kasus :
“Jika sekiranya tidak ada Ali, maka hancurlah Umar”.
Nah, jika kelebih pandaian ayahmu dibandingkan ibumu telah kamu buktikan dan ketahui, seperti dalam membuat kandang kambing dan merawatnya, pasti kamu akan memilih dan mengikuti pendapat dan perintah ayahmu. Sekarang, jika kelebih pandaian Imam Ali As, keberaniannya, dan kemuliaannya telah dapat kamu buktikan dengan jelas melalui kesaksian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits nabi yang sangat banyak dan bahkan mutawatir, kemudian ketika terjadi kontradiksi dan pertentangan antara pandangan dan sikap Imam Ali As dengan pendapat dan sikap Khalifah Abu Bakar atau Umar, masihkah setelah ini kamu memilih ucapan, pendapat dan pandangan Khalifah Abu Bakar, atau Umar atau sahabat nabi yang lainnya selain Imam Ali As?!
Khalifar Umar berpendapat bahwa shalat Tarawih harus dengan berjamaah dan 20 rakaat dan dilakukan setelah shalat isya’. Sementara pendapat Imam Ali As mengikuti prilaku Rsulullah Saw, yaitu bahwa shalat Tarawih berjamaah itu bid’ah dan harus ditinggalkan. Dan Umar sendiri mengakui bahwa hal itu memang bid’ah.
Khalifah Umar telah menghapus ketetapan dan praktek haji tamattu’ dan nikah mut’ah ketika beliau berkuasa menduduki kursi khilafah. Tetapi Imam Ali As tetap mengikuti Rasulullah Saw, yaitu tetap mensahkan praktik haji tamattu’ dan nikah mut’ah yang biasa dilakukan pada masa hayat Rasulullah Saw dan para sahabat setelahnya.
Khalifah Umar telah menetapkan bahwa talak tiga sekaligus akan jatuh tiga talak juga. Dan setelah itu wanita itu menjadi haram bagi suaminya (tidak bisa rujuk) sampai ia menikah lagi dengan lelaki lainnya. Tetapi Imam Ali As tetap mempertahankan syariat aslinya sebagaimana dijalankan oleh Rasulullah Saw, yaitu bahwa talak semacam itu batal. Dan talak itu harus dilakukan satu kali satu kali saja yang diselingi dengan rujuk.
Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat, pandangan dan sikap antara Imam Ali As dengan Khalifah Umar sehubungan dengan masalah syariat.
Anak-anakku sekalian!
Sesungguhnya Alah Swt telah memberikan nikmat yang sangat besar kepada setiap insan, yaitu akal pikiran. Dengan akal manusia dapat memperoleh ilmu yang banyak dan menentukan pilihannya yang tepat. Maka gunakanlah akal sehatmu itu untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Gunakanlah untuk menentukan pilihan yang tepat dan baik sehingga kamu akan bahagia dan selamat di dunia dan khususnya di akhirat kelak. Sebab hanya dengan akal dan ilmu pengetahuan serta kejujuran, kita akan selamat dan memperoleh kenikmatan surga yang abadi kelak. Dan sebaliknya, dengan mengabaikan petunjuk akal, dengan meremehkan ilmu pengetahuan dan dengan tidak berlaku jujur terhadap syariat, seseorang akan terjerumus dan terjerembab ke dalam jurang api neraka jahannam, Na’udzu Billah!
Anak-anakku sekalian!
Di antara fungsi akal yang kalian miliki itu adalah untuk memilah dan memilih apa saja yang baik dan layak untuk kesehatan, keselamatan dan kebahagiaan kalian. Bahkan melakukan pilihan itu merupakan fitrah dan naluri setiap insan berakal yang tidak dikhususkan bagi orang-orang yang berilmu pengetahuan saja. Karena anak kecil sekalipun mempunyai naluri itu. Coba saja adikmu yang masih berumur lima tahun, jika kamu berikan beberapa buah apel, atau baju, atau mainan, atau apa saja, dan kamu katakan padanya: “Ambil satu saja, jangan lebih!”. Pasti ia akan memilih yang terbaik dan sesuai dengan seleranya, menurut pengetahuan dan pengalamannya.
Bukankah jika kamu pergi ke pasar untuk membeli sepatu, atau celana panjang, atau buah-buahan, atau barang apa saja, kamu pasti memilih yang paling bagus, paling kuat, paling menarik dan paling menyenangkan dipakai atau di pandang mata?
Bukankah jika seseorang ingin pergi ke kota naik bis, atau pergi ke luar negeri naik pesawat, ia pasti memilih bis atau pesawat yang paling baik dan paling aman yang dapat mengantarkannya ke tempat tujuannya dengan selamat?
Jika hal itu sudah begitu jelas, karena memang sangat logis dan bahkan sesuai dengan naluri dan fitrah setiap insan, sehingga tidak seorang pun yang mengingkarinya, tetapi mengapa sebagian besar manusia tidak berhati-hati dalam memilih agamanya yang akan mengatur hidupnya di dunia ini dan menyelamatkannya di akhirat kelak?
Mengapa sebagian manusia tidak melakukan pilihan atau tidak memilih “bahtera” yang ia yakini akan menyelamatkannya dari ombak dan gelombang lautan dalam yang sangat ganas?
Apabila dikatakan kepada mereka: “Ambillah sebuah rumah atau mobil dari sekian puluh rumah atau mobil itu! Tetapi hati-hatilah karena banyak yang sudah rusak!”, pasti mereka sangat berhati-hati dalam memilihnya. Dan pasti mereka mengeceknya sedetail mungkin. Bahkan jika ada tembok sebuah rumah yang hanya rompal sebesar sendok saja, pasti mereka mencari yang lainnya yang masih betul-betul mulus. Tetapi mengapa mereka tidak berhati-hati dalam memilih ajaran, aliran atau madzhab dalam agamanya yang jelas-jelas sebagai kendaraan menuju akhiratnya? Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda, bahwa: “………Dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Seluruhnya masuk neraka, kecuali satu golongan saja, atau yang 72 golongan akan masuk neraka. Dan hanya satu golongan yang akan masuk surga”.
Apakah Rasulullah Saw dusta dengan ucapannya itu? Apakah ucapan beliau itu hanya main-main dan sendagurau belaka? Tidakkah ucapan beliau itu, kini menjadi kenyataan?
Jika kamu tidak berhati-hati dalam menjalankan syari’at Islam, bagaimana mungkin kamu akan selamat dari sentuhan dan bisikan setan, bagaimana kamu akan selamat dari jilatan api neraka?
Jika kamu tidak yakin dengan akidah dan berbagai ibadah yang kamu lakukan, bagaimana kamu bisa yakin bahwa akidah dan ibadahmu itu dapat mengantarkanmu sampai ke pintu surga?
Jika akidah, keyakinan, pandangan dan berbagai argumen-mu dalam beragama belum terujikan keabsahan dan kekuatannya, bagaimana kamu bisa yakin bahwa keyakinan, pandangan dan argumen-mu itulah yang benar dan yang lainnya salah? Bagaimaan pula mereka yang berakidah dan beribadah hanya ikut-ikutan belaka dan sama sekali tidak mempunyai argumen? Sementara mereka larut dan tenggelam dalam berbagai maksiat dan kemungkaran, baik yang disadari maupun yang tidak disadarinya?
Jika kamu tidak bersungguh-sungguh dalam beragama dan menjalankan syari’at, tidak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa agama hanya sebagai “opium” belaka!
Anak-anakku sekalian!
Ketahuilah, bahwa hidup ini tidak main-main! Tidak ada orang lain yang akan menyelamatkanmu dari ganasnya gelombang kehidupan ini. Tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkan dan membahagiakan dirimu di hari akhirat kelak, kecuali dirimu dan usahamu sendiri dengan gigih dan sungguh-sungguh! Karena itu, berhati-hatilah dalam beragama dan menjalankan syariat! Jangan main-main! Janganlah hanya ikut-ikutan belaka. Kalian berbeda dengan kerbau atau sapi yang dicocok hidungnya dan diajak kemana saja ikut!
Gunakanlah akal sehat kalian mumpung-mumpung masih muda!
Perawi: Mendengar argumen dan penjelasan pak ustadz yang begitu kuat, murid-murid kelas tertegun dan terkesima. Mereka semua membungkam seribu bahasa. Seorang murid yang bernama Safari memperbaiki posisi duduknya. Kali ini ia tidak mengantuk sama sekali. Padahal biasanya ia suka mengantuk jika mendengarkan pelajaran atau ceramah lama-lama. Tiba-tiba ia teringat penggalan ceramah agama seorang ustadz di suatu masjid, tetapi ketika itu ia sedang mengantuk. Ketika itu sang ustadz sedang menafsirkan ayat-ayat awal di dalam surat al-Hujurat yang berkaitan dengan masalah bagaimana seharusnya berakhlak di hadapan nabi Saw. Penggalan ceramah yang diingat Safari itu, ia sampaikan di kelas dengan suara yang lantang dan jelas sehingga seluruh rekan-rekannya dapat mendengarnya dengan baik.
Safari berkata: Pak ustadz! Saya pikir tidak benar jika pak ustadz mengatakan bahwa tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang diturunkan kepada Abu Bakar dan Umar! Sebab saya pernah mendengarkan ceramah seorang ustadz di masjid “Al-Muhajirin” bahwa sebenarnya surat al-Hujurat yang dikenal dengan surat akhlak itu diturunkan kepada Abu Bakar dan Umar. Bukankah di dalam surat ini Allah Swt memuji akhlak dan sikap Abu Bakar dan Umar terhadap Rasulullah Saw ketika beliau Saw masih hidup? Jadi tidak benar ucapan pak ustadz itu, karena nyatanya ada ayat-ayat yang diturunkan kepada Abu Bakar dan Umar!
Perawi: Teman-teman kelas Safari merasa kagum dengan keberanian Safari menyanggah pandangan pak ustadz. Mereka yang belum pernah membaca tafsir surat al-Hujurat, merasa bahwa pak ustadz akan terpojok dengan kritikan Safari tersebut. Tetapi di dalam hati mereka berbisik: “Kita lihatlah, bagaimana pak ustadz menjawab kritikan Safari itu!”.
Pak ustadz tersenyum mendengar kritikan Safari tersebut.
Ustadz: Kritikan dan sanggahan yang sangat bagus dan tepat, artinya tepat pada pembahasannya. Tetapi dari sisi lain bisa dikatakan tidak tepat. Betul memang, bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa surat al-Hujurat itu dapat pula dinamakan surat akhlak. Karena di dalam surat itu banyak dijelaskan mengenai akhlak yang baik dan juga akhlak yang buruk agar dikaji, dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim.
Dan juga betul, bahwa bagian awal-awal surat al-Hujurat itu diturunkan dan ditujukan kepada Abu Bakar dan Umar. Dan ini sangat tepat, tidak salah! Dan tidak ada seorang ulama atau mufassir yang menyalahkannya.
Tetapi masalahkanya, apakah ayat-ayat yang diturunkan dan ditujukan kepada Abu Bakar dan Umar itu, sehubungan dengan sikap dan akhlak mulia mereka terhadap Rasulullah Saw? Ataukah sebagai teguran kepada mereka yang telah berbuat dan bersikap tidak baik kepada beliau Saw?
Nah, untuk mengetahui jawabannya, saya sarankan agar kamu semua mengkaji dan membaca beberapa kitab tafsir Sunni dan juga beberapa kitab hadits Sunni. Misalnya seperti kitab tafsir ad-Durrrul mantsur oleh as-Suyuthi, Tafsir al-Kabir oleh Fakhrur Razi, dll atau kitab hadits shahih al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Nanti hasil dari bacaanmu itu ceritakan kesimpulannya kepada saya. Cukup kamu baca tujuh ayat saja! Setelah itu baca terjemahannya dan kemudian kajilah tafsirnya dan hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut!
Jadi, masalah ini saya tidak jawab, karena waktunya sudah tidak mengizinkan kita lagi. Tetapi kajian ini sebagai PR dan tugas kamu semua, sehingga kamu akan lebih yakin dengan pembahasan yang telah saya sampaikan di atas tadi.
Safari: Baiklah pak ustadz, jawaban dari pertanyaan dan kritikan saya itu saya terima sebagai PR kami. Tapi pak ustadz, sebelum pertemuan seru ini diakhiri, saya minta satu saja pertanyaan saya dijawab dan dijelaskan sekarang juga. Begini pak ustadz, saya pernah mendengar bahwa shalat Tarawih berjamaah itu merupakan hasil ijtihad Khalifah Umar. Karena beliau pernah melihat nabi melakukannya beberapa malam di masjid. Kemudian beliau menyuruh orang-orang melakukannya secara berjamaah setelah wafat nabi Saw karena tentunya ada maslahat dan hikmah yang kembali kepada umat Islam ketika itu. Nah bagaimana pandangan pak ustadz mengenai ijtihad Umar ini?
Ustadz: Sebetulnya jawabannya -sehubungan dengan masalah ijtihad Umar ini- panjang sekali. Di sini saya berusaha untuk menyingkatnya saja. Begini anak-anakku!
Jika dikatakan bahwa shalat Tarawih itu hasil ijtihad Umar yang dia istinbatkan dari perbuatan Rasul Saw semasa hidupnya, dimana beliau Saw pernah melakukan shalat Tarawih berjamaah beberapa malam yang kemudian beliau Saw mencegahnya dengan alasan takut diwajibkan dan menjadi berat bagi umatnya, dan setelah beliau Saw wafat maka kondisinya telah berubah dan apa yang dikhawatirkan oleh Rasul Saw tidak ada lagi dan dengan alasan bahwa terpencar-pencarnya shalat Tarawih itu tidak menunjukkan wahdatul kalimah, sementara berjamaah itu akan menambah lebih semangat mereka dalam beribadah, maka hal itu atau alasan itu tidaklah benar.
Karena, ijtihad apapun yang dilakukan Umar dan dengan alasan apapun, yang jelas nabi Saw tidak pernah melakukannya seperti itu dan bahkan nabi menolaknya dan mengatakannya sebagai bid’ah. Di samping itu, jika ijtihad semacam itu diterima, maka berarti bahwa syariat Islam itu masih belum sempurna, dan ini bertentangan dengan kasaksian al-Qur’an al-Karim yang telah menegaskan bahwa syariat Islam telah lengkap dan sempurna[48] dan tidak sesuatu pun yang tertinggal.[49] Jika hasil ijtihad Umar itu diterima, maka berarti semasa hayat nabi Saw masih ada sebagian hukum atau syariat Islam yang belum disyariatkan atau belum ditetapkan dan belum dipraktikkan karena suatu halangan yaitu kekhawatiran nabi atas difardhukannya perbuatan yang sunat itu. Tetapi setelah beliau Saw wafat setiap orang dapat menetapkan syariat yang kurang itu. Dan hal ini berarti akan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dengan alasan yang bermacam-macam sampai hari kiamat nanti. Dan orang yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan, tentunya akan lebih leluasa lagi untuk melakukan ijtihad dan bahkan mempermainkan syariat dengan menambah, merubah atau mengadakan hal-hal yang baru. Jika ini terjadi, maka akan hancurlah Islam, karena orang yang bukan ahlinya akan seenaknya berbicara dan mengeluarkan pendapat tentang syariat Islam dan memasukkan hal-hal yang bukan dari syariat Islam ke dalam syariat Islam.
Kok bisa dikatakan bahwa nabi melarang shalat Tarawih itu karena beliau Saw merasa khawatir jika diwajibkan kepada umatnya dan setelah beliau wafat kekhawatiran itu menjadi sirna, lantas shalat Tarawih berjamaah menjadi disunatkan yang tadinya dilarang nabi Saw?!
Kalaupun diterima bahwa nabi Saw melarang shalat Tarawih secara berjamaah itu karena kekhawatiran beliau nantinya akan difardhukan dan umatnya tidak akan kuat, atau katakanlah ada alasan lain dari larangan nabi itu, yang jelas larangan itu ada dan telah dikeluarkan oleh Rasul Saw, dan larangan adalah larangan. Bukankah Alalh Swt telah berfirman:
“Apa saja yang disampaikan oleh Rasul, maka ikutilah. Dan apa saja yang beliau larang, maka hindarilah”.[50]
Bukankah Allah Swt juga berfirman:
“Tidak selayaknya bagi seorang mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, lalu mereka mengadakan pilihan lain atas perkara mereka itu. Dan barang siapa yang membantah Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah betul-betul tersesat” [51]
Bukankah larangan Rasul Saw tersebut, merupakan bagian dari ketetapan dan hudud Allah Swt yang dilarang keras melanggar dan melampauinya?[52] Bukankah shalat Tarawih secara berjamaah itu merupakan ritual ibadah Rahbaniyah yang bersifat bid’ah yang dikecam oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an?[53] Bukankah mencintai Allah Swt itu (dengan melakukan semua perintah-Nya dan menjauhkan seluruh larangan-Nya) tidak ada jalan lain selain mengikuti jejak dan mentaati Rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’an?[54] Bukankah Rasul itu wajib diikuti dan ditaati bagi seluruh umat manusia sampai hari kiamat, jadi bukan hanya bagi umatnya pada masa hidup beliau saja, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an?[55]
Bukankah Allah Swt telah menegaskan di dalam al-Qur’an bahwa Rasulullah Saw itu berada pada jalan lurus[56], yakni jalan hak dan kebenaran yang sedikitpun tidak melenceng dari garis yang telah ditetapkan oleh-Nya? Bukankah jalan Rasulullah Saw itu adalah jalan Allah Swt yang merupakan satu-satunya jalan penyelamat dan Allah Swt memerintahkan (bertausiyah) kepada kita agar mengikuti jalan itu saja dan melarang keras agar kita tidak mengikuti jalan-jalan lainnya yang hanya akan membuat kita dan umat Islam ini bercerai berai?![57]
Bukankah doa yang paling sering kita ulang-ulang di dalam shalat yang lima kali itu adalah: “Ya Allah, tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang tersesat”?[58]
Dengan alasan apa kok nabi Saw merasa khawatir, padahal beliau senantiasa bersama wahyu Ilahi dan tidak pernah keluar dari lingkaran wahyu Ilahi terebut? Dengan alasan apa kok setelah wafat nabi Saw apa yang dikhawatirkan nabi itu telah lenyap? Sementara mereka meyakini bahwa syariat telah sempurna dan wahyu pun tidak akan turun lagi?
Apakah sirnanya kekhawatriran nabi Saw itu karena habis dan telah berakhirnya masa tasyri’ (pensyariatan)? Jika diterima bahwa masa tasyri’ telah habis dan tidak akan turun lagi hal-hal yang akan diwajibkan, lalu mengapa tidak dikatakan saja bahwa masa tasyri’ apapun telah habis juga dan tidak ada lagi tasyri’ sama sekali setelah wafat beliau Saw? Artinya bahwa tasyri’ atas disunatkan atau dibolehkannya shalat Tarawih berjamaah pun, masanya telah habis dan sirna juga? Dengan kata lain, mengapa masa tasyri’ nabi Saw dikatakan telah habis dengan wafatnya beliau Saw, sementara tasyri Umar malah dibuka dan diterima, padahal beliau bukan nabi, bukan washi dan tidak pula menerima wahyu Ilahi?
Jika tasyri’ Umar itu diterima, mengapa tasyri’ sahabat lainnya tidak boleh diterima, padahal banyak sahabat lainnya yang jauh lebih pandai dari Umar. Bahkan kealiman dan keberanian Ali As tidak ada duanya ketika itu dan sampai hari kiamat berdasarkan kesaksian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir nabi Saw?
Yang jelas bahwa masa tasyri’ itu dengan semua sisi dan dimensinya telah habis, dan wahyu pun tidak turun lagi dengan wafatnya nabi Saw. Karena hak tasyri’ hanyalah di tangan Allah Swt melalui lisan suci Rasul-Nya. Dengan demikian, bahwa penambahan, pengurangan dan perubahan yang dilakukan oleh selain maksum As merupakan perbuatan bid’ah. Dan setiap bid’ah itu dhalalah dan setiap dhalalah tempatnya di neraka!
Anak-anakku sekalian!
Sebenarnya orang-orang yang mengatakan dan meyakini bahwa diantara hikmah shalat Tarawih berjamaah itu adalah terbentuknya ukhuwwah, wahdah kalimat, menambah semangat dalam beribadah dan lain-lain, tidak secara langung mereka mengatakan bahwa Allah Swt dan Rasul-Nya itu lengah dan tidak mengetahui hikmah tersebut, sehingga shalat Tarawih itu tidak dibolehkan berjamaah.
Jadi sebenarnya, siapa yang lengah dan tidak mengetahui hikmah shalat Tarawih secara berjamaah atau munfarid? Mereka ataukah Allah Swt dan Rasul-Nya? Saya berlindung diri kepada Allah Swt daripada ucapan yang dapat menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya seperti itu!
Bukankah hikmah tersebut sudah terdapat pada shalat-shalat fardhu dan shalat Jum’at? Dengan demikian berarti bahwa hikmah shalat Tarawih secara munfarid itu lain lagi? Tidakkah kita berpikir dengan jernih bahwa barang kali hikmah shalat Tarawih secara munfarid di rumah masing-masing itu dan dilakukan pada tengah malam atau menjelang sahur, merupakan kesempatan bagi pelakunya untuk menyendiri kepada Allah Swt, merupakan kesempatan baginya untuk mengadukan segala keluhan, kesedihan, kesusahan, problema hidup, dosa-dosa dan lain sebagainya? Bukankah hal itu merupakan kesempatan baginya untuk bermunajat kepada Allah Swt, mendekati-Nya, berlindung diri hanya kepada-Nya, mengharapkan ampunan-Nya dan memohon keridhaan dan curahan rahmat-Nya? Bukankah dianjurkannya shalat-shalat Sunat itu agar dilakukan secara munfarid agar setiap orang merasa bebas seberapa lama saja dia mengeluh dan berdialog kepada Allah Swt? Yang mana hal ini tidak mungkin ia peroleh dengan cara berjamaah? Bukankah shalat sunat di dalam rumah itu lebih selamat dari penyakit riya’ dan sum’ah? Sementara shalat Tarawih berjamaah di masjid-masjid mudah sekali terjangkiti riya’ dan sum’ah?!
Bukankah dengan melakukan shalat Tarawih secara munfarid di rumah masing-masing itu, membuat rumah dan seisinya menjadi berkah dan hidup? Bukankah hal itu merupakan kesempatan untuk mendidik anak-anak kita agar dapat melakukan shalat seberapa lamanya yang mereka kehendaki? Jika sekiranya berjamaah itu dianjurkan di dalam shalat Tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya, sudah tentu melakukannya di masjid-masjid itu lebih utama dibandingkan melakukannya di dalam rumah! Tetapi nyatanya banyak sekali hadits-hadits nabi Saw yang menganjurkan agar umatnya melakukan shalat-shalat sunat di dalam rumahnya masing-masing, dan bukan di masjid.
Abdullah bin Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama; aku shalat sunat di rumahku atau aku shalat di masjid?”. Beliau Saw menjawab:
“Tidakkah kamu lihat bahwa rumahku sangat dekat dengan masjid? Tetapi aku lebih suka melakukan shalat sunat di dalam rumahku daripada di dalam masjid, kecuali shalat fardhu”.[59]
Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah Saw bersabda:
“Wahai manusia, lakukanlah shalat-shalat sunat di rumah-rumah kalian! Karena shalat sunat seseorang di dalam rumahnya itu lebih utama, kecuali shalat fardhu”.[60]
Dari Anas bin malik bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Muliakanlah rumah-rumah kalian dengan sebagian shalatmu!”. Dalam hadits lainnya beliau bersabda: “Perumpamaan rumah yang didalamnya itu terdapat “dzikrullah” dengan rumah yang di dalamnya tidak terdapat “dzikrullah”, seperti perumpamaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati”.[61]
Jabir bin Abdillah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila kalian telah melakukan shalat di masjid, maka hendaklah kalian sisihkan sebagian shalat untuk di rumah. Karena sesungguhnya Allah Swt menjadikan shalat seseorang di dalam rumahnya itu sebagai kebaikan”.[62]
Berikut ini saya akan tambahkan beberapa perkataan atau perbuatan sebagian ulama Islam yang lebih suka melakukan shalat Tarawih atau shalat sunat di dalam rumahnya. Ucapan mereka -sama sekali- bukan menjadi atau sebagai dalil. Tetapi paling tidak dapat menopang dan menguatkan pandangan orang-orang yang lemah dalam berargumen mengenai dianjurkananya shalat Tarawih dan shalat sunat di dalam rumah. Mereka itu adalah:
1. Ibnu Umar, yaitu Abdullah bin Umar, putera Umar sendiri.
Abdur Razaq meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau (Ibnu Umar) tidak melakukan shalat Tarawih di belakang imam pada bulan Ramadhan.[63]
Mujahid berkata bahwa pernah ada seseorang datang ke rumah Ibnu Umar dan berkata: “Aku shalat di belakang imam pada bulan Ramadhan”. Ibnu Umar menjawab: “Apakah kamu membaca al-Qur’an?”. Orang itu menjawab: “Ya”. Ibnu Umar berkata: “Apakah kamu paham, seakan kamu ini keledai! Shalatlah di rumahmu!”.[64]
2. Malik.
Malik berkata: “Melakukan shalat sunat Ramadhan di dalam rumah bagi yang mampu itu lebih aku cintai”.[65] Pada tempat lain Malik berkata: “Dan aku melakukan hal itu (shalat sunat Ramadhan di rumah). Dan nabi tidak melakukannya kecuali di dalam rumahnya”.[66]
Labid as-Said berkata: “Sesungguhnya Malik dan Abu Yusuf dan juga sebagian pengikut as-Syafi’i memandang bahwa yang utama adalah melakukan shalat Tarawih secara munfarid di dalam rumah”.[67]
3. As-Syafi’i.
Rabi’ berkata: “Imam Syafi’i tidak melakukan shalat Tarawih bersama orang-orang. Tetapi beliau shalat di dalam rumahnya”.[68]
Imam Syafi’i berkata: “Shalat sunat pada bulan Ramadhan secara munfarid lebih aku cintai”.[69] Di dalam kitab lain beliau berkata: “Yang utama adalah melakukannya secara sendiri/munfarid”.[70]
4. Abu Yusuf.
Al-Mu’alla meriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa ia berkata :”Barangsiapa yang mampu melakukan shalat sunat di dalam rumahnya, sebagaimana ia melakukannya bersama imam pada bulan Ramadhan, maka aku lebih mencintai jika ia lakukan di rumahnya itu”.[71]
5. Rabi’ah.
Rabi’ah dan juga para ulama lainnya tidak melakukan shalat Tarawih secara berjamaah.[72]
6. Abu Umamah al-Bahili.
As-Syathibi berkata: “Di antara Salaf Saleh yang menegur ritual tersebut adalah Abu Umamah al-Bahili, ia berkata:
“Kalian telah mengada-ada shalat sunat Ramadhan. Padahal hal itu tidak diwajibkan atas kalian. Kalian hanya diwajibkan berpuasa…..Sesungguhnya orang-orang Bani Israel mengadakan bid’ah yang tidak ditetapkan oleh Allah Swt. Tujuan mereka adalah mencari keridhaan Allah. Tetapi mereka tidak menjaga ketentuan-ketentuan syariat. Akibatnya mereka dikecam oleh Allah Swt. Allah berfirman: “Dan Rahbaniyah yang mereka ada-adakan[73]“.[74]
Anak-anakku sekalian!
Pertemuan kita ini, waktunya sudah habis. Al-Kalam Yajurrul Kalam. Insya Allah dilain waktu, jika di antara kamu masih ada yang belum puas mengenai shalat Tarawih ini, kita akan sambung lagi.
Perawi: Sabar adalah murid yang paling tua di dalam kelas itu. Dia nampak sedang berpikir dalam. Masyarakat yang dihadapinya memang rata-rata atau bahkan hampir semuanya masyarakt awam. Nampaknya dia sedang berpikir bagaimana mentransfer apa yang tadi disampaikan pak ustadz kepada tetangga dan masyarakatnya, terutama kepada keluarganya yang memang seluruhnya beragama dan melakukan ritual hanya ikut-ikutan secara turun temurun belaka. Akhirnya si Sabar pun angkat suara.
Sabar: Maaf pak ustadz! Saya pikir alangkah baiknya dan untuk menyempurnakan pertemuan kita ini, jika sekiranya pak ustadz menyampaikan saran-saran kepada kita dalam beberapa menit ini.
Masalahnya begini pak ustadz, sebagaimana pak ustadz ketahui bahwa kondisi masyarakat kami sangat awam dan kebanyakan mereka hanya ikut-ikutan saja dalam melakukan amal ibadah, terutama seperti shalat Tarawih ini. Sementara telah kami dengar dari pak ustadz bahwa shalat Tarawih itu bid’ah dan sebaiknya dilakukan di rumah secara munfarid. Jadi maksud saya, bagaimana cara kami menyampaikan hal ini kepada mereka ustadz?
Ustadz: Bajiklah anak-anakku!
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ta’lim, tarbiyah, irsyad dan juga amar makruf dan nahi mungkar itu ada tatacara dan adab-adabnya. Tidak semua orang boleh melakukan hal itu. Seseorang yang bukan dokter dilarang keras mengobati atau memberikan suntikan obat atau memberikan resep kepada pasien yang menderita penyakit tertentu. Sebab, jika salah bukan menyembuhkan penyakitnya, tetapi malah mematikannya. Dan ini sangat berbahaya. Itu penyakit fisik. Nah apalagi penyakit ruhani, penyakit hati dan penyakit di dalam ibadah atau syariat. Tentu jauh lebih sensitif lagi. Carilah ilmu yang lengkap dan mencukupi untuk menjadi seorang dokter, baik dokter fisik maupun dokter ruhani di masyarakat. Sebagaimana hancurnya fisik seorang fasien karena ulah dokter gadungan atau dokter gelap. Begitu pula, hancurnya agama dan syariat islam ini, karena orang-orang yang tidak berilmu dan tidak berpengalaman memberikan resep yang bermacam-macam. Akibatnya umat ini bingung dan malah keracunan berbagai fatwa yang membingungkan.
Nah sehubungan dengan masalah shalat Tarawih ini, ketahuilah bahwa hal ini hanyalah masalah kecil saja, jika dibandingkan dengan masalah-masalah lainnya yang lebih banyak dan lebih penting.
Biarkanlah mereka orang-orang awam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid-masjid. Apalagi mereka sudah pada tua yang memang sangat sulit untuk diluruskan. Jadi biarkanlah ritual itu berjalan. Kenapa? Karena masih banyak sekali hal-hal lainnya yang lebih besar dan lebih penting untuk diluruskan dan diperbaiki. Apa contohnya? Misalnya masalah budaya riba dalam berbagai muamalah, budaya pacaran, zina, mabuk-mabukan, menonton film-film forno, mengurangi timbangan, meninggalkan berbagai kewajiban, seperti shalat fardhu, saling menggibah dan menggunjing, masuknya macam-macam budaya barat, seperti musik, lagu-lagu, cara berpakaian, tersebarnya makanan yang haram, penyembelihan binatang halal yang tidak syar’i, dan banyak lagi hal-hal lainnya yang lebih penting untuk dibenahi ketimbang shalat Tarawih. Penipuan bukan hanya terjadi di pasar-pasar atau di pelabuhan, tetapi terjadi juga di dalam masjid dan di dalam majlis ta’lim dengan berbagai cara. Penipuan tidak hanya dilakukan oleh kelompok mavia dan bajingan tengik, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang berbaju muballig dan ustadz.
Jadi, sekali lagi, biarkanlah mereka dengan kondisi ritual seperti yang ada sekarang. Sebab mereka disamping awam dalam masalah-masalah agama, setiap saat, siang dan malam, pikiran mereka disibukkan dengan bagaimana mencari sesuap nasi, bagaimana anak-anaknya bisa sekolah dengan lancar, bagaimana bisa hidup dengan aman dari pencuri dan perampok. Bahkan tidak sedikit mereka yang selalu berpikir; bagaimana bisa membayar hutang-hutangnya, bagaimana bisa lolos dari riba dan rentenir yang melilit leher mereka, bagaimana bisa pergi ke dokter, bagaimana bisa punya rumah, dan seterusnya. Mereka yang mengaku bermadzhab Sunni pun, kebanyakan tidak mengenal apa itu Ahli Sunnah, siapa itu Imam Syafi’i, siapa itu Abu Hasan al-Asy’ari, siapa itu Abu Mansur al-Maturidi? Padahal Imam Syafi’i tokoh dan imam fiqih mereka, Asy’ari dan Maturidi tokoh dan pelopor akidah mereka. Kebanyakan mereka meyakini bahwa Ahli Sunnah itu identik dengan Imam Syafi’i saja. Maliki -menurut mereka yang awam itu- bukan Ahli Sunnah, begitu juga dengan Hanafi dan Hambali. Mereka menganggap bahwa selain madzhab Syafi’i sebagai lawan mereka yang salah. Ya…begitulah keyakinan orang-orang muslim Sunni yang awam. Makanya kasihanilah mereka. Jangan mereka yang sudah susah hidupnya, kita timpakan lagi dengan berbagai macam kesulitan dan pemikiran yang mereka anggap baru dan mereka tidak pahami. Bisa jadi sebagian besar mereka memang tidak mau paham tentang ajaran agamanya, selain apa yang mereka telah terima secara turun temurun. Yang penting kamu yang masih muda-muda ini, hendaknya banyak belajar, berpikir, merenung dan gunakan akalmu sebaik-baiknya.
Saya juga tidak ridha jika apa yang saya sampaikan ini, kamu sampaikan kesembarang orang, baik berupa lisan ataupun tulisan. Kenalilah baik-baik orang yang ingin kamu sampaikan itu! Jika misalnya orang itu ternyata bersifat terbuka, lapang dada, tidak fanatik buta, dan nampaknya ia mau berusaha ingin mencari kebenaran, dan bukan mempertahankan pendapatnya yang sempit, maka bolehlah kamu sampaikan apa yang saya sampaikan ini. Atau kalau berupa tulisan, katakanlah kepadanya:
“Sebaiknya tulisan ini kamu baca pada saat-saat kamu dalam keadaan tanang, hening, segar, tidak dalam keadaan lelah, sakit atau sedang ada problem. Bacalah di malam hari, sementara orang-orang sedang tidur nyenyak. Singkirkan dahulu baju fanatik buta, merasa paling benar, menilai orang lain itu salah dan juga yang sangat penting senantiasalah berdoa kepada Allah; agar Dia senantiasa membimbing dan menuntun hamba-Nya yang berusaha sungguh-sungguh dan ikhlas menuju jalan lurus-Nya”.
Anak-anakku sekalian!
Kiranya sampai di sini dulu pertemuan kita kali ini. Dan waktu kita sudah lewat beberapa menit. Saya berharap, pembahasan ini dapat kamu jadikan sebagai jembatan kamu berpikir, dan janganlah berhenti di tengah-tengah jembatan. Tetapi hendaknya kamu teruskan pengkajian, perenungan, pencarian dan penelitian dengan cara banyak membaca, banyak bertanya, berdiskusi, berdialog dan jangan takut atau menyerah sebelum berjuang. Kebenaran itu bersifat terbuka dan bagi orang yang lapang dada. Orang yang benar dan jujur yang mempunyai argumen yang kokoh, tidak pernah mundur, tidak takut berdialog, tidak menghindar untuk berdiskusi dan tidak takut dikecam ataupun dijauhkan dan dikucilkan. Karena ruh dan hatinya selalu bersama Allah Swt. Hanya Allah lah yang menjadi tujuan hidupnya, tumpaun dan harapannya. Dan hanya kepada-Nya dia akan kembali dan akan menerima segala hasil jerih perjuangannya yang ia lakukan selama hayatnya di dunia fana ini.
Janganlah berjiwa atau berwatak seperti sebagian orang yang hanya mengaku bahwa kelompok merekalah yang benar, yang lain itu salah dan tersesat. Tetapi ketika diajak dialog atau diskusi terbuka, mereka mundur seribu langkah. Mereka seringkali mengadakan diskusi dan dialog tertutup yang dihadiri hanya oleh kelompok mereka untuk menghukum sesat kelompok Islam lainnya secara in absensia. Janganlah sekali-kali kalian bersifat seperti mereka. Takut dan mundur sebelum berdialog, berdiskusi dan berjuang, adalah kekalahan yang nyata, dan menunjukkan sempitnya argumen yang dimiliki. “Kebenaran hanyalah dari Allah, maka janganah kalian termasuk orang-orang yang ragu”[75].
Anak-anakku sekalian!
Akhirnya saya mohon maaf dan banyak mohon doa dari kalian. Sudah tentu apa yang saya sampaikan di atas masih banyak kekurangannya dan perlu dikoreksi. Dan saya sangat terbuka bahkan akan sangat berterimakasih jika di antara kalian ada yang bersedia dan mampu mengoreksi dan memperbaiki segala yang kurang atau janggal.
Sampai ketemu pada pelajaran yang sama pekan datang, Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.[]
[1] . Shahih Bukhari, bab Fadhlu Man Qama Ramadhan No. 2008 dan Shahih muslim jilid 2 hal 176 bab at-Targhib Fi Qiyami Ramadhan Wahuwa at-Tarawih, Terbitan Darul Jabal, Darul Afaq, Beirut.
[2] . Kedua hadits tersebut diriwatkan oleh Muslim.
[3] . Hadits ini diriwatkan oleh Ibnu Dawud.
[4] . Lihat al-Mughni Wa as-Syarah jilid 1 hal. 771, Darul Kitab al-Arabi. Terbitan offset : 1403/1983.
[5] . Lihat kitab al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahibul Khamsah 1/133 oleh Allamah Ustadz Muhamamd jawad Mugfhniyah.
[6] . Lihat al-Mughni 2/137 – 138.
[7] . Lihat kitab al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah 1/251, pada kitab as-Shalat, mabhats Shalatu at-Tarawih.
[8] . Lihat Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya Fathul Bari: 4/204, Syihabuddin al-Qasthalani di dalam Irsyadu as-Syari: 3/426 dan al-’Ayni: ‘Umdatul Qari: 11/126.
[9] . Lihat Mafatihul Jinan bab : A’mal al-Lailati at-Tasi’ ‘Asyar.
[10] . Lihat tafsir Al-Mizan jilid 20 hal. 461.
[11] . Lihat kitab al-Khishal 2/152 oleh Syaikh as-Shaduq.
[12] . Lihat kitab ‘Uyunu Akhbari al-Ridha hal. 266 oleh Syaikh as-Shaduq.
[13] . Lihat kitab at-Tahdzib oleh Syaikh at-Thusi pada jilid 3 hadits ke 227.
[14] . Lihat khutbah tersebut di dalam kitab al-Kafi 8/548 oleh al-Kulayni.
[15] . Lihat kitab as-Sara’ir 3/638 oleh Muhammad bin Idris.
[16] . Lihat kitab al-Faqih, kitab as-Shaum: 87 oleh as-Shaduq. Al-Kulayni juga di dalam kitabnya al-Kafi 4/154 menyinggung masalah tersebut.
[17] . Lihat Shahih al-Bukhari pada bab: Fadhlu man qama Ramadhana 3/58, pada bab at-tahajjud billaili 2/63. Shahih Muslim 6/41, dll.
[18] . Lihat kitab as-Syarhul Kabir ‘alal muqni 1/749 oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi.
[19] . Alih bahasa secara bebas.
[20] . Lihat QS an-Najm ayat 3-4.
[21] . Lihat QS al-Haqqah ayat: 44-46 : “Dan sekiranya beliau mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami (Allah Swt). Pasti Kami pegang tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya”.
[22] . Lihat Fathul bari 3/10 dan Irsyadu as-Sari 3/428.
[23] . Lihat QS at-Taubah: 38.
[24] . Lihat Fathul Bari 3/10.
[25] . Lihat al-Fiqhu ala al-Madzahibi al-Khamsah : 287.
[26] . Lihat Sunan an- Nasa’i 3/165 dan Sunan Ibnu Majah : 42.
[27] . lihat Irsyadu as-Sari 3/426 oleh al-Qasthalani.
[28] . Lihat Biharul Anwar 2: 262 dan Qishashul Anbiya’ : 46.
[29] . Lihat Tarikh al-Khulafa oleh as-Suyuthi hal. 51.
[30] . Lihat kitab al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil Bar.
[31] . Lihat kitab sejarah Raudhat al-Manadhir 2/122.
[32] . Lihat shaih al-Bukahri juz 1 pasal “shalat Tarawih”.
[33] . Lihat shahih Muslim juz 1 bab “Anjuran shalat malam bulan Ramadhan”.
[34] . Lihat kitab Irsyadu as-Sari fi Syarhi Shahih al-Bukhari 5/4 oleh al-Qasthalani.
[35] . Lihat QS. Yasin: 17, Al-Ankabut: 18, An-Nahl: 35 dan 82, Al-Maidah: 92, dll.
[36] . Mengenai kesempurnaan syariat lihat QS al-Maidah: 3.
[37] . Lihat QS al-Kahfi : 110.
[38] . Seperti hadits yang berbunyi : “Hendaklah kalian berpegang teguh kepada para Khalifah Rasyidin”, “Para sahabtku bagaikan bintang-bintang. Yang mana saja kamu ikuti, pasti kamu akan mendapat hidayah”, dan hadits-hadits lainnya yang semisal ini.
[39] . QS. Al-Ahzab: 33.
[40] . QS. Al-Maidah: 55.
[41] . QS. Al-Bayinah: 7.
[42] . QS. Ar-Ra’d : 7.
[43] . QS. Al-Baqarah: 207.
[44] . QS. Ali Imran : 61.
[45] . QS. As-Syura : 23.
[46] . QS. Al-Insan : 8.
[47] . Muntahal Amal 1/209.
[48] . QS. Al-Maidah : 3.
[49] . QS. Al-An’am ; 38.
[50] . QS. Al-Hasyr : 7.
[51] . QS. Al-Ahzab : 36.
[52] . QS. Al-Baqarah : 229.
[53] . QS. Al-Hadid : 27.
[54] . QS. Ali Imran : 32.
[55] . QS. Al-A’raf : 158.
[56] . QS. Yasin : 1-4.
[57] . QS. Al-An’am : 153.
[58] . QS. Al-Fatihah : 5 – 7.
[59] . Hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah di dalam shahihnya.
[60] . hadits riwayat An-Nasa’i dan ibnu majah di dalam shahihnya.
[61] . Hadits ini diriwatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
[62] . Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dll, dan Ibnu majah di dalam shahihnya. Dan hadits-hadits semacam ini sangat banyak sekali jumlahnya.
[63] . Al-Mushannif 5: 264, hadits 7742 dan 7743.
[64] . Al-Mushannif 5: 264, hadits 7743.
[65] . Tadzkiratul Fuqaha’ 2: 283, al-Mughni 1 : 835, As-Syarhul Kabir 1: 785 dan Al-Mabsuth 2: 144.
[66] . Al-Mabsuth oleh as-Sarkhasi 2 : 144.
[67] . At-Taghanni bil Quran ; 117.
[68] . Tarikh Madinah Dimasyq 51: 394.
[69] . Al-Intishar: 55, al-Majmu’ 4: 5, al-mughni 1 : 800, ‘Umdatul Qari 7: 178.
[70] . Al-Mu’tabar 2 : 37.
[71] . Al-Mudawwanatujl Kubra 1: 222, Al-Mughni ibnu Quddamah 2: 800, dll
[72] . Al-Intishar: 54.
[73] . QS. Al-Hadid: 27.
[74] . Al-I’Tisham 2: 291, Tafsir Qurthubi 17: 264, dll.
[75] . QS. Al-Baqarah : 147.